Thursday, March 23, 2017

Wahabi Itu Pemikiran Politik, Bukan Keagamaan


DUNIA HAWA - Saat kuliah dulu, saya punya teman kelas kelahiran Arab. Namanya Khalid. Dari sejak lahir sampai selesai S1 hidup di tanah Arab. Datang ke Jogya untuk kuliah S2 di Program Studi Quran UIN Sunan Kalijaga. Padahal, sependek pengetahuan saya, iklim akademik UIN Jogja dalam masalah studi keislaman sangat kontras dengan Arab sana. Di sini progresif, di sana kata teman Arab saya itu, jangankan mau bicara Hermeneutika Alquran, bicara Filsafat aja dilarang. Makanya saya mikir, emang dia tahan di sini?. But, that is beside the point...

Saya ingin bercerita kalau pernah satu waktu saya tonjok poin, "Apakah kamu mengetahui tentang paham Wahabi?", pastinya dalam bahasa Arab pas-pasan donk, dia kan masih bengong kalau ditanya pakai bahasa Indonesia. Untung dia bukan Wahabi jadi tenang-tenang saja menjelaskan yang dia pahami. Lahir di keluarga berpaham Wahabi tak serta merta membuatnya Wahabisme. Malah dia jujur harus tidak sepaham dengan orang tuanya karena dia sendiri kurang setuju Wahabi.

Katanya menjawab pertanyaan saya di atas, "Wahabi itu bukan pemikiran keagamaan, tapi pemikiran politik". Menurutnya, Pemerintah suka dengan ideologi Wahabi. Mazhab pro-jenggot wal anti-isbal ini punya ajaran harus taat setaat-taatnya pada pemerintah. Kalo nda salah ayat kepatuhan ulil amri dijadikan landasan.

Lantas hubungannya apa? Dalam hati saya, bukannya Indonesia juga masyarakat muslimnya mengenal ketaatan pada Pemerintah. Setidaknya NU dan Muhammadiyah bisa dilihat pada posisi ini.

Begini, lanjutnya, kalau Kerajaan Arab pakai Wahabi sebagai paham ideologi resmi di negaranya, otomatis dia bisa mengendalikan rakyatnya. Konsep ketaatan kepada Raja sebagai Ulil Amri adalah mutlak plus absolut dalam Wahabi.

Sejahat dan sejelek bagaimanapun kebijakan Raja akan dituruti oreh rakyatnya. Rakyat tidak berani melakukan penentangan karena doktrin ulil amri tadi. Makanya, Kerajaan bisa mengeruk dan memperkaya diri dengan SDM minyak yg melimpah tanpa ada demo dari rakyatnya. Jadi, wajar kalau Raja mereka kaya, turun pesawat pakai eskalator pribadi.

Raja akan dengan mudah memberikan kebijakan ekonomi maupun politik. Ntah itu menguntungkan rakyat kelas menengah-atas atau pihak keluarga, semua akan mulus tanpa khawatir akan ada pemberontakan. Apalagi takut akan ada makar.

Hal ini tentu berbeda dengan Indonesia. Bensin naik seratus perak aja udah teriak-bakar-lempar batu di jalan. Belum, masalah nista-nistaan kemarin, bisa dijadikan alibi untuk makar sampai membuat koperasi syariah. Hubungannya apa dari demo ke koperasi? Ya terselubung lah...

Nah, karena itu sepertinya Pak Jokowi perlu deh studi banding lagi ke tanah Arab. Tujuannya apa? Ya, nanya-nanya kalau mau pakai ideologi Wahabi gimana caranya. Biar rakyat Indonesia yang suka nyinyir Presidennya, bisa jadi sayang dan cinta dia kayak Raja Salman.

Liat aja, Raja Salman di negara orang aja dielu-elukan. Dipuja oleh banyak orang. Malah masang spanduk agar Raja Salman nasehatin Presiden mereka sendiri. Elaah...

Makanya, Pak Jokowi harus blusukan ke Arab sana. Liat manajemen pengelolaan Ideologi Wahabi biar bisa ampuh kalau mau dipakai di Indonesia. Itupun kalau Pak Jokowi mau disayang rakyatnya sebagaimana rakyatnya yang malah lebih saya sama Raja Salman. Sedih kan kalo gini, rakyat sendiri nda sayang kepala Pemerintahnya.

Tapi, apa iya sesimpel itu? Kayaknya saya meragukan itu juga deh. Kaum nyinyiran dan kontra pemerintah dari kelas agamis yg paham ayat taat ulil amri harusnya juga taat presidennya. Tapi nyatanya nda juga tuh. Artinya, ya pakai ideologi Wahabi pun kemungkinan sama saja mereka tetap nyinyir.

Kalau mau berspekulasi, grand design penolakan kaum agamis nyinyiran di Indonesia, bukan karena kontra Pemerintah, anti demokrasi atau benci Jokowi yang disebut-sebut agen palu arit dan pelindung China, tapi mereka ya cuma alat mengeruk kekayaan Indonesia oleh dalang. Monggolah ini dipikir bersama biar nda benci-benci amat sama Habib Rezieq, FPI wa akhawatuha...


@ahmad muttaqin 

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment