Thursday, December 22, 2016

Kekuasaan dan Kutukan dalam Sejarah Islam

DUNIA HAWA - “Jangan lupakan Aleppo!” kata penembak yang mematikan duta besar Rusia di Turki. Satu nyawa lagi hilang. Dendam seakan terus akan dilanjutkan. 


Bencana kemanusiaan terjadi di Suriah. Aleppo, Damaskus, dan kota-kota lain jadi puing-puing. Lima tahun terakhir peperangan telah terjadi. Puluhan ribu manusia tewas. Jutaan lain sibuk menyelamatkan diri. Sebelumnya, Duta Besar Indonesia untuk Suriah meminta

kepada Pemerintah Indonesia untuk turut menekan agar senjata-senjata yang berletupan di sana di gencet, sehingga peluru-peluru tidak berhamburan kemana-mana.

Di tempat itu, tempat yang sanggup membuat setiap mata manusiawi menyaksikan korban perang meneteskan air mata, adalah tanah yang dahulu juga sering ditumpahi darah. Ketika Bani Abbasiyah akan lahir, di wilayah itu juga terjadi pembantaian-pembantaian. Seorang dari keluarga Bani Umayyah yang selamat dari pembantaian pasukan Bani Abbasiyah adalah ‘Abd ar-Rahman bin Muawiyah. 

Maribel Firero menulis: kisah penyelamatan diri 'Abd Ar-Rahman bin Mu'awiyah jika dinaskahkan akan menarik seperti film Hollywood. Dalam penyerangan yang terjadi di Damaskus, pusat Bani Umayyah saat itu, keluarga Bani Umayyah dibantai. Satu keturunan yang selamat.

Ia belari mobat-mabit, menyusuri lorong-lorong istana, comberan-comberan selokan, menyeberangi laut yang sedih, memasuki negeri asing yang cemas, menghindari kejaran gerombolan prajurit-prajurit beringas haus darah yang mengincar kepalanya. Tapi ia selamat dan ia, yang nantinya akan mendirikan Kekhalifahan Bani Umayyah di Andalusia.

Khalifah Abbasiyah kedua, Abu Ja’far al-Manshur memujinya sebagai Shaqr Quraisy atau Elang Quraisy. Elang Quraisy itu, yang dapat menyelamatkan diri dari pembantaian dan akhirnya mendirikan Kekhalifahan di Andalusia, nantinya ia akan meletakkan pondasi kukuh bagi gaung peradaban berkemajuan di Eropa.

Satu hal yang pasti, tak dapat kita menyembunyikan informasi, bahwa Kekhalifahan Bani Abbasiyah yang agung itu, yang membangun Baghdad jadi pusat dunia itu, yang mempelopori pembuatan kertas itu, yang menciptakan perpustakaan haibat yakni Bait al-Hikmah itu dan melahirkan intelektual-intelektual kondang sekaliber al-Khwarizmi, didirikan di atas darah keluarga Umayyah yang dibantai.

Klaim kedekatan dengan pamanda Nabi, al-‘Abbas, adalah hal paling penting yang digunakan sebagai supremasi, karena jalur nasab, seakan “memiliki” hak untuk memikul tanggung jawab sebagai Amirul Mu’minin.

Tak beda jauh dari pendahulunya, Bani Umayyah, ia juga tegak dengan label kedekatan jalur nasab dengan nabi. Bani Umayyah juga berdiri usai kilatan pedang beradu, leher terputus, panah beterbangan, tombak menembus dada, dan tubuh-tubuh menjadi mayat. Dua kekhalifahan besar dalam peradaban Islam itu, memiliki satu kesamaan: dibangun dengan pertumpahan darah sesama Muslim.

Kekuasaan rupanya memiliki kutukan.


Jika Kebenaran yang Hilang garapan Farag Fouda dikritik habis-habisan oleh beberapa akademisi sayap Kanan negeri ini (karena, menurut mereka, kesembronoan sumber yang digunakan), Farag Fouda setidaknya menampilkan perspektif baru dalam melihat pembentukan peradaban Islam. Kehadiran buku Farag Fouda yang mendapat pujian dari intelektual seperti Azyumardi Azra dan Buya Syafi’i Ma’arif, ingin menampilkan bahwa sejarah tak selamanya sakral.

Sejarah adalah ilmu yang mengingatkan kita akan luka masa lalu. Dalam sejarah, luka itu membekas dan tak mesti disembunyikan. Bekas luka itu harus kita sadari bahwa pernah terjadi dalam hidup kita, sebuah kecelakaan pemahaman tentang banyak hal. Dan dari bekas luka itulah kita akan belajar banyak hal pula, untuk diperbaiki.

Bekas luka itu bisa jadi tanda yang seksi, seperti sebutir andheng-andheng di pipi Revalina S. Temat yang tak harus ditutupi dengan bedak atau andheng-andheng di ujung hidung Febri Aryanti yang tak harus ditutupi dengan burqa.

Maka, ketika Farag Fouda mengutip laporan sejarawan Muslim Al-Thabari dalam kitab Tarikh al Umam wa al-Muluk, bahwa: “Mayat Usman harus bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan.

Umair bin Dzabi’i datang meludahinya, lalu ia mematahkan salah satu persendiannya. Ia dimakamkan di Hisy Kaukab (sebuah areal pekuburan Yahudi) karena dilarang dimakamkan di kompleks Baqi', adalah untuk menunjukkan bahwa sejarah peradaban Islam kita tak selamanya baik-baik saja.

Meski fakta-fakta Farag Fouda itu dipertanyakan keakuratan pemilahan sumbernya, tapi yang mesti kita sadari adalah terdapat luka di sana. Luka yang timbul karena pelbagai soal, yang jawabnya selalu kita perdebatkan hingga kini. Luka, bahwa pertikaian karena persoalan perebutan kekuasaan selalu menyisakan banjir darah dan air mata.

Luka itu, luka yang berupa fakta kekejaman kelompok Muslim yang satu dengan kelompok Muslim lain dalam perebutan kekuasaan, jarang diungkap. Alih-alih dalam materi sejarah kebudayaan Islam yang diajarkan di sekolah-sekolah. Sejarah yang Hilang adalah ikhtiar menunjukkan bahwa dalam masa lalu peradaban kita juga tercoreng oleh kelakuan-perlakuan yang buruk. 

Karena itu, kekagetan sering nemplok di dalam benak ketika gaung-gema gagasan kekhalifahan saat ini membombardir negeri ini. Sesering apakah, dari sekian pendukung “tegakkan khilafah di Indonesia” berani bertanya dalam hati: “mungkinkah kita sebagai ‘ummat pernah kejam kepada saudara Muslim lain saat ingin mendirikan kekuasaan dengan bentuk Kekhalifahan?”

Maka, ketika jutaan orang berpakaian putih berduyun-duyun ke Jakarta, yang sebagian diantaranya memiliki gagasan “tegakkan khilafah”, membuat saya cemas, akankah kutukan kekuasaan itu berulang? Tapi yang terjadi berbeda. Sejarah sudah dihamparkan seperti sebuah stepa yang ditumbuhi oleh rerumputan subur.

Kita dipersilakan untuk menggembalakan mata, melihat mana rumput asli atau mana rumput sintetis Made in China. Gerakan massa 212 berevolusi menjadi gerakan ekonomi, menyadari bahwa ‘ummat Islam mesti mandiri.

Tapi kutukan ini, kutukan kekuasaan, telah menghantui setiap orang yang menginginkan kekuasaan. Karena itu, saat banyak media menyudutkan bahwa Bashar al-Assad adalah penerus diktator dan harus digulingkan untuk digantikan dengan penguasa baru, sementara al-Assad sendiri tetap bertahan, maka kutukan berupa pembantaian-peperangan itu terus terjadi.

Kematian untuk para pendukung, teror untuk para pemberontak. Kesumat terus membara. Kesedihan dari anak-anak tak berdosa korban pertikaian, pandangan kosong karena kehilangan orang tua. Rumah-rumah yang lantak, perut yang mengerut karena lapar. Desir angin kekejaman, dentum bom yang memekakkan telinga. Perban di kepala yang tak kuat menahan banjir darah, bayi yang sekarat.

Tank yang memburu, senapan runduk yang mengintai. Operasi anak kecil yang tak menggunakan obat bius karena persediaan obat habis. gandum yang tak lagi tumbuh karena tanah ditanami ranjau. Juga platform Twitter yang menyelamatkan gadis kecil, Bana al-Abed, karena cuitannya tentang horor menakutkan nan mencekam di Aleppo.

Kapan kutukan itu akan berakhir atau apakah memang manusia sesungguhnya adalah makhluk terkutuk?

@priyadi


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment