Monday, February 20, 2017

Bencana Komunikasi yang Hancurkan Anies-Sandi

Tentang DP 0%


DUNIA HAWA - Jika harus mengevaluasi awal keruntuhan elektabilitas Agus di putaran pertama, saya berani bilang segalanya diawali pernyataan serampangan Agus soal rumah apung.

Mungkin benar ada beberapa contoh inisiatif di luar negeri untuk membuat ide rumah yang bisa memanfaatkan ruang di atas air, namun ini belum bisa diakomodasi dalam peraturan di Indonesia mengenai sungai (dan waduk).

Ini memperlihatkan ketidakkompetenan seorang kandidat karena abai terhadap regulasi, yang kemudian dieksploitasi lawannya. 

Agus kemudian berupaya mati-matian membantah bahwa ide rumah apung itu bukanlah bagian dari program kerjanya, yang sayangnya sudah terlambat.

Semakin kuat ia berupaya menjelaskan, semakin menjadi bahan olok-olok calon pemilih. Agus tersingkir, upaya kampanye ke puluhan ribu RT RW lenyap sia-sia di hari H pemilihan.

Anies mungkin lebih baik karena bisa menahan diri untuk tidak mengeluarkan blunder ide serupa, setidaknya hingga debat terakhir.

Sayangnya di hari-hari akhir jelang pencoblosan ia mengeluarkan ide aneh bin ajaib, memfasilitasi cicilan rumah bebas DP, yang secara regulasi dan analisa dampak resikonya terhadap keuangan perbankan di Indonesia bisa dahsyat.

Anies kekeuh dengan ide DP 0%-nya ini karena memang akan menarik bagi warga kalangan bawah yang memimpikan rumah tinggal sendiri.

Sayangnya ide ini kemudian ditentang kalangan perbankan. Bahkan Gubernur BI ikut angkat suara menyatakan ide ini tidak boleh diwujudkan sebab sudah dicantumkan dalam peraturan bahwa DP wajib ada sebagai komitmen bersama pencicil dengan pihak Bank untuk menanggung resiko bersama-sama secara adil.

Di sinilah awal malapetaka berantakannya komunikasi Anies.

Anies mengulangi bencana yang diciptakan Agus. Alih-alih mengakui kesalahannya dalam mengabaikan regulasi dan minta maaf, ia berbalik menyalahkan masyarakat yang salah mengerti dengan idenya. Anies menciptakan kalimat ngeles bin ngeyel, 

"Bukan nol persen tapi enggak bayar, nol rupiah, atau tanpa DP. Persen itu kalau ada cicilan. Cicilannya berapa persen. Kalau DP ada bunganya dong. Nol rupiah tanpa DP," ucapnya seperti dikutip oleh viva.co.id.

Apa pun maksud Anies, masyarakat langsung dibuat bingung kuadrat. Apa bedanya DP 0% dengan DP Nol Rupiah? Apakah karena dinyatakan langsung oleh Gubernur BI bahwa Rp 0% tidak boleh, lalu diubah sedikit kalimatnya menjadi DP Nol Rupiah lalu tiba-tiba jadi boleh?

Ini jelas sekedar permainan kata yang sama sekali tidak mengubah substansinya. Tetap saja Anies berupaya menawarkan cicilan tanpa DP yang tegas dilarang oleh BI.

Yang jelas, terlihat bahwa Anies berusaha melemparkan kesalahan kepada pihak lain yang salah memahami ide “jenius”nya. Tapi Anies sulit berkelit dari jejak digital. Justru terekam bahwa ia sendirilah yang menciptakan istilah 0 persen tersebut dalam sebuah wawancara di Global TV, dalam tajuk acara Bulettin Indonesia Pagi,

“Kita akan menyiapkan program, di mana warga Jakarta bisa memiliki rumah, secara kredit, dengan DP 0 persen. Kita akan menggunakan fasilitas bank ….”

Ini dikuatkan pula dengan poster digital (meme) yang terlanjur diposting oleh Gerindra. Maka aneh sekali jika Anies menyalahkan pihak lain, padahal itu berasal dari pernyataan dia dan partai pendukungnya sendiri.

Bahkan kini fansnya pun serentak menyalahkan Bank Indonesia selaku regulator karena dianggap tidak pro penyediaan rumah bagi rakyat miskin. 

Padahal aturan tersebut sudah dikeluarkan BI jauh sebelum Anies menciptakan gagasan luar biasanya.

Sesuai dengan pengakuannya kala debat, bahwa ia dibantu oleh sosok Usman bin Affan: yaitu Sandiaga Uno yang berpengalaman dalam pembiayaan, maka Anies sebenarnya perlu mengevaluasi Uno dan tim yang mendampinginya, bagaimana mungkin ide tersebut dianggap masuk akal tanpa mengecek regulasi yang berlaku terlebih dahulu?

Lalu kenapa sekarang berbalik menyalahkan BI kalau kenyataannya Uno yang teledor tidak mempertimbangkan aspek legalitas yang berlaku?

Nasi sudah jadi bubur. Blunder ini akan terus berputar berhari-hari, bahkan mungkin berminggu-minggu hingga jelang pencoblosan putaran kedua.

Bukan hanya karena kesalahan perhitungan program, namun juga karena Anies dan timnya gagal memberi respon yang mampu meredam dampak negatif krisis ini. Anies malah menyalahkan orang lain ketimbang berupaya melokalisir masalah dan memadamkannya. 

Kini muncul tuntutan agar Anies dan Sandiaga Uno meminta maaf di hadapan publik karena dianggap melakukan kebohongan publik, dengan menawarkan program muluk-muluk yang sebenarnya mustahil diwujudkan.

Akankah mereka cukup gentle melakukannya? Atau malah berkelit mencari pembenaran lain hingga akhirnya calon pemilih muak dan kejadian bencana elektabilitas pada Agus terjadi kembali? Kita tunggu saja!

@malika salsabilla



Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment