Saturday, April 1, 2017

Pak Anies, Sini Saya Bisiki Bagaimana Caranya Menelikung Pak Ahok di Tikungan Terakhir


DUNIA HAWA


Dear Pak Anies,

Perkenalkan nama saya Liza Lie. Saya saat ini setengah pengangguran, sehingga saya punya banyak waktu untuk memantau kondisi politik di Pilkada DKI. Saya jelas harus bersikap netral, saya tidak punya hak pilih. Meski malang-melintang di Jakarta sekian lama, saya penduduk Yogyakarta. Tapi justru itu yang menguntungkan, kan? Saya jadi bisa menilai dengan fair tanpa judgment. 

Saya memantau konstelasi politik yang berkembang dengan sangat ketat dan memperhatikan perkembangannya tiap menit. Namanya pengangguran, mau bagaimana lagi caranya menghabiskan waktu seharian, selain petantang-petenteng di depan internet. Jadi perkembangan sedikit saja, wah, saya hampir pasti sayalah yang terdepan. Selain memantau lewat laptop, hape android di tangan saya menyala 24 jam. Yang agak repot memang masalah TV. Saya belum sanggup beli antene baru, sehingga televisi saya ada suaranya, tidak bertuan gambarnya. Saya seperti punya televisi rasa radio.

Tapi, sekali lagi, itu keuntungan. Saya jadi fokus mendengarkan kata per kata yang Bapak ucapkan dan mendalami intonasi dari tiap suku kata yang tersuarakan. Saya melihat perubahan intonasi yang luar biasa. Ini saran, ya, Pak, intonasinya dikembalikan ketika Bapak jadi jubir kampanye Jokowi-JK saja, Pak. Yang sekarang ini kok jadi mirip-mirip intonasinya bu Silvi, mendayu-dayu dan menarik-narik ujung kata. Tidak enak didengarnya, Pak. Kadang-kadang malah terkesan meledek dan mencibir. Kesan itu berbahaya, Pak. Karena apa yang Bapak inginkan dipastikan ditangkap secara salah oleh pendengarnya. Saya ini mantan pakar tanpa sertifikat lho, Pak, urusan intonasi ini.

Itu satu hal.

Hal lain adalah saya sarankan Bapak untuk mencukupi berbicara mengenai DP rumah, rumah tapak seharga 350 juta atau program OK OCE. OK OCE sudah habis dibahas di putaran pertama. Kita sudah mengerti maksud dan tujuannya. Program rumah itu, sebaiknya tidak usah dijawab lagi, Pak. Semakin dijawab, semakin mudah di-kick back oleh tim sana. Jadi lempar batu sembunyi tangan saja, Pak. Aman kok. Penduduk Indonesia itu sangat pemaaf dan mudah melupakan kesalahan yang diperbuat oleh pejabatnya.

Berikutnya adalah membangun branding. Bapak pasti tahu bedanya brand dan branding, kan? Sebagai brand, Bapak jelas tidak kalah dengan Pak Ahok. Soal harga brand beda-beda tipislah. Tapi yah tidak apa-apa toh? Karena yang paling penting itu Branding, Pak. Branding  itu adalah apa yang orang pikirkan tentang kita. Tapi branding itu bisa diciptakan, dibangun, dan dipaksakan untuk diterima, Pak. Nah, yang pertama itu adalah menciptakan. Bapak ingin masyarakat melihat Bapak sebagai siapa? Sebagai pakar pendidikan atau sebagai menteri yang dipecat Jokowi? Kalau yang pertama, itu sudah menjadi branding Bapak, sehingga untuk mengambil alihnya sangat mudah. Kembali berbicara tentang pentingnya pendidikan karakter, kembalikan pada nawa cita Pak Jokowi. Generasi muda adalah aset bangsa. Bicaralah tentang pendidikan yang difasilitasi negara. Kalau Pak Ahok bangga dengan KJPnya dan Bapak punya KJP Plus, hajar dengan KJP Plus-nya Bapak! Tapi saya tidak sarankan untuk pengambilan tunai. Bapak lihat sendiri, kan, di awal-awal pembagian KJP, saat masih bisa diambil tunai? Yang pakai malah orang tua anak-anak itu. Entah untuk beli rokok, beli pulsa, atau bayaran cicilan motor. Uang KJP anak jadi gajian bulanan Bapak dan Emak. Pikirkan Plus-nya yang lebih mendidik. Misalnya, bisa dipakai untuk bayar kursus UN bagi anak-anak kelas 6 dan 9, dan bayar kursus SBMPTN untuk anak kelas 12. Atau bagi yang suka olah raga, bisa untuk bayar kursus olah raga, yang suka musik bisa bayar kursus musik di Purwacaraka atau Yamaha atau di mana pun kursus yang bergengsi. Atau kursus matematika di Kumon. Kursus bahasa Inggris di EF.

Kutukan sebagai menteri pecatan? Jangan khawatir, Pak. Saya 15 tahun berkecimpung di advertising. Kami terbiasa hanya menampilkan selling point dan menyimpan rapat-rapat weakness. Bapak tidak perlu bete kalau ada yang menyinggung itu. Menurut saya, malah tidak perlu diperpanjang masalah itu. Masukkan ke dalam kotak, sembunyikan di tempat tergelap. Sekali lagi, masyarakat kita mudah melupakan.

Isu agama sudah sampai titik terendah, Pak. Ada baiknya di detik-detik terakhir, Bapak berpihak pada keragaman. Kembali ke teori tenun kebangsaan yang pernah sukses mengantar Bapak sebagai orang sukses. Berbicaralah sebagai Bapak semua golongan, yang menganggap rakyatnya adalah anak-anaknya yang harus diayomi dan dipastikan tumbuh baik, mandiri dan berintegritas. Saya yakin, Bapak ahli untuk hal tersebut.

Oya, Pak, sebagai orang Indonesia, kita dikaruniai hati yang besar, sehingga kita mudah iba kepada mereka yang terpinggirkan. Kita sayang pada all losers. Bapak pasti masih ingat, bagaimana Jokowi yang krempeng dan tidak ganteng itu, malah memenangkan hati rakyat Indonesia? Ia tampak seperti wong ndeso sing lugu. Itu salah satu jualannya Jokowi, dan sukses! Jadi saya tidak sarankan Bapak untuk nyinyir dengan Pak Ahok. Menyebut bahwa Pak Ahok provokator, atau bilang “kok baru dipikirkan enam bulan ini” atau “Itu ide kami yang dijiplak” -tidak memiliki nilai jual, Pak. Artinya, tidak akan bisa menarik simpati rakyat. Penduduk Jakarta, meskipun pendidikannya tidak seberapa tinggi dan kehidupan hariannya nyaris berada di garis kemiskinan, tapi adalah orang-orang yang rasional. Mereka terpaksa terlatih menjadi rasional karena kerasnya kehidupan dan persaingan di Jakarta. Saya sarankan Bapak untuk berhenti menyindir. Semakin menyindir, semakin hilang simpati orang pada Bapak. Branding yang melekat kuat di Bapak adalah seorang yang intelektualnya tinggi. Sayang kalau hal itu berganti menjadi seorang Bapak-bapak yang nyinyir.

Masih ada 2 debat lagi yaitu di Kompas TV dan yang diselenggarakan oleh KPUD DKI. Bergantilah sikap, gaya bicara, dan tenangkan mulut. Kedua debat ini sangat penting, karena penduduk Jakarta menantikan hal-hal yang mungkin salah dilakukan oleh paslon. Jangan sampai niat menyerang malah menjadi bumerang. Bapak pasti tidak lupa, kan, ketika Hatta Rajasa salah menyebut Adipura menjadi Kalpataru dan sama sekali tidak mau dijawab oleh JK? Itu salah satu poin kunci kemenangan hati rakyat.

Berdebatlah secara rasional. Jangan mengkonfirmasi tuduhan.

Saya rasa itu saran dari saya. Tikungan terakhir sudah dekat. Salah langkah, Bapaklah yang ditelikung oleh Pak Ahok.

@liza lie


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment