Friday, May 12, 2017

Isu PKI, Daging Bangkai Berkalang Tanah


DUNIA HAWA - Semenjak Pemilihan Presiden 2014, masyarakat terpolarisasi, Indonesia terbelah menjadi dua kubu. Namun menariknya, ada isu usang yang kembali dihidupkan untuk melumpuhkan kelompok lainnya, yakni bangkitnya komunisme (baca: Partai Komunis Indonesia/PKI). Dasar tuduhan mereka adalah serbuan pekerja ilegal dan membanjirnya produk-produk asal Tiongkok.

Isu PKI itu sudah usang dimakan jaman. Seberapapun lantang mulut menuduh sana-sini, tidak akan menjadi sebuah keyakinan dan kesepakatan mayoritas bangsa Indonesia sebagaimana yang terjadi di tahun 1965-1966. Selain bukti yang sangat lemah dan sangat minim fakta, juga cenderung mengada-ngada yang sengaja disebarkan oleh beberapa elit politik (demagog).

Jangan dilupakan juga bahwa situasi dan kondisi internasional selalu mempengaruhi gerak arah perpolitikan atau perjalanan sejarah suatu negara di dunia ketiga, Indonesia khususnya. Berikut ini saya coba paparkan argumentasi saya.

Saat kejadian 1965, situasi internasional sedang mengalami “Perang Dingin”/Cold War. Antagonisme yang berlangsung adalah antara Kapitalisme dan Imperialisme (Blok Barat) dengan Komunisme (Blok Timur). Indonesia yang saat itu di bawah pemerintahan Sukarno sebenarnya bersikap netral/Non-blok.

Namun dikarenakan ada kecenderungan bangsa barat tidak ramah kepada Sukarno, maka adalah konsekuensi logis apabila Sukarno cenderung dekat kepada negara-negara blok timur, khususnya Tiongkok karena merasa lebih dihargai. Bukan tanpa sebab juga Sukarno dimusuhi oleh kubu Blok Barat, dikarenakan dia sangat menentang imperialisme yang menjadi garis kebijakan luar negeri Blok Barat.

Meskipun Sukarno dekat dengan Blok Timur dengan ideologi Komunismenya, namun Sukarno tidak pernah merasa menjadi seorang Komunis atau membawa Republik Indonesia menjadi negara Komunis, ia seorang Nasionalis sejati. Sukarno adalah seorang Pancasilais karena dialah sang penemu Pancasila.

Meskipun dengan rendah hati dia mengatakan bahwa dia bukanlah penemu Pancasila, dia hanya menggali Pancasila dari nilai-nilai yang sudah lama hidup di dalam jiwa setiap insan Nusantara, ada di dalam jiwa seluruh rakyat Republik Indonesia yang dia cintai. Bahwa setiap jiwa orang Indonesia adalah insan yang berketuhanan Yang Maha Esa, menjungjung rasa kemanusiaan, terikat rasa senasib sebagai bangsa Indonesia, menjunjung musyawarah untuk mufakat, dan senantiasa bergotong-royong saling membantu sesama tanpa membeda-bedakan.

Tahun 1965, pada saat itu tensi perpolitikan dalam negeri sedang tinggi, di antaranya adalah perseteruan antara Tentara Nasional Indonesia, khususnya Angkatan Darat (TNI AD), dengan PKI semakin meruncing. Klimaksnya adalah penolakan usul PKI, yakni membentuk Angkatan kelima yang terdiri dari kaum buruh dan tani yang dipersenjatai ditolak mentah-mentah oleh Jenderal Ahmad Yani sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) waktu itu.

Usul Angkatan Kelima sebenarnya bukan ide tanpa dasar. Usul tersebut adalah berkenaan Indonesia yang saat itu sedang berkonfrontasi dengan Malaysia. Menurut Sukarno, pembentukan negara Malaysia (waktu itu bernama Federasi Malaysia) adalah provokasi pihak Inggris dan dianggapnya “boneka Inggris” sebagai kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru. Alasan lainnya adalah Angkatan Kelima merupakan pelaksanaan konsep Bela Negara sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Untuk membantu tentara regular bertempur melawan Malaysia yang dibantu koalisi Inggris, maka rakyat (yang menurut interpretasi PKI adalah terdiri dari kaum buruh dan tani) diikutsertakan dengan menjadi sukarelawan. Usul itu tetap ditolak oleh Jenderal Ahmad Yani dengan alasan tidak efisien. Meski demikian, seorang Sukarno berhasil menggelorakan semangat patriotisme rakyat Indonesia dengan menyerukan Komanda Ganyang Malaysia (KOGAM).

Inggris yang saat itu merupakan salah satu negara utama pendukung Blok Barat bersama sekutu utamanya adalah Amerika Serikat, merasa Sukarno-lah penghalang utama kepentingan-kepentingan mereka di wilayah Asia Tenggara. Maka mereka selalu mencoba melakukan operasi terselubung untuk menjatuhkan Sukarno.

Di mulai dari akhir tahun 50an sampai awal tahun 60an; menyokong persenjataan gerakan separatis Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), sampai mengirim pesawat pembom ke wilayah udara Indonesia dengan tujuan membom istana negara yang dipiloti seorang tentara bayaran berkebangsaan Amerika bernama Allen Pope, semua itu diduga merupakan operasi terselubung yang dirancang oleh Central Intelligence Agency (CIA).

Sebagaimana kita bangsa Indonesia mengetahui bahwa pada tahun 1965 terjadi sebuah peristiwa yang dikenal sebagai Gerakan 30 September. Mereka melaksanakan Gerakan 30 September menamakan kelompok mereka dengan nama Dewan Revolusi. Gerakan tersebut menculik dan membunuh para Jenderal yang dituduh tergabung dalam Dewan Jenderal yang akan melakukan makar dengan menjatuhkan Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia saat itu.

Kejadian tersebut adalah menjadi klimaks dari tensi politik dalam negeri Indonesia yang sedang memanas kala itu. Akhirnya, sejarah Indonesia mencatat bahwa rakyat yang anti PKI didukung penuh oleh TNI AD berhasil memenangkan “pertarungan” dengan memberangus PKI dan memberantas orang-orang yang dituduh PKI dengan cara dieksekusi tanpa pengadilan dan dikirim ke kamp tahanan di Pulau Buru.

Sebagai puncak rentetan dari peristiwa itu, Presiden Sukarno diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada tahun 1967 dan mengantarkan Jenderal Suharto sebagai penggantinya.

Menurut versi Orde Baru di bawah rezim Suharto, adalah PKI dengan paham komunismenya yang berada di belakang Gerakan 30 September. Namun demikian, tidak sedikit peneliti sejarah baik dari Indonesia sendiri maupun luar negeri yang menjadikan peristiwa tersebut sebagai bahan kajiannya. Beberapa hasil penelitian mereka mengungkapkan bahwa ada keterlibatan Amerika Serikat di bawah kordinasi CIA berada di belakang peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang berujung pada jatuhnya Sukarno di tahun 1967.

Suharto ketika menjadi presiden mengubah kebijakan koalisi luar negeri Sukarno. Suharto cenderung dekat kepada Blok Barat, khususnya Amerika Serikat. Kebijakan Suharto lainnya adalah mengejar ketertinggalan dalam pembangunan/percepatan pembangunan Indonesia dengan cara mengajukan bantuan dana (hutang luar negeri) kepada lembaga moneter/keuangan yang berasal dari Amerika Serikat yakni Bank Dunia (World Bank).

Demikianlah jika ditelaah dari perspektif global. Perang Dingin di Indonesia antara Blok Barat dengan Blok Timur akhirnya dimenangkan oleh Blok Barat (baca; Amerika Serikat).

Angin perubahan dunia kemudian berubah, ditandai dengan tembok Berlin yang memisahkan Jerman Timur (berhaluan Blok Timur) dengan Jerman Barat (berhaluan Blok Barat) pada Januari 1990 resmi dirobohkan. Reunifikasi Jerman tersebut mengubah bentuk pemerintahan tersebut menjadi Republik Parlementer.

Kemudian negara yang menjadi rival utama Amerika Serikat dalam Perang Dingin sebagai negara adikuasa yang dianggap pemimpin Blok Timur yang berhaluan komunis yaitu Uni Sovyet akhirnya bubar pada bulan Desember 1991, kemudian pecah menjadi 12 negara. Penggunaan nama Uni Sovyet pun dirubah menjadi Rusia dengan bentuk negara tidak lagi komunis melainkan Federasi.

Dengan robohnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Sovyet tersebut dapat diartikan bahwa Perang Dingin telah berakhir, Blok Timur dengan komunismenya telah hancur, dan Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara adikuasa, dan dianggap satu-satunya negara super power. Lalu pertanyaannya, apakah sebagai negara super power kini Amerika Serikat bebas menjalankan kebijakannya dan memaksakan kepentingannya di seluruh dunia? Jawabannya ternyata TIDAK.

Kebijakan Amerika Serikat di Jazirah Arab yang pro negara Zionis Israel mendapat tentangan dan perlawan dari negara-negara Islam sebagai bentuk solidaritas kepada bangsa Palestina yang negaranya diambil alih oleh bangsa Yahudi dengan mendirikan negara Israel. Penentangan dan perlawanan yang paling keras tentu saja dilakukan oleh kelompok Islam garis keras.

Kelompok Islam garis keras ini paham betul bahwa tidak mungkin menghadapi Amerika Serikat secara perang frontal terbuka karena akan kalah secara teknologi. Mereka menjalankan bentuk perang dan perlawanan lain, yakni melalui ideologi yaitu dengan menanamkan dan menyebarkan paham Radikalisme Islam dan strategi perang dengan cara Terorisme.

Peristiwa dihantamnya menara kembar World Trade Center di Manhattan, New York, Amerika Serikat pada 11 September 2001 dengan pesawat yang dibajak diyakini didalangi oleh Al-Qaeda menegaskan Amerika Serikat akan musuh besar baru mereka, yaitu kelompok Radikal Islam. Amerika Serikat melancarkan sebuah propaganda dalam menyerang negara-negara pendukung kelompok Islam Radikal dengan jargon War On Terrorism.

Kembali ke Indonesia, dengan kondisi terkini berhembusnya isu bangkitnya PKI yang tujuan utama sebenarnya adalah melancarkan fitnah untuk membunuh karakter lawan politik. Cara itu tak ubahnya seperti kembali memakan daging yang sudah sangat lama dikubur dalam peti, meski sudah tidak berbentuk utuh bahkan nyaris hancur berkalang tanah tetap dipaksakan memakannya.

Namun tidak sedikit pula yang percaya daging itu masih segar dan menelannya mentah-mentah. Mereka lupa bahwa PKI komunisme sudah “tidak laku di pasaran” karena rakyat sudah cerdas memahami bahwa komunisme bersifat totaliter yang pemerintahannya dijalankan secara diktaktor, perekonomian yang stagnan karena dikelola sentralistik segalanya diputuskan pemerintah dan tidak ada kebebasan yang sifatnya individual.

Bangsa-bangsa dunia saat ini tidak ada yang benar-benar murni dan konsekuen menjalankan komunisme, bahkan di Republik Rakyat Cina/Tiongkok. Saat ini perdagangan produk Tiongkok bersaing menguasai pasar internasional. Itu berarti berarti Tiongkok semakin bersifat kapitalis.

Hanya tinggal Korea Utara yang masih menjalankan komunisme ala Mao Zedong, itupun negara mereka sangat tertutup dan menarik diri dari pergaulan internasional dan lagi-lagi tidak murni dan konsekuen dengan komunismenya. Mereka menjalankan ideologi tradisional Korea yang disebut Juche.   

Dari uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan:


1. Hadirnya Komunisme di jaman Kolonial Belanda, terkhusus di Indonesia sejak tahun 1914 adalah konsekuensi logis sebagai anti-tesis/lawan dari musuh ideologinya; Imperialisme dan Kolonialisme yang saat itu mencengkram Indonesia sebagai bangsa jajahan, sebagaimana kebanyakan bangsa-bangsa di Asia-Afrika. Saat ini tidak ada lagi bangsa-bangsa yang dijajah oleh bangsa lain.

2. Semenjak Perang Dingin berakhir, maka berakhir pula komunisme sebagai ideologi yang dianut suatu bangsa.

3. Komunisme, Marxisme dan Leninisme saat ini semata-mata sebatas kajian sejarah, kajian keilmuan dan alat analisa.

4. PKI di Indonesia telah kalah dan mati di tahun 1966 tidak terlepas dari situasi dan kondisi global saat itu, yakni era Perang Dingin (Cold War), yang dimenangkan Blok Barat yang representasikan oleh Amerika Serikat. Kalahnya Blok Timur ditandai dengan robohnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Sovyet.

5 Jaman telah berganti, Amerika Serikat hingga saat ini memiliki musuh baru, bukan lagi komunisme, melainkan Radikalisme Islam dan Terorisme.

@bobby revolta


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment