Monday, December 12, 2016

1212 Berdoa Minta Keadailan, Ahok Disidangkan Bentuk Keadilan yang Dipaksakan

DUNIA HAWA - Hari ini adalah hari yang penuh berkah. Pasalnya, subuh-subuh banyak kaum muslimin yang memenuhi masjid. Ndak tau, apa memang setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad saw orang-orang jadi rajin shalat Subuh di masjid lalu setelahnya masjid jadi sepi lagi. Atau, dikarenakan hari ini Ahok akan disidang. Dan semua "gara-gara Ahok." 

Betul tidak? *pake logat sunda*


Pak Anies Baswedan yang terkenal dengan kesantunan dan keakademisannya dalam berbicara, sempat menyampaikan beberapa pesan. Pesan yang sangat santun dan halus. Pak Anies tak bisa blak-blakan kayak Ahok. Ndak kebayang deh kalau Pak Anies jadi gubernur dan berhadapan sama preman-preman berdasi di Jakarta. Mungkin akan terlihat membosankan kayak telenovela. Tapi, Haji Lulung sangarnya cuma sama Ahok sih.

Pak Anies menyampaikan, “Hari ini umat Islam mengharapkan ditegakkannya keadilan dan dihadirkannya rasa keadilan. Pesan ini adalah pesan yang dipahami universal, bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Kita berharap pesan damai yang selalu digaungkan.”

Umat Islam berharap ditegakkannya keadilan? Memang keadilan belum tegak? Ahok disidang pun adalah bentuk keadilan yang “dipaksa” untuk tegak. Saya katakan sekali lagi. Ahok disidang pun adalah bentuk keadilan yang “dipaksa” untuk tegak. Makanya, siapa yang tidak adil dalam kasus Ahok ini?

Pada kesempatan ini, saya akan jelaskan mengapa penetapan Ahok sebagai tersangka kasus penistaan agama sebagai “keadilan yang dipaksakan”. Pihak yang berwajib terpaksa mengadili Ahok hingga ditetapkan sebagai tersangka karena desakan massa. Ini mengantisipasi amukan massa yang terlanjur tersulut oleh pihak-pihak yang titik-titik. Tapi, setelah Ahok ditetapkan sebagai tersangka, orang-orang ini masih belum puas juga. Ibarat dikasih hati minta jantung.

Saya akan coba membahasnya dari segi hukum, meski saya bukan seorang pakar hukum.

Apa sih dasar hukumnya untuk kasus penistaan agama? Ahok dikenakan pasa 156 dan 156a KUHP. Padahal, pasal induk kasus penistaan agama bukan 156 KUHP, tapi UU no. 1 PNPS/1965. UU inilah yang mengatur soal urusan-urusan permasalahan agama di Indonesia. Ada 4 pasal di dalam UU tersebut yang perlu kita uraikan.

Pasal 1, berisi tentang hal-hal yang masuk ke dalam kategori “penistaan agama”. Berupa, menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia…yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Pernyataan Ahok di Pulau Seribu dikenakan pasal ini.

Jika seseorang terkena pasal 1, maka ia akan dikenakan pasal 2. Dikatakan, barang siapa yang melanggar ketentuan dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya..

Jika dengan peringatan keras si penista tidak kunjung jera dengan perbuatannya, maka berlaku pasal 3 yang menyatakan bahwa si pelaku akan mendapat pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Dan di pasal 4, terdapat aturan tambahan bahwa untuk melaksanakan pasal 3, harus lewat KUHP pasal 165a.

UU no. 1 PNPS/1965 ini pernah diajukan Judicial Review ke hadapan MK, tapi hasilnya ditolak. UU ini sangat dijaga oleh kelompok radikal secamam FPI. Sebab, dengan UU sakti ini mereka bisa seenaknya menekan kelompok-kelompok minoritas.

Kalau FPI dan ikhwan secingkrangannya begitu melestarikan UU ini, seharusnya FPI juga harus taat terhadap pasal-pasalnya. Kalau Ahok sudah ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama, atau Ahok terkenai UU no.1 PNPS/1965 pasal 1 , maka pasal 2 harus berlaku setelahnya. Ahok seharusnya ditegur dan diberi peringatan keras dari pemerintah agar tidak melakukannya lagi.

Tapi. Yang terjadi adalah Ahok langsung dikenakan pasal 4, yakni kenakan pasal 156a KUHP. Mengapa mekanisme hukumnya dilompat? Mengapa Ahok tidak diberi peringatan keras dulu? Bukankah aturan hukumnya sudah jelas. Bukankah FPI dan ikhwan secingkrangannya sangat mengkultuskan UU ini? Lalu, mengapa kini antum semua tidak mau ikut aturan tersebut?

Kalau memang aksi bela Islam yang berseri itu murni diperjuangkan untuk meminta keadilan, dan murni untuk memperjuangkan agama, mengapa mereka terus-menerus menuntut Ahok untuk dipenjara? Apa aturannya tidak jelas? Apa hukum harus tunduk di hadapan sekumpulan orang yang suka teriak-teriak takbir demi mendapat keadilan, tapi mereka sendiri tidak mau bersikap adil kepada Ahok.

Dan yang paling saya kagumi dari Ahok adalah ia tidak teriak-teriak atau protes sana-sini atas ketidakadilan yang menimpa dirinya. Bisa saja dong Ahok bilang, “Saya kok belum dikasih peringatan keras, sudah disidang aja, malah mau dipenjara?” Tapi, itu tidak dilakukan Ahok. Ia bisa saja mengadukan pra peradilan dengan menggunakan UU no. 1 PNPS/1965 bahwa ada ketidakadilan dalam kasusnya.

Ia tau bahwa sesekali kita perlu tunduk pada kemauan banyak orang, demi kedamaian negeri ini. Tapi, bukan untuk tunduk selamanya. Ada saatnya bahasa perlawanan pun harus kita suarakan dengan lantang. Negeri ini tidak berjalan di atas desakan massa. Kalau siapa yang paling banyak massanya bisa mengendalikan hukum di negeri ini, maka apa bedanya mereka dengan Fir’aun, Namrud dan Kaum Saba’?

Jadi. Saya ulang pertanyaan saya di awal. Siapa yang tidak adil dalam kasus Ahok? Dan siapa yang layak meminta keadilan dalam kasus Ahok? Jawabannya, akan menunjukkan seberapa waras diri anda.

Saya rasa, begitulah kura-kura

@muhammad nurdin


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment