Saturday, June 3, 2017

Pernyataan Setya Novanto, Teroris Tak Punya Agama, Menyesatkan Publik


DUNIA HAWA Setya Novanto membuat pernyataan aneh: teroris tidak punya agama. Benarkah teroris tidak punya agama? Faktanya, lain. Pelaku pemboman, yang disebut para pengantin, melakukan aksi teror karena keyakinan agama. Bahkan diajarkan dengan menjadi pelaku bom bunuh diri mereka akan segera masuk surga dan mendapatkan 72 bidadari yang hot. Itu keyakinan agama, meskipun sesat bukan berarti keyakinan agama pelaku pemboman bisa dinafikan begitu saja.

Fakta lainnya adalah para teroris pun menjalani deradikalisasi menurut agama tertentu, mereka 100% beragama Islam. Ini menunjukkan para teroris beragama. Teroris melakukan perbuatannya karena keyakinan agama – meskipun salah. Itu tujuan deradikalisasi yang di Indonesia gagal total. Keberhasilan deradikalisasi teroris hanya kurang dari 1% saja. (Maka tindakan Densus 88 dan Polri serta TNI untuk membunuhi tersangka teroris patut didukung dan langkah tepat memberantas terorisme di Indonesia.)

Senyatanya, banyak orang tidak berani mengakui, terutama politikus, bahwa teroris bertindak atas nama agama, ideologi, dan keyakinan atau tujuan tertentu.

Simplifikasi alias penyederhanaan tentang terorisme dan radikalisme dengan mengatakan teroris tidak punya agama patut dipertanyakan. Seperti pernyataan Setya Novanto, seperti diberitakan di Tempo.com, pada 29 Mei 2017, bahwa teroris tidak punya agama sama sekali tidak berdasar. Bahkan pernyataan seperti itu bisa tendensius sifatnya.

Penyematan gelar kehormatan bagi pelaku kekerasan, pembunuhan, teror, pemboman, pembajakan, dan bahkan persekusi dan bully bernama teroris sering dilakukan dari sudut pandang seberang, dari sudut pandang dan perspektif lawan. Perspektif para korban teror. Sejumlah fakta menunjukkan para teroris memiliki agama, bukan harus Islam atau Yahudi atau Kristen atau Hindu atau Buddha atau bahkan atheist, atau Shinto sekali pun.

Para pelaku pemboman, teror bom di Indonesia dan dunia, dan perang di Ambon, di Syria, Iraq, Amerika Serikat, di Marawi, semuanya memiliki agama dan menganut agama dan keyakinan tertentu.

Teroris yang menggunakan gas sarin untuk meneror penumpang kereta api pada 27 Juni 1994 adalah kelompok Aum Shinrikyo beragama gabungan Shinto dan Buddha.

Pada Desember 2016 dan sebelumnya, dunia dikejutkan oleh aksi teror bahkan genosida yang dilakukan oleh tentara Myanmar yang beragama Buddha. Bahkan ada tokoh agama Buddha Ashin Wirathu yang selalu mengajak untuk melakukan teror. Di Indonesia ada teroris punya agama, agama Islam seperti Abu Bakar Ba’asyir.

Para tentara Israel yang disebut oleh Hamas sebagai teroris memiliki agama Kristen, Islam atau Yahudi. Hamas pun dicap sebagai teroris oleh Israel, yang pengikut Hamas mayoritas beragama Islam atau Kristen.

Para teroris yang membunuhi pengikut Sikh pada tahun 1 Juni 1984 dilakukan oleh tentara India yang beragama Hindu atau Islam. Pemboman oleh IRA di Irlandia Utara dan Inggris beragama Katolik.

Para pengikut ISIS dari seluruh dunia beragama Islam seluruhnya. Para pengikut teroris Abu Sayyaf juga beragama Islam. Para pelaku pemboman di Paris, London, San Bernardino, Belgia, Jakarta, Bangladesh, Spanyol, Moskow, Iraq, Afghanistan, Mali, Kenya, Syria, Libya, Tel Aviv memiliki agama pula, Islam.

Di Indonesia, para teroris pelaku pemboman jelas beragama Islam seperti Imam Samudera, Gufron, Hambali, Abu Bakar Ba’asyir, Imron bin Muhammad Zein, dan sebagainya.

Maka menyebutkan bahwa para teroris tidak memiliki agama akan semakin memberikan angin kepada para teroris dan simpatisan teroris; bahwa agama mereka tidak disentuh. Fakta nyata tentang semua teror dilakukan atas dasar dan mengatasnamakan perjuangan (1) ideologi, (2) agama, (3) keyakinan, dan (4) tujuan lainnya seperti kebangsaan.

Teroris yang meledakkan diri dengan meneriakkan slogan keagamaan untuk menghancurkan diri dan orang lain jelas memiliki agama dan keyakinan. Para pengantin, istilah bagi para pelaku pemboman dan amaliyah jelas beragama Islam. Soal para pelaku taat atau tidak taat terhadap agama yang dianut oleh para teroris itu bukan menjadi persoalan. Yang jelas dan faktual adalah mereka beragama atau berkeyakinan.

Jadi pernyataan para politikus, tokoh agama, pengamat, dan publik yang menyebut para teroris tidak punya dan tidak beragama adalah menyesatkan. Pernyataan itu sesunguhnya adalah sebuah denial, atau pengingkaran atas fakta nyata.

Tujuan dari pernyataan bahwa teroris tidak memiliki agama adalah untuk mengaburkan kenyataan kejahatan atas nama atau mengatasnamakan agama. Selain itu jelas pernyataan tersebut adalah upaya untuk membohongi diri dan publik atau masyarakat.

Pernyataan itu bersifat denial  (pengingkaran ) dan memiliki hidden agenda (agenda tersembunyi) itu bertujuan antara lain (1) tidak mau membawa-bawa agama pelaku teror, karena (2) bisa melukai para penganut agama pelaku teror, (3) simpati dan menyetujui dalam hati terhadap perbuatan teror yang dilakukan oleh orang yang beragama sama, (4) untuk membela secara politik sentimen dukungan dalam hati para pengikut agama yang menyetujui terorisme.

Maka dalam rangka melawan teroris, sepatutnya para politikus tidak perlu menutup-nutupi kenyataan bahwa teroris bertindak memiliki motif dan keyakinan.  Keyakinan itu juga bisa menjadi alasan seseorang penganut keyakinan untuk melakukan teror. Keyakinan tersebut bisa berupa agama atau ideologi lainnya.

Untuk itu, ketika bom diledakkan oleh orang yang jelas beridentitas agama tertentu, entah itu Yahudi, Kristen, Katolik, atheist, Islam, Hindu atau Buddha, para politikus tidak perlu membuat pernyataan konyol: teroris tidak memiliki agama.

Pun pernyataan itu justru mengaburkan kekerasan atas nama agama dan bisa menjadi picuan karena menjadi permisif. Ketika fanatisme berdasar agama atau ideologi menjadi alasan untuk melakukan teror, sementara politikus semprul menyebutnya sebagai ‘teroris tidak memiliki agama’ maka itu hanya pengingkaran dan pembodohan, atau permisifisme terhadap teror. Kontra produktif.

Maka ketika ada teror, politikus tidak usah membuat pernyataan konyol yang kontra produktif, yang justru terkesan mendukung terorisme atau bersimpati pada kekerasan dan teror – sebagia perjuangan ideologis. Maka pernyataan normatif seperti yang disebutkan oleh Setya Novanto itu tak perlu didengarkan dan diulangi oleh politikus lain. Pun dengan identifikasi pelaku bom dari penganut agama tertentu akan menjadi alat untuk introspeksi dan melakukan tindakan tepat. Tanpa mengenali dengan jelas agama pelaku teror alias teroris dipastikan tidak akan bisa melakukan deradikalisasi, atau tindakan preventif atas teror.

@ninoy karundeng 

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment