Tuesday, December 6, 2016

Dear Teman Teman Muslim Kami yang Baru


DUNIA HAWA

Dear teman-teman Muslim kami yang baru,

Belakangan ini kami merasakan sesuatu yang beda pada bagian kecil di otak kami. Khususnya bagian yang mendeskripsikan bahwa kami seorang warga Negara Indonesia. Rasanya geli-geli menggelitik. Dingin-dingin empuk. Macam bangga punya status pacar baru tapi mau kelihatan biasa saja supaya gak norak.


Dulu menyebutnya saja janggal. Satu, karena kami keturunan cina. Biasanya gak ada yang bela. Boro-boro bela, gak dibenci aja udah kamsia. Orang suka bilang, Indonesia apanya, wong putih begitu, jangan-jangan kamu dirumah makan masih pakai sumpit. (Padahal sudah generasi ketiga dan ngomong mandarin aja belepotan.)

Menjadi keturunan Cina juga berarti kami sudah terbiasa mendengar ‘Ganyang Cina’ sebagai peringatan sudah waktunya pulang kerumah dan bersembunyi. Takut rusuh kayak ‘98 kata Ortu. Kita bukan orang Indonesia yang asli dan gak mempunyai kedudukan dan hak yang sama dengan penduduk asli. Mereka benci kita. Pesan-pesan seperti ini disampaikan bisik-bisik turun temurun, menambah kesan sangarnya. Maklum leluhur sendiri yang ngalemin. Yang membangkang tanggung resiko sendiri.

Lalu sesuatu yang aneh terjadi. Benar-benar aneh. Ada Muslim yang bela Cina. Bukan orang kecil lagi. Macam Nusron, Buyaa, Gusmus dan lain-lain. Aneh. Lebih anehnya lagi Polisi, terutama Kapolri, sepertinya niat sekali mengamankan demo, berkali-kali. Gak kayak begitu tahun 98. Bahkan Panglima TNI menggelar doa bersama ramai-ramai agar Negara aman. Yang ikutan doa banyakan Muslim. Tunggu, tunggu…ini ganjil sekali. Kalau ngomong kasarnya, rusuh pun yang kena pertama keturunan Cina, Nasrani dan minoritas lainnya. Bukan Muslim atau Pribumi. Sudah biasa SOP-nya seperti itu. Tapi kenapa mereka yang repot-repot mau doa? Repot-repot mau amanin?

Mungkin ini perintah Presiden kita yang baik hati itu, dalam hati kecil saya. Lalu karena polemik yang berlarut-larut berminggu-minggu ini, saya pun mulai mencari-cari artikel dan tulisan-tulisan untuk mengetahui lebih banyak tentang pendapat masyarakat sejujurnya. Lagi-lagi bagaikan diterpa angin segar. Begitu banyak penulis Muslim yang pemikirannya sudah modern dan mementingkan persatuan Negara alih-alih menyalah-nyalahkan minoritas. Mereka yang benar-benar khawatir akan terjadinya kerusuhan seakan mereka sendiri yang langsung kena dampaknya. Bahkan beberapa dari mereka tak segan-segan menjelaskan asal muasal kebencian antar etnis dan agama dan bagaimana hal ini dipergunakan oleh penguasa jaman dahulu untuk memecahbelah bangsa kita agar tidak bisa maju.

Tak jarang mereka dibully, dipertanyakan, dijauhkan oleh teman-teman satu agama karena tulisan yang mereka buat. Tapi satu hal yang patut di saluti, mereka tak gentar. Malah meluncurkan satu artikel lagi yang cerdas dan membuka wawasan alih-alih terjebak dalam lingkaran bully-membully. Satu demi satu saya baca dengan takjub sambil nganga. Hampir tak percaya, apalagi jika yang nama yang menulis dimulai dengan Muhammad. Astaga… Rasaya begitu adem menyapu kalbu. Setiap kalimat yang mereka tuliskan bagaikan sebuket bunga dari pengemar rahasia, saya hirup dalam-dalam dengan apresiasi seorang jomblo satu dekade. Alangkah bahagianya.

Saya terharu. Benar-benar terharu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kami keturunan Cina dibela. Bukan karena favoritisme. Bukan karena formalitas. Bukan karena apapun yang muluk-muluk. Tapi karena para Muslim ini adalah patriot sejati, mereka percaya akan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, tak peduli rakyatnya Cina, Batak, Dayak, Papua atau apapun dari sekian banyak rumpun di Negeri ini. Mereka mungkin tak muncul di TV dan mengadakan presscon, tapi mereka Negarawan tulen. Mereka bisa membedakan yang mana yang memecah-belah, yang mana yang mepersatukan. Pikiran mereka jernih membedakan antara politik dan keagamaan. Mereka tak segan-segan mengambil posisi yang tegas dalam kericuhan ini dengan gaya bahasa yang luwes dan mendidik.

Ternyata ini penyebab gelitik di pojok cerebral cortex kami. Kita sudah tidak ada di realita yang sama dengan yang selama ini dibangun dan ditakuti oleh leluhur dan orang tua kami. Kita ada ditipping point dimana perubahan terjadi dan efeknya menggema berdomino. Rasanya, seperti yang sudah saya sampaikan dikalimat pertama artikel ini, berbeda. Mungkin ini rasanya menjadi warga Negara yang tidak dianaktirikan. Mungkin ini rasanya menjadi bagian dari bangsa yang menghargai perbedaan dan berdewasa dalam beragama, yang mencintai perdamaian dan persatuan.

Dan mungkin, saya tak akan pernah bertatap muka dengan para patriot ini, oleh sebab itu izinkanlah saya menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya pada teman-teman Muslim penulis, bagi saya kalian adalah Panglima dunia maya, Pahlawan intelektual dan Patriot sejati yang gagah dan kadang menggemaskan. Saya yakin kalimat-kalimat yang kalian tulis akan menjadi bibit-bibit perdamaian yang nantinya akan tumbuh dan menyebarluas membantu mempersatukan bangsa.

Juga terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Kapolri dan segenap anggota kepolisian, kepada Panglima TNI dan angkatannya yang siap jihad bela Negara, kepada Pakde Jokowi yang dengan rendah hati dan brillian menunjukan sejatinya bagaimana seorang presiden harus bersikap, dan juga kepada seluruh umat Islam yang tidak menyalahkan kami minoritas. Terima kasih.

Dan kepada teman-teman keturunan Cina, marilah kita sambut itikad baik teman-teman Muslim kita ini dengan menjadi warga Negara yang baik, santun dalam perkataan, bijaksana dalam perbuatan dan toleransi dalam berbangsa dan beragama, mari kita buka lembaran baru yang damai demi Indonesia.

@shanty m


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment