Friday, December 16, 2016

Terorisme ; Calon Pengantin Gaya Baru

DUNIA HAWA - Pekan lalu ribuan pasang mata warga Republik Indonesia disajikan fenomena terorisme. Perilaku terorisme dilakukan  berdasarkan dogma agama yang ia anut. Harapan berupa eskatologi bertemu dengan kebahagian hakiki di alam (surga). Berkumpul kembali dengan para pejuang yang pernah melakukan hal yang sama atau syuhada.


Syahdan, kita tak pernah tahu apa yang telah merasuk pada raga dan sukma DYN. Calon pengantin yang akan melakukan “perkawinan” di Istana Negara tempat di mana persembahan yang akan dilakukan untuk menemukan kebahagian individu semata. Naas aksi yang akan dilaksanakan DYN sudah terendus intelijen. Walhasil rencana pengeboman gagal, para perencana pengeboman Istana Negara lumpuh total.

Penangkapan “calon pengantin” di daerah Bekasi, kompleks pemukiman yang cukup padat tiba-tiba menjadi sorotan. Status DYN sebagai salah satu istri kedua yang sangat intens berkomunikasi dengan Bahrun Naim.

Doktrinasi dari Bahrun Naim melalui telepon genggam ampuh. Pola pikir yang belum mengetahui seluk-beluk mengenai taktik dan strategi dalam melakukan gerakan pengeboman. Menjadi kemahiran yang belum tentu di miliki oleh wanita sebayanya, mengenai teknik menjadi pengantin.

Dikutip dari Antara, David Brooks menuliskan sebuah frasa calon pengantin dalam "The Culture of Martyrdom" di Majalah Atlantic (Juni 2002) yang fokus terhadap sejarah-sejarah pengebom bunuh diri di kalangan Palestina.

Pertemuan dan menikah dengan bidadari di surga itu, maka si calon pengebom bunuh diri disebut sebagai pengantin. Lalu saat bom meledak dan nyawa si pelaku melayang disebut sebagai "perkawinan", yakni pertemuan antara jiwa si pelaku dengan sang bidadari.

Iming-iming mendapatkan kesempatan yang baik pada tataran eskatologis. Menghilangkan segenap kepentingan individu. Nilai-nilai kemanusian luntur seketika, orang-orang yang masih mencari keberadaan sifat manusia. Kehilangan dataran-dataran yang tidak bisa bertahan menjadi. Seolah menjadi kehidupan yang berdampak serius.

Fenomena wanita “menjadi calon pengantin” menjadi ancaman teror gaya baru. Sejauh kita memahami kultur wanita di Indonesia masih dalam tataran patriarkat. Wanita dalam kungkungan selagi mencari kebersamaan. Wanita selalu dinomorduakan dalam perihal privat maupun publik meskipun sudah didirikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Sekali lagi lembaga negara satu ini masih berkutat masalah yang memiliki kepentingan dengan negara.

Ditambah dengan dogma agama yang menunjukkan wanita untuk tunduk kepada laki-laki. Gambaran imam (pemimpin) untuk laki-laki secara absolut tidak hanya memberikan kuasa absolut. Autokritik pun jarang terlontar kepada suami. Imbasnya, memenuhi perintah laki-laki sebagai kepatuhan terhadap agama tanpa mengindahkan perbuatan tersebut mengkhianati kemanusian atau tidak.

DYN merupakan satu dari sekian “calon pengantin” yang dipersiapkan untuk melakukan teror yang berkelanjutan. Doktrinasi dari ruang privat (keluarga) yang lebih mengena. Perspektif kepada wanita kembali timpang karena “gerak-geriknya” akan kembali di awasi oleh pihak keamanaan. Peristiwa ini kembali mengingatkan kepada kita semua bahwa calon pengantin gaya baru sedang merebak di kalangan teroris.

@fadli rais


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment