Thursday, February 9, 2017

Teori Kuasa dalam Pidato SBY

DUNIA HAWA - Lord Acton pernah mengatakan, “All power tends to corrupt; Absolute power corrupts absolutely.” Terjemah bebasnya kurang lebih begini: Seluruh kekuasan cenderung menyimpang. Apa lagi kekuasan absolut, pasti menyimpang. Kalimat dari Lord Acton ini sering kali saya kutip, baik dalam diskusi dengan kawan-kawan organisasi atau ketika dalam manajemen aksi.


Tujuan saya dalam mengutip Lord Acton dalam berbagai forum itu biasanya pun sederhana saja, yaitu memantapkan kepada mereka bahwa perlawanan itu perlu, bahkan penting. Agar sebuah kekuasaan dapat lurus maka harus dilakukan kritik terus-menerus. Jika tidak, kekuasaan akan berpeluang melakukan penyimpangan. Seperti yang telah diperingatkan Lord Acton di atas.

Tapi itu dulu. Saya sering kutip Lord Acton ini sepertinya telah dulu sekali. Saat ini rasa-rasanya saya tidak pernah lagi melawan, bahkan cenderung gampang memaklumi—demonstrasi pun jarang-jarang. Efek umur dan pekerjaan barangkali.

Lord Acton adalah nama panggilan dari John Emerich Edward Dalberg-Acton, seorang sejarahwan, pemikir politik, dan penulis asal British. Ia lahir di abad 19—tepatnya tahun 1834 dan meninggal tahun 1902. Saya sebetulnya tidak cukup mengenal pemikiran dari Lord Acton, tapi begitu menyukai kutipan-kutipan darinya. Kutipan lain yang saya sukai darinya: “Great men are always most bad men.” Orang hebat hampir selalu adalah orang buruk.

Saya sebetulnya kembali teringat dengan Lord Acton di atas akibat dari mendengarkan pidato politik SBY kemarin (7/2) malam di iNews TV dalam Dies Natalies Partai Demokrat yang disiarkan secara langsung. SBY mengutip John Steinbeck, “Power does not corrupt. Fear corrupts. Perhaps the fear of a loss of power.” Kekuasan tidak korup. Ketakutan yang korup. Bisa jadi ketakutan pada kehilangan kekuasaan (yang menyebabkan korup).

Di sini saya sedikit tersentak. Saya merasa bahwa pendapat Stainbeck yang dikutip SBY di atas seperti tanggapan kepada Lord Acton yang selama ini saya percayai. Semacam tesis dan antitesis dalam sebuah pemikiran.

Steinbeck adalah penulis asal Amerika yang pada tahun 1962 memperoleh penghargaan Nobel Sastra. Dan seperti kata Made Supriatma, Karya-karya Steinbeck adalah salah satu karya yang banyak mengilhami Pramoedya Ananta Toer yang berulang tahun ke-92 kemarin.

Pidato SBY memang selalu menarik. Kalimat-kalimat yang mengalir deras dari mulutnya selalu terdengar mewah—banyak bercampur dengan istilah asing dan mengutip pendapat pemikir kenamaan. Tapi setelah mendengar lebih dari satu jam pidatonya di televisi kemudian saya tetep saja berkesimpulan: Ah, itu pada akhirnya tetep sebuah curhat saja.

Selain itu, dalam pidato tersebut, SBY juga seperti tengah membicarakan dirinya sendiri. Apapun yang ia bicarakan adalah lawan dari perbuatannya. Kita lihat bagaimana kicauan-kicauannya di Twitter belakangan ini, konfrensi persnya, dan terakhir pidato politik SBY yang dengan mudah menunjukkan kepanikan dan menyimpan sebuah ketakutan. SBY barangkali memang masih belum siap dengan “a loss of power".

Di sini saya juga masih menyepakati komentar Made Supriatma pada pidato politik SBY di atas bahwa kutipan Steinbeck dalam pidatonya Susilo Bambang Yudhoyono adalah sebuah ironi. Persis seperti ironi telunjuk menunjuk dan empat jari mengarah ke diri sendiri. Barangkali SBY kini memang baru mengidap sejenis post power syndrom—perasan masih berkuasa, padahal sudah tidak sama sekali.

Betul ‘kan Bapak Susilo ‘Baper’ Yudhoyono?


@m. risya islami


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment