Monday, August 1, 2016

Ambon, Titik Balik Saya


Dunia Hawa - Ambon adalah titik balik dalam hidup saya. Dulu saya menjalani hidup dengan memakai sudut pandang korban. Umat Islam adalah umat yang toleran, tapi umat lain selalu mengganggu. Umat Islam selalu dizalimi. Jadi wajar saja kalau kami melawan balik untuk mempertahankan diri. Wajar saja kalau kami membalas. Saya selalu yakin bahwa setiap saat umat Islam diusik dan diganggu. Maka ketika ada kesempatan mereka harus mengusik balik, membalas.

Saya sedang kuliah di Jepang ketika kerusuhan Ambon pecah. Saya marah ketika itu, sangat marah. Kepada siapa? Kepada orang-orang Kristen. Sudah sejak lama saya percaya bahwa orang-orang Kristen melakukan berbagai hal untuk mengganggu umat Islam. Dengan kristenisasi mereka memurtadkan orang-orang Islam. Pemerintah mereka kuasai, untuk memastikan orang-orang Islam terpinggirkan. Ekonomi juga mereka kuasai, agar orang-orang Islam tetap miskin.

Kini mereka lebih menggila. Di Ambon orang-orang Kristen sudah berani melakukan tindak kekerasan. Mereka terang-terangan melukai dan membunuh orang-orang Islam. Mereka benar-benar musuh yang nyata. Rasanya ingin segera saya terbang ke Ambon untuk berjihad.

Foto-foto korban kerusuhan masuk ke email saya. Sungguh mengerikan dan menjijikkan, membuat kebencian saya kepada orang Kristen makin memuncak. Sampai suatu siang, ada email masuk, berisi foto-foto korban. Saya sebelumnya sudah melihat foto-foto itu. Tapi ini berbeda. Sebelumnya foto-foto itu diberi keterangan bahwa itu adalah korban di pihak muslim, korban kebiadaban pihak Kristen. Tapi ini, foto yang sama, keterangannya adalah ini korban di pihak Kristen, korban kebiadaban pihak muslim. 

Lalu saya terduduk lesu. Bagaimana bila pihak Kristen sana memandang kami orang muslim sama seperti saya memandang mereka selama ini? Bagaimana bila kerusuhan ini hanyalah kebodohan karena cara pandang itu? Bagaimana bila cara pandang itu kita hilangkan begitu saja? Tentu mayat-mayat yang mengerikan ini tak perlu ada, bukan? 

Saya kemudian menangis sejadi-jadinya.

Selama ini saya hanya melihat apa yang ingin saya lihat. Saya kumpulkan fakta-fakta dalam memori saya, yang mendukung kesimpulan bahwa orang-orang Kristen itu memusuhi Islam. Ada banyak fakta yang tidak mendukung, tapi saya abaikan. Misalnya, keluarga kami biasa dirawat di rumah sakit Katholik di Pontianak, dan kami tidak pernah diajak pindah agama. Sepupu saya sekolah di sekolah Katholik, tanpa biaya. Dia juga tidak pernah diajak pindah agama. Fakta itu saya abaikan. Saya lebih percaya pada cerita-cerita bahwa rumah sakit dan sekolah adalah sarana untuk memurtadkan orang Islam, meski saya tak mengalaminya sendiri.

Saat itu saya bongkar seluruh memori saya, saya ubah pikiran saya. Saya baca kisah-kisah damai di Ambon yang sudah berlangsung ratusan tahun. Saya ingat teman-teman Kristen saya, mereka baik-baik belaka. Saya kemudian membaca ulang sejarah hubungan Islam-Kristen. Bukankah Perang Salib itu adalah perang karena persaingan antara Arab dan Eropa? Bukankah penjajahan Nusantara itu adalah soal keinginan orang Eropa untuk menguasai sumber daya alam?

Dunia tiba-tiba menjadi terlihat berbeda. Ambon yang saya tangisi adalah Ambon yang basah oleh tumpahnya darah anak-anak bangsa secara sia-sia. Bukan lagi Ambon yang tanahnya basah oleh tumpahnya darah kaum muslim akibat kezaliman Kristen. Pertumpahan darah itu bisa kita hentikan hanya dengan cara sederhana, yaitu berhenti memandang pihak lain sebagai musuh.

Cara itu berlaku untuk semua tempat. Sampit, Poso, Sambas, Tolikara, Aceh Singkil, dan Tanjung Balai.

Saya akan berziarah ke Ambon, mengenang saudara-saudara kita yang sudah mendahului. Saya datang untuk bersyukur, bahwa saya punya kesempatan untuk mengubah cara berpikir saya. Semoga ada lebih banyak orang lain seperti saya, berhenti memusuhi.

[hasanudin abdurakhman, phd]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment