Thursday, May 11, 2017

Meniru Aksi 98 yang Antiklimaks


DUNIA HAWA - Aksi Bela Islam nampaknya sudah tidak akan ada lagi. Divonisnya dua tahun terdakwa penistaan agama Basuki Tjahja Purnama menjadi puncak atas aksi tersebut. Namun, ada sejumlah sejumlah kemiripan dari Aksi Bela Islam dengan tragedi 98. Dua agenda tersebut sama-sama agenda makar. Bedanya, agenda makar pada aksi 98 dilandasi dengan pemerintahan yang rusak. Untuk makar di Aksi Bela Islam ini jelas untuk merusak pemerintahan.

Alasan makar ini hanya ingin memenjarakan Ahok-sebutan akrab Basuki. Ada beberapa orang yang berang karena status terdakwa Ahok tidak membawanya dipenjaranya. Bahkan, dari kasus tersebut Ahok malah masih bisa menjabat sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Keadaan ini membuat sejumlah orang gerah. Termasuk rival politik Ahok di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal tersebut Fadli Zon geram. Sejumlah anggota DPR membuat hak angket atas kejadian tersebut.

Tidak jauh dari agenda itu, kejadian makar diungkap oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Kombes Rikwanto mengatakan, polisi terus melakukan penyidikan dalam kasus dugaan pemufakatan makar. Hal tersebut dilansir di kompas.com, Rabu (7/12/2016). Dia menyebutkan, Polri telah mengantongi nama dari bukti transfer terkait rencana makar itu.

Meski demikian, Rikwanto enggan menyebutkan siapa saja nama-nama tersebut. Bareskrim Polri dan Polda Metro Jaya juga masih menelusuri aliran dana terkait kasus ini. “Aliran dana ini masih kami telusuri, masih kami pertajam, dari mana, untuk apa dan untuk kepentingan apa,” ujar Rikwanto.

Menurut Rikwanto, aliran dana tersebut diduga akan digunakan saat aksi damai pada 2 Desember 2016. Saat aksi itu, akan dibuat kerusuhan dan mengambil keuntungan dengan menduduki Gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Kejadian rusuh tersebut juga mengingatkan pada tragedi Mei 1998. Di mana pada saat itu, sejumlah elemen berhasil menggulingkan pemerintahan Soharto.

Aksi Bela Islam yang diusung oleh Front Pembela Islam (FPI) dan GNPF – MUI diawal aksi yang menggunakan angka cantik itu mengusung aksi damai. Memang pada awal aksi para masa aksi tanoa ada kekerasan sedikit pun. Lalu, pada aksi 212 lihatlah para masa aksi sangat brutal. Di mana menjarah sejumlah minimarket dan toko lainnya.

Menurut laporan Nairn, tujuh staf intelijen/militer aktif dan pensiunan menyatakan kepada saya bahwa SBY memang menyumbang untuk aksi protes FPI, tetapi menyalurkannya secara tidak langsung. Salah satu informan tersebut adalah Laksamana (Purn) Soleman B. Ponto—bukan pendukung gerakan makar—mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) dan penasihat aktif Badan Intelijen Negara (BIN). “SBY menyalurkan bantuannya lewat masjid dan sekolah,” kata Soleman.

Hampir semua pensiunan tentara dan sebagian tokoh militer, menurut Soleman, mendukung tindakan SBY tersebut. Ia mengetahui hal ini karena—selain keterlibatannya di dunia intelijen—jenderal-jenderal pro makar adalah rekan dan kawan-kawannya, banyak di antara mereka berhimpun dalam grup WhatsApp “The Old Soldier”.

Menurut Soleman, para pendukung gerakan makar di kalangan militer menganggap Ahok cuma pintu masuk, gula-gula rasa agama buat menarik massa. “Sasaran mereka yang sebenarnya adalah Jokowi,” katanya.

Caranya tentu bukan serangan langsung militer ke Istana Negara, melainkan kudeta lewat hukum. Hanya, kali ini publik tidak berada di pihak pemberontak. Skenario lain: Aksi-aksi protes yang dipimpin FPI bakal menggelembung kelewat besar, membikin Jakarta dan kota-kota lain kacau-balau, lalu militer datang dan menguasai segalanya atas nama menyelamatkan negara.

Kejadian tersebut dibuat mirip dengan kerusuhan Mei 1998. Keadaan sedikit mencekam. Di mana perekonomian sulit terkontrol. Namun, aksi 212 ternyata masih dapat terkendali. Sejumlah harga tidak naik. Dalam hal ini, pemerintah berhasil mengontrol harga dan ketersedian barang-barang pokok. Pada zaman reformasi dulu, semua sudah tertata dengan rapih. Aksi demo yang melibatkan seluruh mahasiswa di seluruh Indonesia terjadi ketika Presiden Soeharto melakukan kunjungan ke luar negeri.

Untuk kali ini, semua tindakan menuju ‘reformasi’ baru antiklimak. Semua tuntutan dari masa Aksi Bela Islam sudah terpenuhi. Yakin, divonisnya Ahok dengan hukuman penjara dua tahun. Dimungkinkan gerakan tersebut akan redam dengan sendirinya.

Lebih jauh, kegiatan makar hanya ingin menarik kiblat Indonesia kembali ke Amerika Serikat. Semenjak ke Jokowi menjabat haluan politik internasional saat ini sudah tidak terlalu berkiblat ke AS. Apalagi, Indonesia pada 2019 sedang mengincar Dewan Keamanan (DK) PBB.

@nurdiani latifah


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment