Wednesday, May 3, 2017

Aksi 55 Untuk Menjaga Keadilan Hukum adalah “Omong Kosong”


DUNIA HAWA - GNPF MUI berencana melakukan aksi dengan melibatkan massa cukup banyak agar majelis hakim memberikan hukuman maksimal terhadap terdakwa kasus penistaan agama Basuki T Purnama (Ahok). GNPF MUI sendiri akan melayangkan surat pemberitahuan Aksi 55 tersebut ke Polda Metro Jaya malam ini juga.

“Malam ini, kita konsolidasi menyiapkan Aksi 55 nanti, malam ini juga kita kirimkan surat pemberitahuan aksi 55 ini,” kata Ketua GNPF MUI Ustaz Bachtiar Nasir kepada wartawan, Selasa (2/5/2017).

Dia memastikan, seluruh umat yang merasa terpanggil atau terusik jiwanya akibat ketidakadilan ini pasti akan datang dan ikut Aksi 55.

Seruan aksi 5 Mei itu telah tersebar di media sosial. Dalam seruan aksi berbentuk poster itu tertulis: Alumni 212 dan semuanya hadirilah Aksi Bela Islam 55.

Aksi akan dilakukan usai salat Jumat di Masjid Istiqlal, Jakarta dan dilanjutkan dengan long marchmenuju Mahkamah Agung. Aksi damai dan simpatik ini bertujuan menjaga keadilan hukum. “Ahok penista agama Islam harus dihukum maksimal,” demikian tertulis dalam poster seruan aksi.

Kapitra mengatakan, aksi simpatik itu dilindungi oleh UUD 1945 dan UU nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, dan UU nomor 12 tahun 2005 tentang konvenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik.

GNPF berulang kali menggelar Aksi Bela Islam sejak kasus penistaan agama mencuat. Aksi Bela Islam pertama digelar 14 Oktober 2016, kala itu ribuan ormas meminta agar aparat penegak hukum menyelidiki kasus dugaan penistaan agama.

Setelah aksi itu, muncul rangkaian Aksi Bela Islam, 4 November 2016 yang lebih dikenal dengan aksi 411, dan aksi 212. Terakhir GNPF menggelar aksi pekan lalu, menuntut agar Ahok dipenjara sesuai dakwaan, yakni lima tahun penjara.

Alasan yang menjadi dasar aksi 55 tampak pemaksaan sebuah kehendak, jika hanya berdasarkan untuk menjaga keadilan hukum, maka bisa dilakukan dengan cara lain, bukan dengan aksi, karena dengan adanya aksi justru sama saja mengintervensi proses hukum itu sendiri. So, percayakan saja dengan proses hukum dan keputusan majelis hakim.

Jika mau bicara keadilan, alangkah baiknya intropeksi diri dulu, bukankah imam besar FPI juga sedang menjalani proses hukum, dan berapa kali hendak diperiksa selalu mangkir, bahkan memunculkan isu adanya kriminalitas terhadap ulama, mau ditembak sniper, sakit dan sebagainya. Semua itu justru menghambat proses hukum, dan tidak berani menghadapi realita, sementara justru Basuki tidak pernah mangkir dan menghormati proses hukum, hingga sampai kepersidangan dan keputusan hakim 9 Mei nanti, dia tidak juga berkeluh kesah, tidak pula dia merengek, apalagi melakukan aksi menuntut pembelaan, karena dia percaya dengan keputusan hukum, dan dia meyakini bahwa dia memang tidak bermaksud sama sekali untuk menodai agama yang dituduhkan kepadanya oleh ormas-ormas fundamental.

Jadi saya secara pribadi melihat dasar dari aksi yang akan dilakukan oleh FPI dengan membawa nama GNPF-MUI untuk menjaga keadilan hukum, jelas sangat keliru dan arogans. Sangat disayangkan MUI yang merupakan lembaga keagamaan justru mengindahkannya, semua ini memperlihatkan bahwa agama bukan saja mengintervensi politik melainkan juga hukum.

Jika Basuki bebas dan dinyatakan tak bersalah, tidak menutup kemungkinan masa aksi 55 akan bertindak barbar, karena sejatinya keinginan mereka adalah Basuki dipenjara, kata aksi damai yang diteriakkan akan kembali menjadi topeng.

Kemenangan Anies Baswedan dalam pilkada DKI bukanlah tujuan akhir dari serangkaian aksi dengan membawa isu SARA, karena tujuan akhir dari mereka adalah menegakkan khilafah, jika kehendak mereka berhasil dengan memenjarakan Basuki, maka ini menjadi kemenangan kedua buat mereka setelah Pilkada.

Busuknya adalah lagi dan lagi aksi ini membawa nama agama dengan pernyataan bahwa mereka menganggap ada permainan hukum yang mengusik rasa keadilan Umat Islam Indonesia, bahkan sebagian dari mereka persidangan Basuki ada drama, dari penodaan agama menjadi penodaan ulama. Hal ini jelas merupakan anggapan yang keji, karena apa yang diinginkan mereka adalah bahwa basuki menodai agama. Dengan demikian agama akan dapat dijadikan “rudal” oleh mereka untuk membangun emosional umat agar mengikuti apa yang mereka inginkan, termasuk mengikuti aksi.

Sementara, para pentolan FPI sendiri sedang terkena kasus yang membawa dirinya ke proses hukum justru tidak mengindahkannya, salah satunya kerap mangkir ketika diperiksa. Aksi 55 nanti beredar kabar akan diikuti oleh 5 juta massa aksi, disisi lain beredar pula kabar bahwa aksi diperkirakan 3,5 juta massa aksi, yang berasal bukan hanya dari Jakarta saja.

Indonesia memang sudah pada titik gawat darurat, serangkaian aksi yang terjadi bukan lagi pada ruang yang strategis, misalnya kepentingan masyarakat luas dalam hal ini menyangkut pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan sebagainya. Melainkan isu SARA dan politik identitas. Karena harus kita akui bahwa di rezim Jokowi memang minim gelombang perlawan rakyat dibanding rezim sebelumnya, hal ini karena yang menjadi pokok bagi masyarakat secara pelan tapi pasti mulai terpenuhi, jaminan pendidikan yang berkualitas, kesehatan, membangun pinggiran, disiplin birokrasi dan melayani rakyat dengan baik, menjadikan BUMN sebagai pilar ekonomi dan seterusnya. Tentunya bagi musuhnya, salah satu untuk menjatuhkannya adalah lewat isu SARA yang dimainkan melalui “premanis agama”.

Lebih parah lagi dalam aksi 55 ini, menuntut agar hakim di sidang Basuki memegang kebenaran dan independen. Bagaimana mungkin mereka bisa bicara kebenaran, sementara mereka sendiri tidak menghormati proses hukum yang sedang berjalan, bagaimana mungkin mereka teriak independen, sementara dalam siding pengambilan keputusan nanti, mengajak masyarakat untuk beramai-ramai turun aksi atas nama umat islam.

Peran Negara sangat dibutuhkan dalam hal ini, jika semua ini semakin sering terjadi, maka khilafah di Indonesia tinggal menunggu waktunya saja. Di Indonesia bagi kelompok ini tak perlu menggunakan senjata seperti di Suriah, cukup diserang otaknya saja atau sederhananya pencucian otak, tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat Nusantara memang masih kental dunia bakar kemenyan, akhirnya kepentingan publik tidak menjadi penting bila dibandingkan bicara syurga-neraka, maka salah satu untuk menuju syurga dengan tidak memilih pemimpin beda agama, Pilkada DKI adalah salah satu buktinya. Sementara agama sendiri tidak mengindahkannya. Bahkan beberapa hari lalu, hal semacam ini sudah sampai kedalam dunia pendidikan, dimana siswa tidak mau memilih pemimpin OSIS mereka yang berbeda agama.

Peran Negara akhirnya sangat wajar dibutuhkan, dalam konteks keberanian dan ketegasan melawan ormas intoleren. Karena apa yang telah dilakukan FPI atau pun GNPF-MUI bukan lagi dalam ranah demokrasi justru mencederai demokrasi itu sendiri.

Dari serangkaian tulisan ini, maka saya berani mengatakan bahwa Aksi 55 untuk menjaga keadilan hukum adalah “OMONG KOSONG”. Sama halnya Rizieq yang mau di-sniper, jangan-jangan senapannya pakai rakitan pohon pisang, alah anak-anak di pematang sawah.

 @losa terjal


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment