Thursday, December 1, 2016

Dear Pak SBY: Jangan Bunuh Diri

DUNIA HAWA

Dear Pak SBY yang selalu keren,


Perkenalkan. Saya adalah salah satu konstituen Partai Demokrat selama 2 periode. Saya juga salah satu voters yang memenangkan pak SBY selama 2 periode.


Jujur, saya, sebagai orang Yogyakarta, waktu itu juga yang ikut nyumbang suara untuk Bapak Roy Suryo. Meski, dengan pengakuan ini, banyak teman-teman saya akan tertawa sampai ngompol untuk menghina saya karena memilih Pak Roy Suryo. Ya, jubir Bapak itu, yang tidak habis-habisnya di-bully sebagai pakar telepati, eh ulangi, telematika.

Saya masih ingat, waktu itu saya masih di Jepang, berita tentang Bapak sampai didengar oleh ibu angkat saya. Beliau bilang, kalau Pak SBY itu doktor bidang pertanian. Dia bilang, “Atama ga ii, ne…” Artinya otaknya cemerlang, ya.

Oleh karena itu, saya semangat sekali nyoblos Pak SBY. Begitu juga dengan seluruh keluarga saya. Dua periode, kami sumbang suara untuk Bapak jadi Presiden. Kami tidak menyesal.

Papa saya pulang dari nyoblos, langsung teriak, “Demokrat!” Bahkan Mama saya mengatakan perlu ada pakar telematika yang cerdas di DPR. Roy Suryo pada saat itu sangat mewakili Yogyakarta yang tradisional dengan gelar ningrat, berpendidikan, sekaligus memahami teknologi.

Profil yang lengkap! Entah bagaimana nasibnya sekarang, saya enggan membahas. Takut kualat. Ntar saya jadi lupa lagu Indonesia Raya gara-gara kualat dengan Roy Suryo. No, takut kualat saya, Tweeps!

Tetapi, yang mau saya bahas adalah Bapak SBY sendiri, sebagai Presiden RI ke 6 yang saya banggakan. Saya ingat pula, saat ada diskusi politik di Amerika Serikat dengan beberapa aktivis politik di Colorado, Amerika Serikat. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa Pak SBY terlalu baik. Terlalu banyak kompromi, sehingga tidak tegas dan tidak sadar saat dia dimanfaatkan. Saya pun mati-matian membela Bapak dengan mengatakan bahwa untuk menjaga kedamaian dan kestabilan kadang kompromi harus banyak dilakukan. Saya tidak pernah menyesal membela Bapak.

Yang saya sesali sekarang adalah bagaimana pak SBY sudah terlalu larut dalam cawe-cawe dolanan anak lanang. Tahu kan Pak maksudnya?

Mas Agus itu ibarat sedang asyik main basket, tetapi saking nafsunya Pak SBY supaya mas Agus menang, Pak SBY ikut masuk lapangan. Pak SBY merebut dribble bola mas Agus, menampar berkali-kali lawan mas Agus, sekaligus membayar dan menempatkan penonton untuk menyoraki lawan mas Agus biar mundur. Lalu dengan bijak, Pak SBY bilang bahwa Bapak ingin mas Agus menang dengan fair. Kalimatnya sopan Pak, tapi substansinya bikin “muntah!”

Ketika ada penonton berteriak kencang bahwa Pak SBY tidak adil dan berbuat dzalim dalam pertandingan, Pak SBY malah berkata, “Angin menerpa saya dan keluarga saya. Menerpa dengan sangat luar biasa… Saya juga mohon doa restu, agar saya kuat menghadapi ini semua.” Helloooo! Itu angin dari kipas angin Bapak sendiri. Malah, tidak tanggung-tanggung, kedua kalinya, Bapak bilang lagi di tulisan Bapak, “Saya dihabisi tanpa ampun.”

Hadeh, Pak SBY yang terhormat. Bapak selalu menggunakan retorika menjadi korban. Lagu lama yang sama, yang diputar berulang-ulang. Udah nggak mempan, Pak! Bahkan, untuk saya yang loyalis Demokrat ini. Maaf Pak, tapi itu lagu usang. Kalau kata Mbak Dian Sastro: basi!

Bapak seolah menempatkan diri sendiri sebagai “korban pembunuhan karakter.” Padahal, Pak SBY sendiri sedang melakukan “bunuh diri karakter.” Sadarlah pak, jangan bunuh diri!

Sebagai negarawan, seharusnya pak SBY menjaga jarak dengan situasi ini. Pertama, Bapak punya kepribadian ganda, eh, peran ganda. Bapak adalah mantan Presiden, sekaligus Bapak kandung (fix, nggak perlu tes DNA, apalagi setelah dengar Ananda nyanyi) dari salah satu kandidat politik Gubernur, Agus Yudhoyono. Itu dua hal yang menyatu, Pak.

Jadi, jika Pak SBY membuat statement apapun yang tone-nya tampak sedikit saja membela atau menjatuhkan salah satu pihak, Bapak akan dituduh sebagai biang kerok. Bapak itu tetap tidak bisa terlihat netral, bijak, atau negarawan jika Bapak bicara. Tidak bisa, Pak!

Masyarakat pasti akan selalu mengkaitkan Bapak sebagai pembela Agus yang berusaha menjatuhkan Ahok, atau bahkan Anies. Jadi, jika Pak SBY membuat statement seperti yang pernah Bapak lakukan dua kali, itu justru blunder. Bunuh diri, pak!

Sayang, Andi Malarangeng dipenjara, jadi tidak bisa memberikan masukan yang lebih baik. Tapi, saya percaya Bapak SBY cukup cerdas untuk tahu posisi Bapak.

Pertanyaan saya selanjutnya, apakah Bapak sengaja ingin membuat statement tersebut dengan resiko blunder agar kode-kode Bapak sampai kepada mereka?

Jangan-jangan pidato dan tulisan itu dikonstruksi untuk memberikan kode? Kode kerusuhan 98, kode tidak akan berhenti demo hingga lebaran kuda, kode supaya Ahok dicederai dengan menjadi tersangka, kode supaya Jokowi tidak memidanakan pihak-pihak yang ketahuan sedang bermain-main dengan politik makar? Seperti desas-desus selama ini?

Kalau tebakan saya salah, saya bersyukur. Tetapi kalau benar, saya mohon sebagai mantan konstituen Bapak, berhentilah bermain api sebelum terlambat. Jangan korbankan kekaguman kami selama 10 tahun memimpin Indonesia dengan tindakan tidak terpuji. Yakni: Main-main dengan kebhinekaan NKRI hanya untuk meraih suara buat mas Agus.

Kami harap, pak SBY segera sadar. Masih banyak cara yang mulia yang bisa Bapak lakukan dalam suasana kompetisi pilkada seperti ini. Misalnya: DIAM dan tidak ikut campur.

Tidak malah nambah-nambahi kobaran api setelah itu sembunyi tangan, dan pura-pura jadi korban, lagi, dan lagi. Sampai kapan drama Cikeas ini selesai? Sampai lebaran kuda??

Pak, sebagai pengagummu, saya dan teman-teman ini punya mimpi bahwa Bapak ini nanti bisa seperti pak Habibi. Dikenang oleh banyak generasi muda melalui Ainun-Habibi. Kami juga pengin Bapak dikenal oleh generasi muda. Siapa tahu cinta romantis Bambang-Ani juga bisa difilmkan. Bapak pasti juga pengin kan? Bapak kan selalu bangga dengan keluarga Bapak, prestasi militer Bapak, dan pemerintahan Bapak, kan? Pasti deh.

Tapi please Pak, saya pikir, sineas juga tidak mungkin mewujudkan mimpi Bambang-Ani akan dikenal semanis Ainun-Habibi, jika pak SBY tidak bersikap seperti pak Habibi.

Perhatikan baik-baik pak! Pak Habibi dimaki-maki banyak orang sebagai orang “bodoh” dan “lemah” karena melepaskan Timor Leste. Pak Habibi juga dihabisi, sehabis-habisnya.

Tetapi, dengan berjalannya waktu, Habibi menunjukkan konsistensi sikap negarawan. Tidak gila jabatan, tidak bersikap sok jadi korban, tegar, tidak berhenti berkarya nyata dengan baik. Maka, nama baiknya pun disandang lagi. Lebih baik dari sebelumnya malahan!

Pelajaran juga bisa Bapak SBY ambil dari mantan anak buah Bapak. Masih ingat bu Sri Mulyani, Pak? Masih ingat beliau duduk sendiri di kursi pesakitan. SENDIRI pak! Bapak bahkan tidak disana untuk membela Menteri emas Bapak itu.

Beliau disidang. Dibunuh karakternya. Di-bully seperti penjahat. Tetapi, tidak sedikit pun Bu Sri bergeming. Apalagi membongkar borok bos-nya. Apalagi memposisikan dirinya sebagai korban yang dihabisi. Tidak, Pak! Bu Sri tegar berdiri. Bahkan tidak satu tetes air mata pun keluar dari matanya! Masak Bapak kalah sama anak buah sendiri?

Baru “digituin” aja sudah berkoar-koar, “Saya dihabisi!” Baru nggak diundang makan Pak Jokowi aja sudah sakit hati dan membanding-bandingkan pemerintahan Bapak di masa lalu. Please banget pak, jangan bunuh diri karakter begitu!

Kami tidak bisa dibodohi dengan kata-kata manis dan santun, Pak. Kami itu cerdas! Buktinya kami memilih Bapak selama 2 periode, ya kan?

Sadarlah Pak SBY. Jangan bunuh diri karakter! Sebelum semuanya terlambat.

Saya tahu, Bapak sudah keluar uang banyak dan berkorban banyak untuk kasus Mas Agus ini. Tetapi apakah itu senilai dengan mengorbankan persatuan bangsa? Kebhinekaan yang terancam dengan ekstrimisme para pion-pion kecil yang dimanfaatkan oleh banyak pihak yang mencari momentum untuk mengganti NKRI ini. Please, pak. Berhenti jadi provokator. Dengan segala hormat, berhenti menjadi SBY yang seperti ini!

Ijinkan kami, para konstituen Bapak, tidak pernah menyesal membawa SBY di kursi kepresidenan selama 10 tahun. Biar suatu saat kami bisa dengan bangga mengatakan: “Ini SBY yang keren. Saya pilih dua kali sebagai Presiden.” Bukan sebaliknya: “Nyesel gue, milih SBY dua kali jadi Presiden.”

Mundurlah dengan terhormat dari drama politik ini. Biarkan Mas Agus bertarung dengan jantan bersama dua rivalnya. Kasihan kan, kalo Bapak mendengar Mas Agus disebut-sebut, “Anak magang” atau “Anak Pepo”? Sebagai Bapak yang keren, ijinkan anak Bapak itu jatuh, sakit, dan gagal. Jangan apa-apa dikasih instan! Nggak ikut lari marathon, tahu-tahu nyampe di garis finish. Nggak ada prestasi mimpin daerah, tahu-tahu jadi Gubernur.

Akhir kata, meskipun pesan di bawah ini lebih cocok untuk menyemangati dua rival Mas Agus, tetapi biarkan kata-kata Michele Obama ini, menyadarkan Bapak.

“Adalah penting untuk anak muda untuk menghadapi tantangan, kegagalan, dan kerugian. Karena itu akan memberi mereka keuntungan. Itu akan memberi mereka kedewasaan dan kemantapan diri untuk maju terus pantang mundur. Meskipun terasa sakit, tapi mereka tetap maju. Karena mereka telah melatih otot-otot itu.”

Saya yakin, Mas Agus itu berotot six pack, tetapi otot mentalitas yang dimaksud Michele Obama inilah yang Mas Agus belum punya. Semua karena hak istimewa menjadi seorang Yudhoyono.

Maka, undurlah dengan terhormat. Biarkan Mas Agus melatih ototnya ini dalam kompetisi adil yang sesungguhnya!

Dengan segala hormat, sadarlah pak SBY, berhenti, dan jangan bunuh diri karakter lagi!

@desi deria


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment