Monday, March 6, 2017

Apa Enaknya Jadi Pejabat?


DUNIA HAWA - Saya pernah mengikuti seorang pejabat negara dalam kunjungannya ke desa-desa terpencil. Satu hari mengikuti kunjungannya, saya langsung lelah fisik dan mental. Berangkat dari tempat kumpul mulai pagi hari dan baru sampai rumah dini hari. Siangnya saya diminta ikut lagi ke satu tempat, tapi saya menyerah.

Sampai sekarang saya berfikir, "Apa enaknya menjadi pejabat?"

Mereka cenderung tidak punya waktu untuk dirinya sendiri, mungkin juga keluarganya. Mereka jarang punya "me time" seperti yang biasa saya lakukan, di kamar, nonton dvd, buat status dan jalan-jalan.

Bagaimana bisa punya "me time", menjadi pejabat tiap hari harus bersosialisasi, menemui orang yang sedang punya masalah dan mencoba memberikan solusi. Begitu terus setiap hari sampai berakhir masa jabatannya.

Ketika melihat bagaimana Ahok setiap pagi bertemu warga yang mengadukan masalahnya, saya sempat tersirat "Apa dia gak capek ya?".

Ketika mendengar dari seorang anak buahnya bahwa Dedi Mulyadi setiap hari punya jadwal turba ke desa-desa di Jawa Barat selama 5 tahun, saya langsung merasa lelah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya seorang Jokowi.

Tapi itu mungkin yang dinamakan passion atau hasrat. Ketika seseorang bekerja sesuai hasratnya, maka ia senang melakukan pekerjaan itu. Pekerjaan dianggap bagian dari permainan sehingga capek pun terbayar.

Banyak orang yang salah mengartikan konsep "pejabat". Bagi sebagian orang, pejabat itu lebih kepada sebuah prestise, sebuah gengsi.

Teringat pada masa Orba, para calon menteri mengumpulkan seluruh sanak keluarganya dengan persiapan pesta besar, menunggu telpon dari Presiden Soeharto. Dan - gilanya - mereka juga mengundang wartawan. Jadi ketika Soeharto menelpon dan memberikan mandat untuk memimpin kementrian, seluruh sanak yang ada disana berteriak kegirangan, "Horee, akhirnya jadi Menteri..".

Saya pernah berada disana waktu bapak seorang teman menunggu telepon untuk menjadi Menteri. Dan sampai sekarang saya heran, kenapa mesti dipestakan? Apa yang hebat dari sebuah amanah yang dibebankan di pundak? Seharusnya seluruh keluarga menangis, mengingat tanggung-jawab yang begitu besar terhadap nasib jutaan rakyat.

Cara berfikir saya sejak dulu anti mainstream memang. Dan lebih gilanya lagi, sesudah pensiun, bapak teman saya itu kena stroke. Dia menderita post power syndrome. Lagi2 saya heran, pensiun itu seharusnya yang dipestakan karena sudah terlepas dari beban tanggung-jawab yang besar.

Entah kenapa jabatan yang seharusnya bersifat amanah, bagi sebagian besar orang dianggap sebagai peluang. Mereka gembira menyambutnya dan tidak rela kehilangannya..

Tambah gila, banyak yang berhutang besar menjemput amanah itu. Dan ketika harus membayar, mereka korupsi. Bukannya menangis waktu masuk bui, malah ketawa ketiwi.

Jadi sampai sekarang saya terus bertanya dalam pikiran saya, "Apa enaknya jadi pejabat?". Ternyata beda memang pemikiran seorang pejabat, bahwa ia mencoba berfungsi dgn kemampuannya kepada manusia lain, dengan "pejabat" yang memanfaatkan situasi itu sebagai peluang untuk memperkaya diri sendiri.

Padahal dia tahu bahwa apapun di dunia ini tidak ada yang dibawa mati, kecuali amal2nya dalam berbuat baik..

Itulah kenapa saya sampai sekarang selalu suka minum kopi. Pahitnya mengajarkan saya untuk tetap berada pada rel kewarasan berfikir di tengah kegilaan dunia ini. Seruput.

@denny siregar


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment