Friday, December 16, 2016

Siapa yang Bisa Menemukan Islam dalam Tubuh FPI?

DUNIA HAWA - Di negeri kita tercinta, Indonesia, akhir-akhir ini isu keragaman dan kebhinekaan mencuat lagi ke permukaan. Tema tersebut menjadi kembali hangat, bahkan memanas diperbincangkan pascaaksi massa Bela Islam Jilid II dan III.


Disadari atau tidak, kita sedang sibuk membuat batas demarkasi seketat-ketanya dalam lingkaran kesatuan yang dulu dicita-citakan dan diperjuangkan Mahapatih Gadjah Mada.

Ahok Effect dalam kasus Al-Maidah: 51 telah menggoyahkan fondasi demokrasi kita. Sikap reaktif massa kaum beragama seolah kehilangan etika keagamaannya. Sentimen keaagamaan mereka mengoyak tenunan bangsa ini yang sudah dijahit rapi oleh para pendahulu kita. Di sisi lain, faktor dominannya karena pelaku yang diduga penista agama tersebut adalah orang yang secara teologis berbeda dengan mayoritas rakyat Indonesia.  

Silang pendapat persoalan di atas; apakah benar dan murni sebuah penistaan terhadap agama atau hanya urusan politik an sich yang dibungkus agama, menjadi sentra konflik horizontal bangsa ini. Orang Islam dan ormasnya yang tidak ikut aksi bela Islam yang berjilid-jilid itu dituding sebagai golongan kaum “muslim munafik”, karena tak berpihak pada Islam versi mereka.

Tudingan  sepihak tersebut sangat melukai rasa keagamaan pihak lain yang berseberangan dengannya. Sehingga pihak yang dituding, balik menuduh bahwa pihak aksi massa adalah mereka, kaum Muslim intoleran yang sangat membahayakan keharmonisan pluralisme bangsa ini yang semula rukun, damai dan toleran.

Secara ringkas, bisa kita katakan bahwa kedewasaan beragama bangsa ini masih rendah. Agama yang sejatinya membawa angin surga nan wangi, kini berubah menjadi angin topan yang mengobrak-abrik rumah bersama, di mana para penghuninya biasa berteduh di sana untuk menghindari panas dan hujan.

Mereka beragama hanya sebatas dan berhenti pada cangkang, sama sekali bukan pada substansinya. Wajar saja, yang diperlihatkan dalam aksi massa tersebut hanya jubah, sorban, bendera, dan lain-lain. Ditambah lagi dengan bahasa verbal yang di dalamnya penuh dengan  ancaman, hujatan, intimidasi hingga aksi pemboikotan beberapa produk anti Islam.

Mereka tidak sadar bahwa makanan, pakaian, serta kendaraan yang mereka konsumsi dan pakai selama ini adalah bukan (pula) produksi asli mereka. Banyak di antara mereka lupa bahkan amnesia; Di mana mereka makan, nongkrong dan ngopi setelah aksi selesai pada waktu itu?

Banyakkah di antara mereka mampir di Mc. Donald, KFC, Pizza Hut, A&W atau Starbucks, dll.? Di mana mereka berbelanja kebutuhan sehari-harinya? Jika hendak ekstrem, contohlah pemboikotan yang dilakukan Mahatma Gandhi terhadap produk Inggris, dengan program “swadesi”-nya. Itu baru pemboikotan yang riil.

Fatwa-fatwa yang diproduksi Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut menambah kesemerawutan sekaligus kegaduhan dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air. Fatwa-fatwa tersebut muncul secara reaktif  justru menjadi objek sindiran dan cemoohan para intelektual, akademisi, dan tokoh-tokoh agama moderat semisal Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif, KH. Ahmad Mustofa Bisri atau KH. Said Aqil Siradj, dll.  

Fatwa MUI, mereka anggap sangat gegabah dan keliru karena justru menjadi pemicu keretakan umat yang selama ini kompak dan bersatu di bawah cengkraman kaki burung garuda, bhineka tunggal ika.  

Persoalan selanjutnya seputar fatwa MUI adalah munculnya beberapa aliran keagamaan yang dianggapnya sesat, menambah kehebohan polemik di tengah masyarakat. Wacananya semakin melebar, mulai dari klaim kebenaran satu agama atau aliran tertentu, hingga kepada hak-hak sipil-politik sebagai warga negara.

Sikap beragama yang eksklusif sangat berpotensi menjebak kita ke dalam satu kondisi yang gampang sekali menganggap kelompok atau agama lain adalah sesat, bahkan menjadi semacam ancaman yang harus dimusnahkan. Kondisi tersebut berlaku bagi setiap kelompok dan agama, baik antaragama yang mendapat pengakuan resmi pemerintah, maupun agama lokal sekalipun.

Lahirnya primordialisme seperti di atas akan memicu segregasi, yaitu pemisahan kelompok ras, suku, etnis, dan agama. Dan segregasi tersebut adalah bentuk pelembagaan diskriminasi yang diterapkan dalam struktur sosial. Di samping itu juga akan  memunculkan  konflik sosial politik yang berimplikasi pada kekerasan antarumat beragama, yang naifnya agama dijadikan tameng atau alasan kuat untuk hal tersebut.

Sebagaimana kita yakini bahwa agama apa pun di dunia ini, pasti menolak segala macam kekerasan, diskriminasi, intimidasi, intoleransi dan sikap-sikap tercela lainnya yang merugikan orang lain, apapun suku dan agamanya.

Sebaliknya, semua agama pasti mendorong, menganjurkan dan mengajarkan sikap kebaikan, solidaritas, toleransi, bahkan persaudaraan universal (ukhuwwah) tanpa melihat asal-usul suku dan budaya, ras, warna kulit, maupun gender. Agama tidak hanya sekedar ritus dan pemujaan.

Agama Adalah Produsen Konflik?


Dalam konteks Islam, ada satu ayat dalam kitab suci yang sangat populer sebagai rujukan bagi penganutnya untuk senantiasa menyebar kedamaian kepada penganut agama lain. Lebih luas lagi, bagi siapapun manusia yang hidup di dunia ini.

Ayat tersebut termaktub dalam QS. Al-Anbiyaa: 107, “wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil‘aalamiin." “Tiadalah Kami mengutus engkau, Muhammad, kecuali agar menjadi rahmat bagi sekalian alam.”  

Dari teks di atas, kita bisa ambil sebuah kesimpulan sederhana bahwa ajaran Muhammad (Islam) adalah ajaran kedamaian bukan sebaliknya. Bagaimana kondisi faktual di lapangan sekarang? Apakah pengikutnya, penganutnya atau umatnya telah menyebar benih-benih kedamaian dan sikap toleran?

Dalam praktiknya, tidak semua umat Muhammad mampu mengimplementasikannya. Masih saja, ada di sana-sini yang melakukan kekerasan, baik bersifat verbal ataupun fisik, terhadap agama lain yang notabene berbeda dengannya. Saya sebut saja misalnya, cara-cara yang dilakukan ormas Front Pembela Islam (FPI), sangat disayangkan masih terkesan keras dan terlihat arogan.

Dalam sikap beragama yang diperlihatkan FPI di atas, saya tidak tahu, apakah “keras” tersebut sebagai strategi dakwah yang diambilnya atau ketidaktahuan mereka terhadap terhadap pesan kitab suci, Al-Anbiyaa : 107 ?

Yang jelas, FPI menjadi sangat masyhur karena aksi-aksinya yang selalu kontroversial sejak tahun 1998, terutama yang dilakukan oleh laskar militernya, yang mereka sebut Laskar Pembela Islam. Kita ambil contoh, antara lain; aksi penutupan klab malam, tempat prostitusi dan judi, ancaman dan penangkapan terhadap warga negara tertentu (sweeping), konflik dengan ormas berbasis agama lain, dll. (Kementerian Keagamaan RI, Balitbang dan Diklat, hal. 369)

Tindakan FPI sering mendapatkan kritik karena tindakan main hakim sendiri. Menurut Habib Rizieq sebagai Ketua FPI, tindakan kekerasan yang dilakukan FPI dikarenakan kemandulan dalam sistem penegakan hukum, dan FPI akan mundur jika hukum sudah ditegakkan. Ia menolak anggapan bahwa beberapa pihak menyatakan FPI keras dan anarkis (Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta 2015).

Menurut para tokoh agama Islam maupun tokoh organisasi Islam, dalam "Buku Mereka Membicarakan Wawasan Kebangsaan" (Kemenag RI, 2015, hal. 434),  bahwa cara dakwah yang dilakukan FPI tidak tepat karena tidak sesuai dengan ajaran dakwah dalam Islam yang semestinya disampaikan tanpa kekerasan yang disertai pengrusakan.

Dari pendapat para tokoh Islam di atas, saya ingin bertanya satu pertanyaan yang sedikit ekstrem: “Masihkah kita temukan “Islam” di tubuh FPI, dalam konteks tersebut?” Mungkin itu adalah pertanyaan sensitif dan berbahaya. Sejumlah protes, tudingan dan tuduhan macam-macam pasti akan bermunculan dari pihak yang berseberangan. Tapi itu adalah data dan fakta yang ditemukan di lapangan. Siapa pun (tak) bisa membantahnya.  

Pada kalimat terakhir, saya ingin mengatakan bahwa beragama dengan santun, toleran dan menyejukkan orang lain lebih disenangi, dicintai dan diapreseasi ketimbang menonjolkan sikap keagamaan yang keras, kasar dan arogan.

Saya yakin masa depan agama apapun di dunia ini ada di tangan para penganutnya yang lembut, yang menghargai perbedaan dalam keragaman, yang menghindari konflik kepentingan, yang memuliakan ajarannya dengan segala kebaikan bagi umat manusia seluruhnya.  

Di sanalah kita menemukan fungsi sejati agama yang berperan aktif memproduksi ketenangan dan kedamaian bagi setiap individu. 

@ Iip rifai

Pengajar di Kampus CMBBS Banten|Peneliti di Omar Institute|Alumnus Pasca UIN "SMH" Banten|Alumnus SPK VI CRCS UGM Jogja|Alumnus S2 ICAS Jakarta|

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment