Tuesday, March 15, 2016

Aku Tidak Mencintai Suamiku


Dunia Hawa - Aku tidak cinta suamiku..” Tiba2 mataku terpaku pada satu tulisan di inbox, dari banyaknya inbox yang masuk. Lumayan panjang tulisannya. Ia bercerita tentang hidupnya yang terasa hampa, karena tidak cinta suaminya. Ia pernah minta cerai, tetapi ditolak. Dan sekarang, ia menjalani hari2nya dengan lubang di hati.

Saya jadi teringat pembicaraan dengan seseorang di masa lalu. “Aku tidak cinta suamiku. Setiap malam aku menangis kepada Tuhan. Kenapa aku diberikan pasangan yang buruk, ya Tuhan. Kenapa aku tidak Kau berikan kebahagiaan di sisa hidupku? Apa yang kurang dariku yang menjadikanku harus menerima hukuman-mu ya Tuhan?

Hatiku sudah sakit, tidak mungkin lagi aku memperbaikinya. Aku sudah tidak lagi mempercayainya. Ia mengkhianati seluruh kepercayaan yang kuberikan padanya. Aku sudah tidak cinta suamiku, bahkan aku muak setiap melihatnya.. “

“Lalu, kenapa masih bertahan sampai sekarang ?” Tanyaku sambil mengaduk2 kopi di gelasku. Dia terdiam sejenak. Matanya menerawang. Dia bahkan tidak menyentuh the hangatnya. Seakan itu sudah tidak penting lagi baginya.

“Tiba2, pada suatu malam, akal-ku seperti terbuka. Seakan Tuhan bicara kepadaku, “Hei, apakah kamu tahu ? Dia ada karena engkau yang memilihnya, lalu kenapa kau salahkan Aku ? Kalian yang dulu berbicara dengan bahasa nafsu dan kalian bingkai dengan kata “cinta”. Lalu ketika ada masalah, kamu lemparkan ke Aku seolah2 aku tidak memberimu kebahagiaan..”

Gelas kopiku sejenak terdiam, aku berhenti mengaduk dan kudengar ceritanya yang menarik. Dia melanjutkan. “Suara itu terus berbicara di benakku. “Kamu tahu apa itu bahagia ? Bahagia itu adalah persepsi-mu dirimu. Kamu senang dan nyaman, maka kamu menamakannya bahagia. Kamu tidak nyaman dan kamu katakan tidak bahagia.

Ketika kamu tidak menyukai sesuatu, maka apapun yang terjadi kamu tidak akan pernah suka. Lihat, kamu kembali berbicara dengan nafsumu. Dulu memilihnya karena nafsu, sekarang ingin membuangnya juga karena nafsu..”
Kopinya kurang nendang, tidak seperti di warkop yang tiga ribuan.

“Apakah kamu tahu dimana bahagia yang sesungguhnya itu? Bahagia yang sesungguhnya adalah ketika nanti kau dekat pada-Ku. Dan dekat pada-Ku, tidaklah mudah. Banyak yang harus kamu korbankan di dunia, karena pengorbanan itu adalah pengabdian. Dalam pengorbanan itu ada sabar, ada ikhlas, ada kesombongan yang harus diruntuhkan… Dan semua itu sulit dilakukan ketika kenyamanan dunia mendekapmu.

Lalu, mana yang mau kamu pilih ? Kenyamanan dunia atau kenyamanan saat dekat dengan-Ku nanti?”

Menarik. Kuseruput kembali kopiku.

“Dia yang kau anggap buruk adalah tanggamu menuju surga. Dia hanya perantara saja di dunia untukmu. Berlatihlah untuk mengabdi dengan semua pengorbanan-mu. Belajarlah mencintainya bukan karena dia pasanganmu yang sempurna, tetapi karena dengan dia-lah, dengan semua ketidak-nyamananmu bersamanya, maka kamu mendekat pada-Ku.

Cintai-lah kekurangannya, bukan karena jasadnya. Cintai-lah ketidak-cintaanmu padanya. Cintai-lah bukan karena nafsu, tetapi karena kamu mencintai akhirat. Dan biarkan Aku yang mengurus semuanya…”

Obrolan itu terjadi beberapa tahun lalu dan dia masih tetap bersama suaminya. Tuhan memperbaiki hubungan keduanya, mungkin bukan dalam konsep mencintai hati seseorang, tetapi mencintai kemapanan dalam hubungan.
Tidak mudah memang, aku yakin itu. Tetapi juga tidak sulit ketika akhirnya kita berdamai dengan situasinya. Setiap manusia punya medan perangnya masing2.

Hujan tidak begitu lebat malam ini, tetapi ia terjaga dengan rintiknya sepanjang malam. Aku hanya punya secangkir kopi, cukuplah menemani. Mau tidak mau, aku harus berdamai dengan situasi malam ini.
“Barangsiapa yang memperbaiki hubungan dirinya dengan Allah, niscaya Allah akan memperbaiki hubungan dirinya dengan manusia” Imam Ali as. – Untuk seorang teman –

[denny siregar]




Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment