Tuesday, February 7, 2017

NU Berubah Radikal?

DUNIA HAWA - Seseorang menulis, “Saya ini sudah jadi Nahdliyin sejak jabang bayi, tapi mau punya KartaNU saja mesti nunggu lama. AHY cukup menemui Kyai Ma’ruf Amin langsung dapat KartaNU.” Melihat itu saya sedih. Secara tidak langsung, itu adalah kritik meskipun bernada humor, dan perkaranya sepele saja.


NU kultural memang memiliki perbedaan mencolok dengan NU struktural. NU kultural melihat kyainya, bukan oknum dalam struktur NU. Sedangkan yang struktural mirip tentara, begerak karena komando. Kadang menghormati senior secara berlebihan. Jadi walaupun struktur NU menjerit sampai parau, sebagian NU kultural berbuat berbeda.

Bagaimanapun, NU adalah jam’iyah, kumpulan, organisasi, banyak orang yang tidak tertampung secara struktural di dalamnya. Sering juga ada tarik-ulur beberapa kubu juga di dalamnya. Misalnya terdengar selentingan tentang kubu Gus Sholah dan kubu Kyai Said.

Namun secara umum, orang-orang NU mendengar apa kata kyai. Meskipun kemudian ada dualisme juga di sana, antara kyai saklek dan toleran. Masing-masing punya jamaah sendiri.

NU secara tegas telah kembali pada Khittoh 1926. NU tidak masuk dalam perpolitikan. Sebagai organisasi, mungkin, tapi bagi individu di dalamnya belum tentu. Telah gamblang terbaca bagaimana kritik humor di atas tadi. AHY dan Demokrat adalah bagian dari politik. Persoalannya kemudian, struktur NU secara individual boleh berpolitik atau memiliki tendensi politik. Kyai ini menyuruh mencoblos itu, dan seterusnya. Mereka lupa, bahwa publik tetap melihatnya sebagai struktur NU.

Kyai-kyai itu boleh bersilat lidah, politik memang tidak haram, tapi tendensi politik itu sama saja menjual nama organisasi. Pada akhirnya akan menjual agama dan umat. Ini yang tidak disadari. Kenapa NU kembali pada Khittoh 1926? Karena alasan di atas.

Lalu orang-orang itu akan mengutip kalimat bijak, bila orang baik tidak berpolitik, orang jahat yang akan menguasai negara. Padahal ucapan itu mestinya dalam konteks revolusi. Persis keterlibatan NU sebagai mesin politik di awal kemerdekaan. Setelah situasi kondusif dan tertib, qoul semacam itu tidak bisa dibuktikan. Karena semua manusia berpotensi baik, sekaligus buruk. Menteri agama korup itu bukan karena ia tak hebat ilmu agamanya.

Saya selalu menekankan, agamawan tidak boleh berpolitik. Entah itu kyai, pastor, pendeta, biksu, brahmana, atau pemuka agama apapun. Karena akan ada kultus berlebihan nantinya. Hal itu terbukti ketika Kyai Ma’ruf Amin hadir sebagai saksi di pengadilan. Pengacara menanyakan soal sambungan telepon dengan SBY, Kyai Ma’ruf ngotot mengatakan tidak ada. Namun SBY malah mengatakan ada.

Sekarang persoalannya jadi runyam, Kyai Ma’ruf yang bohong atau SBY? Sebenarnya gampang membuktikan. Paling pahit, seret SBY ke pengadilan untuk memberikan kesaksian. Namun kultus individu secara berlebihan ini yang berbahaya. Jika itu dilakukan, akan ada gejolak. Padahal jelas, saksi tidak boleh bohong, dengan dalih apapun.

Orang-orang lalu mempersoalkan tekanan dalam persidangan. Padahal semua orang di hadapan hukum sama. Selama hakim tidak menghentikan, proses tanya-jawab boleh terus berlanjut. Namun kenapa mereka tidak menerima hal lumrah ini? Karena kultus berlebihan terhadap individu tadi. Manusia berpotensi salah. Faktanya, baru saja pendeta menyuap ulama. Pengetahuan agama terbukti tidak mencegah seseorang untuk korup.

Ketika mendengar Banser menyatakan mengambil sikap tegas atas peristiwa itu, saya kaget. Apakah NU telah berubah? Terlebih manakala Banser Jakarta Selatan hendak melakukan demonstrasi ke Rumah Lembang. Show of force (pamer kekuatan) semacam ini bukan tradisi NU. Kalau FPI atau GNPF jangan ditanya. Hidup mereka itu memang hanya dari demo ke demo berikutnya.

Peristiwa kasus penistaan agama ini membesar karena itu tidak diselesaikan dengan cara NU. Apakah ada kyai NU yang ngawur dan main gebuk di masa lalu? Tidak. Kalau ormas radikal iya. Mestinya dalam kasus ini ada mediasi, ada islah, ada pertimbangan maslahah. Namun MUI meski diketuai tokoh NU, toh tidak menjalankan tradisi NU ini. Mereka malah mengeluarkan pernyataan sikap, lalu mendorongnya masuk pengadilan. Pelaku sengaja didorong tanpa ada upaya mediasi, islah, dan maslahah.

Ini bar-bar. Bahkan bukan tradisi Nusantara. Cara padang pasir. Orang-orang kita berbaik sangka dulu, mengundang dan menanyakan duduk persoalan. Jikapun pelaku memang melakukan itu dengan sengaja, masih ada jalan menarik diri. Minta maaf dan berjanji tidak mengulangi. Jika ada kerusakan, baru diwajibkan mengganti atau justru diikhlaskan. Ini kalau islam rahmatan lil-alamin (islam rahmat bagi seru sekalian alam). Namun kalau islam rahmatan lil muqorrobin (islam rahmat bagi kelompok terdekat), menutup pintu mediasi dan islah.

Saya terus terang sudah menyiapkan tanggapan keras, jika Banser NU Jaksel menggeruduk Rumah Lembang. Bukan karena Ahok sebenarnya, tapi karena kecewa jika itu terjadi. Aksi seperti itu bukan cara NU. Apa bedanya nanti dengan FPI, HTI dan ormas-ormas coro yang suka bikin gaduh itu? Citra NU yang tidak zalim akan tercoreng oleh beberapa gelintir orang yang merasa lebih NU. Akan muncul fenomena NU struktural merasa lebih memiliki NU dari khalayak NU kultural.

Guru-guru saya tidak masuk NU strukyural, tapi apakah ada yang meragukan ke-NUannya? Teman-teman saya nasabnya mulia, punya pondok pesantren, tapi jadi pelukis, seniman, penyair. Apakah ke-NUan mereka juga patut dipertanyakan? Lalu muncul segerombolan orang yang mendadak lebih NU dari kalangan kultural. Bukankah ini menyedihkan?

Syukurlah hal itu tidak terjadi.

Baru saja datang info, Banser Jaksel mendengarkan Kyai, mematuhi atasan. Mereka tidak jadi melakukan aksi show of force itu. Jadi, jika ada oknum yang mengatas-namakan NU atau Banser dalam acara penggerudukan itu dapat dipastikan palsu.

Kabar itu menenangkan saya. Dapat disimpulkan, NU belum berubah. Masih memegang asas, sami’na wa atho’na (kami dengar dan kami taati). Meskipun ada oknum yang bermain-main dengan politik, padahal NU sudah kembali pada Khityoh 1926. Non-partisan, non-politik. Semoga oknum semacam itu menyadari, publik tetap melihat tingkah mereka sebagai wakil NU. Jangan sampai ada tudinhan, banyak orang yang secara sengaja atau tidak “mencari hidup di NU”, padahal Kyai Wahab Hasbullah pernah mengatakan, “Hidupkan NU Ini, namun jangan sekali kali mencari hidup di NU”.

Ulama hendaknya mandito, mengurus umat, mengawasi politik dari belakang. Bukan malah ikut jadi aktor dan membuat gaduh. Kelas mereka terlalu agung dan mulia untuk melakukan hal hina seperti itu. Hal itu juga untuk menghindari pengkultusan membabi-buta. Karena mereka tidak ma’sum (terjamin) sedangkan umat banyak yang masih panasan.

Kalau ulamanya korup, situ mau ikut korup? Kalau ulamanya kawin lagi, situ juga mau ikut kawin lagi? Bukannya situ jomblo, satu saja belum? Eh…

@kajitow elkayen


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment