Saturday, July 23, 2016

Emansipasi Perempuan di Arab Teluk


Dunia Hawa - Belum lama ini, Perdana Menteri dan Wakil Presiden Uni Emirat Arab (UEA) Syaikh Muhammad bin Rasyid al-Maktoum menunjuk delapan menteri perempuan (beberapa di antaranya berumur 22-30 tahun) dalam jajaran kabinetnya.

Penunjukan sejumlah menteri perempuan ini membuat dunia internasional tercengang, mengingat hingga dewasa ini, dunia Arab masih dipersepsikan sebagai ''dunia laki-laki'' yang belum memberikan ruang berarti bagi pengembangan pendidikan dan karirkaum perempuan. 

Oleh masyarakat non-Arab, termasuk masyarakat Barat, perempuan Arab--di mana pun mereka berada--memang seringkali dianggap sebagai--atau diidentikkan dengan--perempuan udik, konservatif, tak berpendidikan, tertindas, dan objek kaum lelaki. Di Barat, hijab dan abaya yang dikenakan para perempuan Arab dipandang sebagai simbol kekolotan, keterkungkungan, ketidakmoderenan, kemunduran, dan keterbelakangan.

Semua itu tentu saja sangat bias, tidak relevan, dan hanya ''benar separuh'' karena memang, seperti ditunjukkan oleh fenomena perkembangan perempuan Arab dewasa ini, tidak ada korelasi antara ''sehelai pakaian'' dengan kemajuan dan kemodernan. Hijab bukanlah simbol keudikan dan kemunduran. Dan bikini bukanlah lambang kemodernan dan kemajuan.

Oleh karena masih banyaknya anggapan tentang keterbelakangan perempuan Arab (dan muslimah secara umum), maka wajar jika penunjukan delapan menteri perempuan di negara-kerajaan-federal UEA yang sering disebut sebagai ''Singapore''-nya Arab dan Timur Tengah itu mampu menyita perhatian banyak orang, sarjana, pengamat, dan media asing.

Kedelapan perempuan hebat yang menduduki jajaran top eksekutif di negara-kerajaan pusat industri, minyak, dan bisnis itu adalah Jameela Al Muhairi (Menteri Pendidikan Umum), Shamma Al Mazrui (Menteri Urusan Pemuda), Najla Al Awar (Menteri Pengembangan Komunitas), Noura Al Kaabi (Menteri Urusan Dewan Nasional Federal), Syaikha Lubna Al Qassimi (Menteri Urusan Toleransi), Ohoud Al Roumi (Menteri Urusan Kebahagiaan), Reem Al Hashimi (Menteri Negara Urusan Kerjasama Internasional), dan Maitha Salem Al Shamsi (Menteri Negara Pemerintahan Federal). 

Di antara mereka ada yang penunjukan ulang sebagai anggota kabinet karena prestasi masa lalu mereka yang gemilang. Tetapi ada pula yang baru ditunjuk sebagai menteri tahun ini. Banyak dari mereka yang alumni kampus-kampus top di Amerika dan Inggris. Di antara mereka ada yang berlatar belakang akademisi, pebisnis, birokrat, aktivis, dlsb. Sebagian dari mereka bahkan masuk dalam daftar 100 tokoh perempuan Arab paling berpengaruh. Bukan hanya sebagai menteri, kaum perempuan di UEA juga banyak yang terpilih sebagai anggota parlemen. 


Geliat Kaum Hawa Kawasan Arab

Penting untuk dicatat, geliat emansipasi dan perubahan sosial ''kaum Hawa'' bukan terjadi di UEA saja, melainkan di semua negara di kawasan Arab Teluk ( Gulf states) seperti Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, dan bahkan Saudi yang dikenal sangat ketat dalam urusan masalah perempuan. Bahkan bukan hanya di kawasan Arab Teluk, kawasan Arab lain seperti Yordania dan Lebanon, kehidupan perempuan juga sudah sangat maju sejajar dengan laki-laki. 

Sejak beberapa dekade terakhir, kaum perempuan Arab, baik di negara-negara yang mayoritas berpenduduk Arab atau yang sistem politik-ekonomi-budayanya dikontrol oleh Arab, mengalami kemajuan positif di dunia pendidikan, pekerjaan, ekonomi, dan lain sebagainya.

Mereka tidak lagi tinggal di rumah sebagai ''pelayan'' suami dan keluarga melainkan di kantor, sekolahan, kampus, perusahaan, rumah sakit, sebagai karyawan, pegawai, guru, dosen, dokter, pengacara, dan lain sebagainya. Aktivitas kaum perempuan Arab modern, termasuk di Arab Teluk, tidak lagi berkutat di seputar dapur-sumur-kasur.

Mereka sudah bisa menikmati profesi dan kehidupan aneka ragam sektor publik sebagaimana laki-laki. 

Menariknya, emansipasi dan kemajuan kaum perempuan bukan hanya di dunia pendidikan atau bisnis-ekonomi saja melainkan juga di bidang politik-pemerintahan. Sebagaimana laki-laki, perempuan Arab juga sudah bisa memilih dan dipilih untuk menduduki pos-pos politik seperti anggota parlemen.

Di Bahrain, misalnya, sejumlah tokoh perempuan menduduki jabatan politik seperti Alees Thomas Samaan, seorang Kristen yang ditunjuk sebagai duta besar di Inggris. Perempuan perkasa yang dijuluki sebagai "Grassroots Diplomat" (diplomat akar-rumput) ini juga tercatat sebagai perempuan pertama yang memimpin parlemen (Shuro Council) bukan hanya di Bahrain bahkan di seantero Timur Tengah.

Selain itu, negara-kerajaan yang dipimpin oleh Rezim Al Khalifa ini juga pernah menunjuk seorang perempuan Arab-Yahudi dan ahli hukum bernama Huda Azra Ibrahim Nunu sebagai Duta Besar Bahrain untuk Amerika Serikat. 

Di Qatar sejumlah tokoh perempuan juga turut memprakarsai perubahan sosial-politik-ekonomi-budaya. Misalnya, Syaikha Moza Binti Nasser, Kepala Qatar Foundation for Education, Science and Community Development, yang terlibat aktif dalam membantu proses transformasi Qatar menjadi negara yang kuat dan maju di bidang ekonomi dan pendidikan.

Hasilnya sangat membanggakan: Qatar kini menjelma menjadi rumah bagi beragam kampus modern dimana fasilitas, metode belajar-mengajar, sistem pendidikan, dan kurikulum yang didesainya seperti yang dipraktekkan di negara-negara maju di Barat. Laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi murid dan guru, mahasiswa dan  dosen.

Syaikha Moza juga menjadi “arsitek” di balik kerja sama Qatar dengan berbagai kampus top dunia sehingga banyak dari mereka, seperti Georgetown, Carnegie Mellon, A&M Texas dan lain sebagainya, membuka cabang disini. 

Dalam hal upaya “emansipasi perempuan” ini, ada sejumlah negara di Arab Teluk yang sudah sangat maju dan terbuka dalam memperlakukan hak-hak perempaun sebagai warga negara tetapi ada pula, seperti Saudi, yang masih terbatas, tarik-ulur, dan malu-malu. Namun demikian di Saudi pun perkembangan perempuan dewasa ini sudah sangat positif.


Kiprah Perempuan di Saudi

Meskipun geliat perhatian atas hak-hak sipil (civil rights) dan kewargaan (citizenship) kaum perempuan sudah dimulai sejak era Raja Faisal yang memprakarsai pendidikan kaum perempuan kemudian dilanjutkan oleh Raja Fahd yang dikenal sangat modern dan progresif.

Akan tetapi perubahan signifikan dan fundamental terhadap perempuan, baik di sektor privat maupun publik, baru terjadi sejak era Raja Abdullah. Mendiang Raja Abdullah yang sangat toleran dan moderat itu telah membuka kran cukup lebar bagi perempuan untuk terlibat aktif menciptakan perubahan sosial-politik-ekonomi-budaya di berbagai sektor kehidupan (pendidikan, lapangan pekerjaan, bisnis,) dan di berbagai level: keluarga, masyarakat, dan bahkan negara.

Raja Abdullah-lah, misalnya, yang membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi perempuan untuk meniti karir di berbagai sektor publik, sebuah kebijakan politik yang menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Reaksi negatif tidak hanya datang dari kalangan ulama radikal-konservatif yang menganggap perempuan haram “keluyuran” di ruang-ruang publik tetapi juga dari kaum lelaki dan pemuda yang merasa terancam atau terbatas peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan jika perempuan diberi kesempatan untuk bekerja di sektor publik.

Meski ditentang, ia jalan terus. Hasilnya cukup fantastis: kini kita bisa menyaksikan kaum perempuan Saudi telah bekerja di berbagai sektor publik menekuni beragam profesi. Menyadari pentingnya pendidikan untuk menunjang “karir publik” perempuan, Raja Abdullah juga memberi peluang yang besar bagi kaum perempuan untuk menuntut ilmu pengetahuan dan mengejar berbagai gelar akademik.

Dia misalnya memprakarsai pendirian King Abdullah University of Science and Technology yang menjadi satu-satunya kampus modern campuran laki-laki dan perempuan di Saudi. Melalui King Abdullah Scholarship Program, ribuan perempuan Saudi telah dikirim ke berbagai universitas top dunia, khususnya Amerika dan Eropa, untuk belajar di berbagai disiplin keilmuan dari jenjang S1 sampai doktoral. 

Bukan hanya di dunia pendidikan, usaha, atau pekerjaan, Raja Abdullah juga memprakarsai perubahan di sektor politik. Pada 2013 misalnya, ia menunjuk tiga puluh perempuan (20% dari total anggota) sebagai anggota Majelis Syuro (Consultative Council) atau Dewan Penasehat Kerajaan yang memegang peran penting dalam memutuskan berbagai kebijakan sosial-politik-ekonomi-budaya menyangkut “rumah tangga” Arab Saudi.

Para pemimpin perempuan ini telah menjadi bagian penting dalam proses transformasi sosial, khususnya menyangkut hak-hak kaum perempuan di sektor publik. Bukan hanya di Dewan Penasehat, sejumlah lembaga elit-strategis lain seperti Council of Saudi Chambers of Commerce and Industry dan King Abdulaziz Center for National Dialogue juga menjadikan perempuan sebagai bagian penting dari “mesin” prubahan sosial di Saudi. 

Paska wafatnya Raja Abdullah, berbagai kebijakan positif-demokratis menyangkut kaum perempuan ini dilanjutkan oleh Raja Salman. Seperti diakui oleh sejumlah tokoh perempuan Saudi seperti Lubna Al-Ansari dan Masuda Kurban, Raja Salman telah melibatkan kaum perempuan dalam berbagai diskusi menyangkut kebijakan politik elit-kerajaan.

Pada akhir 2015, di bawah Raja Salman, Saudi kembali membuat sejarah dengan membolehkan perempuan untuk memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Kota dalam sebuah pemilu yang berlangsung cukup demokratis dan tertib. Pemilu tersebut berhasil mengantarkan setidaknya 20 perempuan Saudi menjadi pemimpin politik baru di keraajaan ini.

Atas berbagai usaha positif-konstruktif tentang pemberdayaan dan perlindungan “kaum Hawa” ini (termasuk pembuatan Undang-Undang untuk melindungi perempuan dari kekerasan domestik), Saudi—bersama Lebanon dan Mesir—mendapat penghargaan dari Bank Dunia.

Memang “PR” menyangkut emansipasi perempuan di Saudi masih sangat panjang karena tidak semuamasyarakat Saudi (termasuk kalangan elit agama dan politik) berpikiran maju, terbuka, dan demokratisserta bersedia memberi ruang bagi kemajuan perempuan. Meski begitu, berbagai perkembangan positif menyangkut isu-isu keperempuanan yang terjadi beberapa tahun terakhir ini merupakan sinyal kuat bagi perubahan sosial-politik-ekonomi yang lebih besar bagi kaum perempaun di masa mendatang.

Orang bisa saja menentang peran publik perempuan, tetapi tuntutan zaman modern atas emansipasi perempuan tidak bisa dielakkan.

Sumanto Al Qurtuby
Staf pengajar antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, dan

Visiting Senior Research Fellow di Middle East Institute, National University of Singapore.

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment