Thursday, December 1, 2016

Apa yang Dibanggakan Dari Islam Hari Ini ? Sebuah Otokritik

DUNIA HAWA - “Sanjungan basa-basi terhadap sejarah silam dan upaya untuk kembali membangkitkannya, sama sekali tidak mengobati penyakit masyarakat”

-Muhammad Iqbal-


Sepanjang sejarahnya, agama senantiasa dibajak demi berbagai kepentingan pragmatis, tak terkecuali Islam. Maka hari ini, wajah Islam yang muncul ke permukaan adalah wajah Islam yang dikotori kepentingan-kepentingan sesaat tersebut.

“Tidak ada yang mencederai agama sehebat politik” ujar Khaled Abou El-Fadl. Politik adalah salah salah satu dari sekian banyak “kepentingan” yang menodai wajah Islam. Islam yang semula lahir demi membebaskan umat manusia dari cengkeraman kebodohan, kejahilan dan penindasan lambat laun menderita gejala yang sama dengan kondisi yang justru ingin dihilangkannya.

Lantas, jika berkaca ke belakang, apa yang kita bisa banggakan dengan Islam hari ini? Berikut beberapa point yang menjadi atau paling tidak dianggap sebagai kebanggan Islam permulaan dibandingkan dengan kondisi Islam “kekinian.”

Point pertama –seperti disebutkan di awal paragraf- Islam membebaskan umatnya dari kebodohan dan dekadensi moral. Islam lahir dalam kondisi jazirah Arabia yang sedang dilanda kebangkrutan sosial yang sering disebut “jahiliyah.” Jahiliyah berasal dari kata kerja “Jahala” yang berarti bodoh, bersikap masa bodoh atau tidak peduli.  Sebagian besar masyarakat Arab pada masa Nabi Saw diutus masih buta huruf, menyembah berhala dan jauh dari cahaya kebenaran. Namun, satu abad setelah Nabi Saw wafat, Islam berhasil melejitkan level masyarakat Arab dan menciptakan “langit dan bumi baru” bagi mereka.

Masyarakat Arab yang dianggap terbelakang, jauh dari peradaban dunia justru bermetamorfosis menjadi kekuatan yang menyaingi bahkan melebihi dua kekuatan adikuasa pada masa itu, yakni Byzantium dan Persia. Pada masanya, banyak bermunculan cendekiawan dan ilmuwan muslim. Inilah abadnya orang-orang muslim, di mana penemuan dan Iptek mereka menjadi obor penerang bagi zaman kegelapan yang melanda Eropa. Presiden Obama, pada 2009 lalu di Cairo Mesir mengungkapkan kontribusi Islam terhadap peradaban dunia :

“It was Islam that carried the light of learning through so many centuries, paving the way for Europe’s Renaissance and Enlightenment. It was innovation in Muslim communities that developed the order of algebra; our magnetic compass and tools of navigation; our mastery of pens and printing; our understanding of how disease spreads and how it can be healed” (thenewatlantis.com)

 Namun, hari ini “obor” ilmu dan teknologi tersebut telah terlepas dari genggaman kaum muslimin. Semangat pencarian kelimuan mereka menjadi kering seperti padang pasir. Fisikawan Pakistan, Pervez Amirali Hoodbhoym menerbitkan sebuah artikel dan statistik pada 2007 lalu dalam “Physics Today”. Menurutnya, negara-negara muslim hanya mempunyai 9 ilmuwan, insinyur, dan teknisi per 1000 orang, dibandingkan rata-rata masyarakat dunia yang mencapai 41 per orangnya. Di negara-negara ini,  ada kurang lebih 1800 perguruan tinggi, tapi hanya 312 perguruan tinggi saja yang sarjana-sarjananya telah menerbitkan jurnal keilmuan (thenewatlantis.com).

Point kedua yang dibanggakan dari Islam adalah “daya dobraknya” terhadap kondisi keterkungkungan dan penindasan (Dzulm) yang dialami kaum tertindas atau “mustadh’afin.”H.A.R.Gibb melukiskan suasana pada saat pra-Islam :

“Makkah ketika itu menyimpan sisi gelap. Kejahatan dalam masyarakat pedagang kaya adalah hal biasa, begitu juga kesenjangan yang amat jauh antara kaya dan miskin, perbudakan dan persewaan manusia dan tajamnya penentangan atas ketidakadilan sosial, dan inilah yang menyebabkan guncangan keras dalam dirinya.” (dalam Engineer, 2007: 7).

Kondisi-kondisi tersebutlah yang berupaya direvolusi Islam. Islam bercita-cita mewujudkan masyarakat yang adil dan egaliter. Islam menganggap seluruh manusia sama, tanpa perbedaan warna kulit, ras, atau kebangsaan.  Nabi Saw menegaskan hal ini pada kesempatan haji wada (haji terakhir) di Makkah. Beliau bersabda :

“Orang Arab tidak lebih tinggi daripda orang Ajam, begitu pula orang Ajam tidak lebih tinggi daripada orang Arab; tidak ada perbedaan antara yang hitam dan yang putih, kecuali oleh tingkat kesalehan yang diperlihatkan dlam hubungannya dengan orang lain…Janganlah tunjukkan kepadaku kebanggaan keturunanmu, tapi tunjukkanlah perbuatan baikmu” (Musnad Ahmad bin Hanbal).

 Namun, kondisi kekinian umat Islam nampak mengenaskan. Penindasan, kemiskinan dan eksploitasi mereka rasakan bahkan dari saudara-saudaranya sesama muslim. Hal ini terlihat dari perlakuan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) dan TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang sebagian besarnya justru bekerja di negara-negara muslim.  Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tahun 2014 menunjukkan sekitar 5-15 % dari 200-400 ribu orang TKI yang pulang ke Indonesia setiap tahunnya adalah TKI yang bermasalah. Masalah-masalah tersebut diantaranya berkaitan dengan legalitas keberangkatan, menjadi korban tindak kekerasan atau konflik dengan majikan berupa kekerasan fisik, penganiayaan seksual, masalah tidak digaji, dan sebagainya. Data TKI yang dipulangkan selama tahun 2014 dari Arab Saudi sebanyak 20.379 orang, sedangkan dari Malaysia sebanyak 26.428 orang. Kementerian Luar Negeri merilis sebanyak 229 warga Indonesia terancam hukuman mati di luar negeri hingga Februari 2015. Mayoritas warga Indonesia yang terancam eksekusi mati berada di kedua negara tersebut.

Selain TKI, yang lebih miris adalah nasib pengungsi  Suriah. Ketika negara mereka terpecah belah akibat konflik yang tidak berkesudahan antara kelompok-kelompok yang sesungguhnya masih se-ukhuwah, mereka lebih memilih mengungsi ke negara-negara Eropa yang notabene nonmuslim ketimbang mengungsi ke negara-negara tetangga muslim yang jaraknya lebih dekat, seperti Arab Saudi misalnya.

Point ketiga yang dibanggakan dari Islam adalah toleransi, kebebasan beragama dan menghargai keyakinan orang lain. Sosok Rasulullah Saw adalah sosok yang sangat toleran. Dalam suatu riwayat, suatu perutusan Kristen dari Najran menghadap kepada Beliau Saw di Madinah untuk bertukar pikiran mengenai masalah-masalah keagamaan. Di dalam rombongan itu terdapat tokoh-tokoh gereja. Percakapan diadakan di dalam masjid dan berjalan selama beberapa jam. Pada suatu saat perutusan itu minta izin meninggalkan masjid dan mengadakan upacara kebaktian di suatu tempat yang tenang. Rasul bersabda bahwa mereka tidak perlu meninggalkan masjid yang memang merupakan tempat khusus untuk kebaktian kepada Tuhan dan mereka dapat melakukan ibadah mereka di situ.

Tapi kini, toleransi yang diajarkan Nabi malah dicederai sebagian umatnya sendiri. Sikap intoleran, kekerasan dan persekusi terhadap minoritas menjadi peristiwa yang kerap berulang, termasuk di Indonesia yang notabene masyarakatnya majemuk dan plural. Tanyakan hal ini pada Ahmadiyah dan Syiah. Lebih dari satu dekade, mereka kesulitan untuk sekadar beribadah dengan aman di tempat yang bahkan mereka bangun sendiri.  Lebih dari itu, tindakan persekusi yang dilakukan kelompok-kelompok intoleran  menyebabkan mereka harus terusir dari rumah sendiri dan tinggal dipengungsian lebih dari 10 tahun. Tanyakan hal ini kepada pengungsi Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Point keempat dan terakhir adalah kondisi negara-negara Islam dewasa ini. Jika dahulu umat Islam diberkahi dengan kemakmuran dan kemajuan yang menyebabkannya menjadi “mercusuar” dunia, kini kondisi negara-negara muslim sangat memrihatinkan. Kebanyakan penganut agama terbesar kedua di dunia ini adalah warga negara dunia ketiga. Sebuah dunia yang belum mampu melepaskan diri dari keterbelakangan, kemiskinan, korupsi  dan kondisi buruk lainnya. Posisi mereka subordinat. Sumber daya mereka habis dieksploitasi dan  hanya menjadi penonton di tanah air mereka sendiri. Posisi tawar mereka kecil dan sering diabaikan dalam suara-suara di lembaga internasional.

Nilai-nilai Islami sesungguhnya sudah tercerabut dalam keseharian mereka. Buktinya, dalam sebuah studi pada 2014 lalu yang dilakukan Hossein Askari, seorang guru besar politik dan bisnis internasional di Universitas George Washington, Amerika Serikat untuk mengetahui negara manakah di dunia yang paling banyak mengaplikasikan nilai-nilai Islam hasinya ternyata di luar dugaan.

Hasil penelitian Askari yang meliputi 208 negara itu ternyata sangat mengejutkan karena tak satu pun negara Islam menduduki peringkat 25 besar. Justru, negara-negara seperti Irlandia, Denmark, Luksemburg dan Selaindia Baru mendapatkan nilai paling tinggi dan dinilai sebagai negara lima besar yang paling islami di dunia. Negara-negara lain yang menurut Askari justru menerapkan ajalan Islam paling nyata adalah Swedia, Singapura, Finlandia, Norwegia, dan Belgia.

Lantas, bagaimana dengan nasib negara-negara Islam? Malaysia hanya menempati peringkat ke-33. Sementara itu, negara Islam lain di posisi 50 besar adalah Kuwait di peringkat ke-48, sedangkan Arab Saudi di posisi ke-91 dan Qatar ke-111. “Kami menggarisbawahi bahwa banyak negara yang mengakui diri Islami tetapi justru kerap berbuat tidak adil, korup, dan terbelakang.  Faktanya mereka sama sekali tidak Islami,” ujar Askari.  Askari juga menambahkan, justru negara-negara Barat yang merefleksikan ajaran Islam, termasuk dalam pengembangan perekonomiannya. “Jika sebuah negara memiliki ciri-ciri tak ada pemilihan, korup, opresif, memiliki pemimpin yang tak adil, tak ada kebebasan, kesenjangan sosial yang besar, tak mengedepankan dialog dan rekonsiliasi, negara itu tidak menunjukkan ciri-ciri Islami,” lanjut Askari (kompas.com, 10 Juni 2014).

Kenyataan ini seakan menegaskan pernyataan Rektor Universitas Al-Azhar 100 tahun yang lalu, Syaikh Muhammad Abduh yang berkata, ” Aku pergi ke Barat dan melihat Islam, tetapi tidak ada umat Islam, aku kembali ke Timur dan melihat Muslim, tapi bukan Islam. ” Jika sudah begini, pertanyaan di awal tulisan ini sangat relevan untuk dicarikan jawabannya segera. Apa yang tersisa dari Islam untuk dibanggakan ?

@akhmad faizal reza


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment