Wednesday, March 8, 2017

Peristiwa Tawuran, Anies-Sandi Menjadikan “Panggung Politik” Menyalahkan Ahok


DUNIA HAWA - Singkatnya waktu Pilkada putaran kedua membuahkan aneka kreatifitas paslon yang terkadang “lucu” pun dilakukan agar tetap menjadi pembahasan dan memenangkan arus pembahasan setiap harinya di masyarakat. saat adanya tawuran antar warga yang terjadi di Jalan Tambak (7/3/2017) yang memang sering kali terjadi di kawasan tersebut ini dimanfaatkan untuk dapat menjadi “panggung” tersendiri untuk mereka.

Ada banyak cara ketika tampil di “panggung” tersebut untuk dapat menghasilkan citra tertentu, mungkin saja bermaksud menampilkan kepemimpinan simpati, kepemimpian yang menyelesaikan atau pun kepemimpinan yang cenderung “ngeles” dan menyalahkan pihak-pihak lainnya. Apapun sah dilakukan yang penting mereka bisa naik”panggung” tersebut.

Adanya latar belakang yang mengakibatkan peristiwa tersebut terjadi penting untuk memahami sebagai faktor sebab akibat sehinga mencari solusi adalah tahap berikutnya. Adanya faktor ekonomi, budaya dan interaksi lingkungan sekitar yang menjadi akar permasalahan menjadi pembahasan mendalam yang diperlukan melibatkan para ahli tentunya.

Saat kontestan Pilkada DKI memanfaatkan “panggung” tersebut dengan responnya yang pasti digunakan untuk menyerang pesaingnya dengan menyalahkan adalah sikap yang tidak menggambarkan sebagai pemimpin yang masuk dalam kategori pemimpin yang simpatik, namun masuk kedalam pemimpin yang masuk dalam strategi menyalahkan siapa saja (petahana) …apa saja yang harus ditemukan adalah “titik salah” atau cari-cari kesalahan saja mengesampingkan langkah-langkah saat terjadi pasca bentrok, apakah itu masuk ke lokasi dan bertemu langsung serta memberikan bantuan dan lainnya yang masuk dalam kategori pelibatan masyarat secara langsung bahkan menempatkan diri menjadi mediasi dan fasilitasi konflik.

Ketika ada pertanyaan “Bagaimana menurut bapak, atas konflik yang terjadi ? dan dijawab  “Mungkin tanyakan sama Pak Gubernur ya. (Gubernur) yang sekarang sedang memimpin Jakarta,” ujar Anies.  Apakah ini respon dari calon pemimpin “gerakan” yang kerap digaungkan, bahwa berani tampil di depan, melibatkan peran masyarakat, berembuk bareng dan mencari solusi dan bersedia “disalahkan” ketika gagal dan saat berhasil itu adalah kerja-kerja kolektif masyarakat semata, beranikan dia bereaksi tersebut ? apakah harus menunggu saat menjabat terlebih dahulu…ada pepatah apakah perlu  menunggu kaya dahulu saat bersedekah, ..pahala yang besar justru ketika mau bersedakah saat belum kaya

Isu kepemimpinan yang melibatkan masyarakat yang kembali tidak terbukti dan tidak sesuai dari apa yang diucapkan.

Setiap konflik sosial yang terjadi banyak komponen yang menjadi faktor, diantaranya adalah masalah ekonomi, ketimpangan sosial, pengangguran dan interaksi budaya produktif yang ada di masyarakat tersebut yang menjadi salah satu faktor konflik sosial yang terjadi.

Menjadi “lucu” saat dijawab “Tanya saja kepada pak gubernur sekarang..!” atau mengatakan “bahwa akar masalah ada di pemprov DKI” lontaran Sandiaga Uno, kedua lontaran yang jauh dari apa yang disebut dengan “kesantunan” yang ditampilkan justru “sinis” terhadap sekeliling permasalahan yang ada.

“….. bahwa ada permasalahan serius yang dialami oleh warga Jakarta seperti kota metropolis lain, yaitu gangguan kesehatan jiwa. Jadi hampir 20 persen warga Jakarta itu mengalami gangguan kesehatan jiwa, baik yang sangat ringan, tidak terdeteksi, maupun yang berat. Salah satu ekses daripada gangguan jiwa itu adalah keinginan cepat marah dan akhirnya menimbulkan tawuran,” kata Sandiaga.

Menempatkan diri bukan di samping dan disisi masyarakat justru menempatkan masyarakat didepannya untuk dipersalahkan sebagai masyarakat yang mengalami “gangguan jiwa”, miris menyaksikan pemimpin yang menempatkan masyarakat sebagai tontonan dan lalu mengatakan hal tersebut.

Jakarta butuh pemimpin yang tidak sulit memahami kata-kata yang diucapkannya, Jakarta tidak butuh pemimpin yang mempersalahkan masyarakatnya ketika ada peristiwa, Jakarta butuh pemimpian yang bahasanya jelas, dan dapat dengan mudah dipahami dan dijalani.

Singkatnya waktu kampanye, para paslon dibutuhkan “pikiran sehat” dan tidak “tergangu kesehatan jiwanya” untuk tidak menjadikan setiap peristiwa sebagai panggungnya untuk menebar fitnah, tuduhan, dan perilaku “nyinyir” yang menyebar perpecahan antar masyarakat dan menjadi aktor “teror” dengan isu agama serta sentiment kafir-mengkafirkan untuk kontestasi Pilkada.

Tawuran dan bentrokan antara masyarakat adalah dominan peristiwa sosial dan selesaikan dengan domain sosial, jangan ditarik semua peristiwa kedalam peristiwa politik.

@dudi akhbar



Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment