Saturday, September 9, 2017

Rohingya dan Analisis Geopolitik & Ekonomi-Politik


DUNIA HAWA Beberapa kali saya tulis (baik di FB, FP, maupun buku), dalam menganalisis konflik itu ada 4 faktor yang harus diteliti, dua di antaranya yang terpenting adalah trigger (pemicu) dan pivot (akar). Dua faktor ini sering dicampuradukkan, yang trigger dianggap sebagai akar konflik dan orang berputar-putar berdebat di sana.

Konflik Rohingya kalau dipetakan, ada dua lapis: lapisan pertama atau permukaan-nya diframing sebagai konflik agama. Pasalnya, si pelaku beragama Buddha (yang ekstrimnya, tentu saja, tidak bisa digeneralisasi; tokoh-tokoh Buddha di Indonesia sudah berlepas diri dari para ekstrimis ini), dan si korban beragama Islam. Lapisan pertama ini yang sering digoreng sebagian pihak di dalam negeri untuk kepentingan politik dan uang. 

Di sisi lain, rekam jejak biksu Wirathu yang secara provokatif membangkitkan kebencian kepada Muslim juga tidak bisa dipungkiri. Artinya, memang ada upaya pihak-pihak ekstrim di Myanmar yang memanfaatkan agama untuk mengeskalasi konflik. Tapi, ini BUKAN AKAR, ini adalah TRIGGER, pemicu.

Pemicu itu adalah sesuatu yang bikin publik marah lalu menjustifikasi kekerasan. Samalah seperti orang yang demen jihad di Indonesia, lihat foto-foto bocah berdarah di Suriah, langsung teriak jihad lawan Syiah, padahal ternyata foto hoax.

Lalu, akarnya di mana? Mereka yang terbiasa untuk menggunakan perspektif ekonomi-politik dan geopolitik dalam menganalisis konflik, sambil merem pun sudah menduga kuat bahwa pasti ada faktor kekayaan yang sangat besar di sana, yang sedang diperebutkan. Inilah analisis lapisan kedua-nya, yang lebih dalam.

Sepintas ini seolah tulisan konspirasi. Tapi tunggu, saya jelaskan dulu, dengan mengupas kasus Timteng karena saya memang lebih consern di Timteng.

Sering saya temukan, ketika saya (atau orang lain) menulis “Barat ada di balik konflik negara X”, muncul bantahan seperti ini “Jangan nyalah-nyalahin Barat! Itu kan salah warga negara X sendiri karena..bla..bla..” atau “Anda ini pakai teori konspirasi!” atau kecaman senada dengan berbagai model. Saya sungguh heran, di zaman internet begini, masih juga banyak yang belum paham bahwa dunia sudah jauh berubah. Tidak ada konflik yang berdiri sendiri di era globalisasi ini.

Tentu saja, yang dimaksud ‘Barat’ adalah politisi, korporasi, media mainstream yang memang sangat krusial perannya dalam konflik, bukan civil society-nya. Jadi jangan karena “tetangga saya orang Amerika, baiiiik banget”, lalu Anda buru-buru menolak argumen saya. Buku-buku sudah banyak ditulis juga oleh orang Barat sendiri, betapa memang tangan-tangan Barat berlumuran darah di berbagai konflik, mulai dari Asia hingga Afrika, dan bahkan Eropa (misal, Ukraina).

Contoh konkritnya, Suriah. Seharusnya dengan cepat bisa ditangkap ada bau amis di balik konflik ini: para jihadis itu datang dari berbagai penjuru dunia, bukan orang Suriah asli. Website SOHR (Syrian Observatory for Human Rights – ini lembaga sangat anti-Assad) menyebutkan bahwa 90% petempur dari pihak “rezim” adalah rakyat Suriah asli. Sebaliknya, 70% petempur dari pihak pemberontak adalah orang-orang asing/bukan warga Suriah.

Asal tau aja, jihadis itu digaji ratusan hingga ribuan dollar, nggak gratisan. Senjata, tank, mobil, dan bom juga harus dibeli. Yang namanya perang itu mahal sekali, amat mahal. Jadi, sudah pasti ada yang mendanai. Ga mungkin gratisan lillahi ta’ala. Lalu, siapa donaturnya? Sudah amat jelas, mereka adalah AS dan teman-temannya (termasuk Arab Saudi, Qatar, Turki, dll).

Lalu, apa “balik modalnya”? Jawabannya bisa ditebak: migas dan faktor geopolitik. Contoh lain, Libya. Para “mujahidin” mengaku berjihad menggulingkan Qaddafi tapi kemudian teriak-teriak minta bantuan NATO dengan alasan “ada kejahatan kemanusiaan”.

Setelah Qaddafi tumbang, siapa yang menguasai proyek-proyek infrakstruktur (membangun kembali apa-apa yang sudah hancur dibom NATO dan jihadis)? Siapa yang rame-rame mengeksplorasi minyak di sana? Gampang banget jawabannya, AS dan Inggris. Para “mujahidin” yang konon Islami itu pun dengan sumringah bersalaman dengan Hillary Clinton.


Foto : Hillary Clinton dan para bos “mujahidin” Libya (Tripoli, 18 Okt 2011)

Sekarang bagaimana dengan Myanmar vs Rohingya?


Beberapa waktu yang lalu, GP Ansor merilis hasil kajian geopolitik&ekonomi-politik mereka, yang menyimpulkan bahwa konflik di kawasan Arakan-Rakhine itu sebenarnya adalah perebutan sumber daya alam dan pertarungan geopolitik. Pasalnya, wilayah Arakan – Rakhine itu sangat strategis dan kaya. Di sana ada pipa migas sepanjang hampir 1.000 km dan blok-blok migas dengan cadangan yang sangat berlimpah, terbentang di darat dan laut sekitar Rakhine dengan luas area lebih dari 50.000 km2. Di sana, semua pemain migas besar internasional maupun regional (kecuali Pertamina/Indonesia) beroperasi. 

Jadi, itulah sebabnya, negara-negara besar cenderung diam. Soalnya mereka sedang berupaya merebut hati junta militer Myanmar. Bandingkan dengan Libya. Meski belum ada investigasi PBB atas kejahatan kemanusiaan yang dituduhkan ke Qaddafi, hanya dalam sebulan sudah keluar resolusi PBB yang memberi kesempatan kepada NATO untuk mengebom Libya. Lha ini Rohingya, sudah lama sekali badan-badan PBB sendiri yang menyatakan terjadi penindasan terhadap etnis Rohingya, tapi tidak ada langkah konkrit dari negara-negara adidaya anggota Dewan Keamanan PBB.

Jadi, melihat konflik itu harus lihat big picture-nya, jangan cuma tau sepotong kecil info lalu teriak jihad. Apalagi sampai mau menggeruduk Candi Borobudur. Apalagi ngomel-ngomelin Presiden. Yang sedang rebutan migas orang lain, yang kalian suruh membereskan kotorannya kok Presiden negara kita sendiri. Duh.

@dina y sulaeman 

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment