Friday, March 18, 2016

Yang Terlupa


Dunia Hawa – Sungguh saya bosan sekali untuk ngomong tentang Ahok. Tetapi orang ini memang sulit sekali untuk tidak dijadikan contoh. Banyak hal yang bisa dipelajari dari koko satu ini dibalik segala kekurangannya sebagai manusia biasa.

Ada satu yang menarik dari Ahok.

Ia bukan seorang pendeta, tetapi ia paham poin2 dalam beragama. Bukannya menyibukkan diri dan tenggelam dalam buku2 keagamaan yg pasti menarik perhatiannya, ia mengangkat dirinya lebih tinggi yaitu menjadikan agama sebagai aplikasi dalam kehidupan, dalam pekerjaannya.

Ahok -dengan segala hartanya- bisa saja menetapkan bahwa ia sudah cukup dengan dunianya. Ia cukup dengan hanya bersedekah, selebihnya menyamankan hidupnya. Tetapi tidak. Ada hal yang menarik perhatiannya, yaitu bagaimana ia memaksimal-kan potensi dirinya.

Maka, ia pun masuk dunia birokrasi dan meningkatkannya ke ranah politik. itu adalah pilihan hidupnya. Ia membangun medan perangnya. Ia harus mati meninggalkan nama.

Alasan Ahok mirip dengan seorang teman yang pengusaha. Ketika saya tanya, kenapa ia tidak berhenti saja dari keduniawian dan malah megembangkannya menjadi lebih besar dengan membesarkan perusahaannya?

Ia tersenyum, waktu itu kami sedang ngopi bersama.

“Saya bersedekah, menyumbang yayasan, yatim piatu dan banyak hal yang tidak perlu saya ceritakan. Sampai pada satu titik, sebersit pertanyaan mampir di benak, bagaimana seandainya saya mati? Mereka yang saya beri sedekah sudah terlanjur bergantung pada saya.

Saya malah merasa menjadi egois, hanya memikirkan cukupnya hidup saya tetapi tidak memikirkan cukupnya hidup orang lain..

Terlalu asik dengan sedekah, saya lupa hal lain yang seharusnya menjadi sangat penting, yaitu memberdayakan mereka. Mereka yang selalu saya beri sedekah, tentu juga tidak mau saya sedekahi terus menerus. Mereka ingin menjadi manusia yang berguna juga, minimal untuk keluarganya. Tetapi mereka tidak mempunyai jalannya, dan saya punya…”

Ia merenung sejenak sambil memainkan cangkir kopinya.

“Akhirnya cukup sudah dengan keilmuan itu, saya merasa harus meng-aplikasikannya dalam hidup. Saya bangun perusahaan sebesar2nya, dari hasilnya saya bangun unit2 kegiatan usaha, saya melatih tim dari yayasan keagamaan yang biasa saya beri sedekah dengan pelatihan ekonomi supaya mereka mandiri, dan – tujuan dari itu semua – saya mencetak profesional2 dalam ekonomi yang juga diberi pemahaman agama yg cukup…”

Memang itu yg dilakukannya. Ia mendirikan sekolah2, yayasan2, pusat kesehatan yang semua berjalan dengan mandiri. Dengan begitu, ia membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang.

Temanku menutup pembicaraan seiring habisnya secangkir kopinya.

“Yang perlu diingat, pertanggung-jawaban kita kepada Tuhan nantinya bukan hanya darimana sumber harta kita, tetapi juga bagaimana kita memaksimalkan potensi diri kita. Potensi itu amanah dan amanah harus dijaga sebaik2nya…”

Semangat ini saya tularkan ke banyak orang yang masih sibuk dengan diskusi2 agama tak berkesudahan. Belum banyak hasilnya, tetapi setidaknya ada secangkir kopi gratis disana.

[denny siregar]




Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment