Bu Mega, Sudalah!!!
Apa yang hilang dari PDI-P sekarang ini? Sebut saja satu kata, Integritas. Integritas adalah konsisten mempertahankan nilai2, dan nilai yang hilang dari PDI-P sekarang ini adalah “membela wong cilik”.
PDI-P lahir ditengah tekanan keras Soehato pada masa orde baru. Soeharto yang tidak ingin ada “sosok” yang melawannya, memecah PDI menjadi dua bagian, PDI versi Soerjadi dan PDI versi Megawati. Dan sebagai sosok yang mengancam, maka Megawati harus disingkirkan dan puncaknya adalah peristiwa penyerangan kantor PDI 27 Juli 1996.
Tekanan2 tersebut membuat nama Megawati berkibar sebagai “tokoh perlawanan” terhadap kepemimpinan Soeharto. Massa yang sudah jenuh dengan Soeharto yg otoriter masuk dan mengisi ruang2 di tubuh PDI Perjuangan. PDI-P lahir sebagai sebuah aksi perjuangan.
Besarnya tubuh PDI-P ternyata tidak membuat jiwa mereka juga besar. Arogansi sebagai partai pemenang kursi parlemen di banyak daerah, membuat mereka bertingkah seperti orang kaya baru. Tindakan2 mereka menjadi aneh di mata masyarakat, berlawanan dengan harapan yang selama ini ditanamkan.
Wong cilik bagi PDI-P bukan lagi menjadi komunitas yang dibela, tetapi dimanfaatkan seluas2nya. Mereka memegang pasar2 kaget dan tempat2 kumuh hanya untuk memperoleh suara sekaligus mengutip setoran2. Yang terjadi di banyak tempat di Indonesia adalah ketidak-teraturan tata kota. Dan ini dibiarkan belasan tahun lamanya.
Kader2 mereka banyak yang bobrok dan berakhir di penjara. Apa yang dulu mereka perjuangkan seakan hilang, diganti dengan ketamakan, arogansi, pemanfaatan dan banyak hal lainnya. PDI-P tumbuh menjadi organisasi yang setara dengan Soeharto dari sisi keganasan-nya.
Kejenuhan masyarakat terhadap PDI-P semakin lama semakin memuncak. Untungnya PDI-P tertolong dengan kemampuannya memainkan kartu dengan mengangkat orang2 yang punya integritas dalam menjabat. Tetapi anehnya, sesudah diangkat mereka juga yang berusaha menjatuhkannya.
Teringat dulu bu Risma yang diusung PDI-P untuk menjabat sebagai walikota, malah mau di-impeach ketika beliau menentang tol tengah kota. Dan salah satu motornya adalah kader PDI-P sendiri. Begitu juga kebijakan2nya di parlemen RI yang bertentangan dengan misi Jokowi, kadernya sendiri, untuk menciptakan pemerintah yang pro-rakyat dengan sibuk memaksakan BG sebagai Kapolri, menyingkirkan Abraham Samad sbg ketua KPK dan menjadi motor revisi UU KPK.
PDI-P ini sebenarnya mau kemana ?
Arogansi PDI-P mereka tampakkan lagi ketika mereka sibuk menentang Ahok yang mereka anggap tidak sopan. Padahal cara mereka mengulur waktu akan melemahkan posisi Ahok sendiri, dan ada kemungkinan itulah yg dilakukan PDI-P, untuk menjatuhkan Ahok, mengingat kader mereka di DPRD DKI selalu bertentangan dengan kebijakan Ahok. Mereka berkata mendukung Ahok sebagai langkah mengulur waktu untuk menaikkan posisi tawar.
Sesudah Ahok paham dan menetapkan dirinya di jalur independen, seperti anak kecil PDI-P sibuk dengan istilah deparpolasi, dimana partai tidak dianggap sebagai partner penting. Mereka tiba2 ribut dengan jalur independen yang dibilang liberal, padahal mereka jugalah yang menyusun dan menetapkan sistemnya.
PDI-P entah maunya apa…
Saya yakin masih banyak orang2 baik di PDI-P yang ingin menyeimbangkan situasi dan menyelamatkan kondisi partai, tetapi mereka kesulitan ketika keputusan akhir ada di tangan bu Mega yang dikelilingi pembisik2 yang punya kepentingan sendiri.
Bu Mega sudah terlalu lama diatas, berkuasa 17 tahun lamanya. Berada pada posisi puncak sekian lama, tentu akan berpengaruh pada psikologis, hal yang sangat manusiawi. Lelah dengan perasaan berkuasa selamanya, membuat beliau begitu mudah dipengaruhi. Belum ditambah kecurigaan2 akan ada yang mendongkel-nya dari orang2 dekatnya. Bagi mereka yang punya kepentingan pribadi, bu Mega terus dipaksa menjadi simbol untuk mengamankan apa yang mereka ingini. Kasian sebenarnya, tapi itu juga yang beliau sukai.
Tanpa sadar bu Mega perlahan2 berubah menjadi Soeharto, orang yang pernah menjadi musuh besarnya. Seperti sebuah karma, kutukan yang tidak bisa dihindari.
Bersyukurlah kita yang masih menjadi manusia biasa dan tidak terus menerus di posisikan sebagai dewa. Karena rasionalitas kita masih terjaga dengan semua kekurangan kita. Butuh secangkir kopi untuk membaca ini, tapi butuh2 bercangkir2 untuk memahaminya.
[denny siregar]
No comments:
Post a Comment