Monday, December 19, 2016

Ahok, Simbol Perlawanan Terhadap Politik Dendam

DUNIA HAWA - Judul itu bukan pujian kepada Ahok, melainkan sudut pandang lain dalam membaca sebuah prahara. Mungkin masih banyak dari kita yang melihat persoalan Ahok secara parsial. Sehingga stuck pada doktrin ulamaisme, ustadisme dan habibisme, bahwa Ahok adalah penista agama.


Kawan-kawan sekalian, perlu disadari bahwa politik yang saat ini kita rasakan adalah prodak sejarah. Seperti politik, sejarah sebuah negara berkaitan dengan politik di negara-negara lain.

Tidak ada satupun sejarah sebuah negara atau sejarah tokoh yang eksklusif nasional. Politik juga demikian, pasti memiliki keterkaitan dengan agenda politik di luar negara tersebut. Hal ini membantu kita membaca taste politik dalam negri.

Kira-kira politik rasa apa yang sedang dimainkan dalam negeri tercinta ini?


Semenjak Jokowi memimpin, entah karena ketegasannya kepada sang mantan atau kepada para koruptor lokal atau karena keangkuhannya menghadapi deputi US. Perang saraf pun dimulai, Jokowi dirusak citranya.

Jokowi menghadapi sengatan stigmatisasi yang mengalir dari nadi publik. Walaupun pada tanggal 9 bulan 6 kemarin, Setiyardi Budiono selaku pemred tabloid Obor Rakyat meminta maaf kepada Jokowi atas perlakuannya merusak Citra Jokowi dengan menstigma masyarakat bahwa Jokowi adalah keturunan Cina dan seorang komunis.

Virus chinaphobia dan komunisphobia ini adalah suplemen politik, virus itu sensitif, mudah membakar objek, karena memang secara historis telah dibius anasir-anasir dendam.

Politik kita rasa dendam. Karena cara ini dianggap sukses menyulut emosi publik, seterusnya akan diberlakukan lagi. Meski trick yang digunakan tak melulu fitnah murahan seperti yang Obor Rakyat lakukan.

Sentimen Agama yang berhasil merawat kebencian, diklaim sebagai arena dansa politik dendam


Ahok melakukan blunder politik, Ahok membuat susah banyak orang, Ahok menjadi berita harian kita, Ahok menyita perhatian dunia. Ahok bukanlah Ahok, Ahok hanya pijakan ideal untuk merenggut tahta kepemimpinan Jokowi.

Tidak ada politik yang eksklusif nasional. Wajar bila ada kecurigaan bahwa sang “mantan” aktif men-download tutorial politik yang diterapkan oleh US untuk menjatuhkan Suriah.

Atau bisa jadi, sang “mantan” adalah deputi terselubung US yang aib-aibnya telah terekam dalam data base central politik dunia. Sehingga bisa dengan mudah diperalat untuk mendukung aneksasi US.

Di lain sisi, ormas-ormas yang saat ini sedang harap-harap cemas, sukses memainkan peran politik sebagai tokoh sentral pemilik kunci surga. Walaupun, mereka riskan dinobatkan sebagai persona non grata.

Ahok berada dalam lingkaran politik dendam yang serius, iapun terancam menyandang gelar sebagai persona non grata juga. Adapun kenyataan menceritakan hal lain. Ahok masih dicintai banyak masyarakat, bahkan yang di luar Jakarta.

Perbedaan metode menimbulkan peperangan mode. Politik kebencian dibalas aksi kesetiaan


Waktu ketua dewan pers menyarankan sidang Ahok tidak disiarkan live, Alifurrahman (CEO seword.com) memberikan reaksi logis. Beliau mempertanyakan alasan mengapa sidang Ahok harus ditutup.

Alifurrahman juga menyinggung perihal dampak bila sidang Ahok disiarkan live, akan mengundang banyak respon positif terhadap Ahok.

Begitu pula saya telah menyadari, bahwa ini adalah upaya untuk merawat kebencian publik yang selama ini menjadi moderasi seluruh gerak perlawanan terhadap Ahok.

Lalu apa yang Ahok lakukan dalam sidang yang pada akhirnya disiarkan live? Ia melontarkan pembelaan diri dan ditutup dengan derai air mata. Yang oleh pasukan kuda dianggap “air mata buaya”.
Terlepas itu air mata buaya atau air mata kuda. Playing victim atau playing muslim, tidak penting. Ahok berhasil menarik perhatian publik nasional dengan daya dobrak yang lebih besar dari sebelumnya.
Bambang Winasis, seorang kepala rumah tangga. Mengupload video berdurasi 11menit 13detik di youtube dengan judul “JANGAN TAKUT HOK… GUE GAK AKAN BIARIN LU SENDIRIAN… GUE BAKAL TEMENIN LU MASUK PENJARA”

Video yang diupload tanggal 15 desember kemarin, melukiskan kepedihan hati seorang Bambang Winasis karena merasa ada ketidakadilan menimpa Ahok.


Bambang menantang pemerintah, khususnya kepolisian. Apabila Ahok dipenjara karena ucapannya itu. Iapun harus dipenjara karena telah mengucapkan kalimat seperti yang Ahok ucapkan.

Di sini saya tak melihat ada sesuatu yang buruk akan menimpa Bambang Winasis, dan saya juga berharap Pak Bambang tidak masuk penjara karena ucapannya.
Yang membuat saya tergerak untuk mengangkat isu ini adalah dorongan nurani yang perlahan teriris gelombang haru karena ternyata, tak selamanya politik dendam harus dibalas dendam. Tak selamanya politik kebencian harus dibalas benci.

Akan ada Bambang Bambang selanjutnya yang siap menjadi martir keadilan untuk menampar wajah para koruptor di tubuh pemerintahan, serta “mantan” yang hatinya dibaluri dengki dan tentunya para fundamentalis bejat yang menyembunyikan hasrat politik di balik daster dan surban.

Telah tiba suatu masa di mana “politik dendam” dibalas dengan “politik cinta keadilan”.

Begitulah kura-kura

@habib acin muhdor


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment