Saturday, October 22, 2016

Emak versi Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby

Dialog Sang Anak Dengan Ibunya 



DUNIA HAWA - Saat itu saya masih duduk di kelas 5 SD di sebuah desa di kecamatan tetangga di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. SD di kampungku hanya sampai kelas 4. Jadi saya harus melanjutkan “kuliah SD” di desa lain supaya dapat ijazah. Tidak seperti biasanya, hari itu ibuku ngomong dengan nada dan mimik serius kepadaku. Kami ngobrol dengan menggunakan Bahasa Jawa tentunya karena ibuku tidak bisa Bahasa Indonesia (waktu itu) karena pernah sekolah saja nggak. Sekarang mungkin paham kali dikit-dikit he he. 

Kira-kira begini dialognya (saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia): 

Ibu: “Saya mau jualan bumbu-bumbu masak dan buka warung gorengan di rumah.”
Saya: “Jualan untuk apa to bu?” 
Ibu: “Ya supaya kamu dan kita semua sekeluarga bisa makan sedikit enak dan tidak perlu beli ke warung karena susah mencari uang.” 

Memang benar sebagai keluarga miskin, uang kami memang pas-pasan. Makan dengan lauk ala kadarnya pakai garam, sambel atau kuah sayuran. Kadang, kalau musim hujan tiba, kami (dan juga warga kampung) berburu ulat jati dan kepompongnya (enthung) untuk dijadikan lauk-pauk. Dulu, saya juga sering mencari kayu bakar di hutan atau daun pisang di kebun untuk saya tukar dengan gorengan tempe, tahu, "tempe gembus" (bongkrek), atau ikan teri di warung. Kadang kami menukar beras atau telur ayam dengan lauk-pauk ala kadarnya. Semacam “sistem barter” lah. 

Saya: “Apa ibu punya uang untuk jualan?”
Ibu: “Ada, tapi sedikit”. 
Saya: “Saya punya tabungan untuk ibu saja”.

Sejurus kemudian saya masuk ke kamar dan bongkar tabunganku yang saya simpan di kaleng dan saya tanam di bawah ranjang. Gubug kami dulu beralas tanah, jadi uang saku sekolah, uang jajan tontonan, atau pemberian orang-orang yang baik hati, sering saya simpan di kaleng dan saya tanam di bawah ranjang itu supaya tidak ketahuan orang lain. Saya tidak tahu persis berapa jumlah uang recehan Rp. 25, 50 dan 100 itu yang saya kumpulkan waktu itu. Yang jelas semuanya saya berikan ke ibu untuk menambah “modal bisnis” warung gorengan di kampung. 

Sejak itulah ibu jualan. Kalau belanja ke pasar di kota harus jalan kaki berkilo-kilo meter. Tapi ibu tetap “semangat 45”. Pulangnya almarhum ayah dulu jemput ibu sambil membawa keranjang dan pikulan untuk membawa belanjaan. Saya jarang jemput karena harus sekolah dan menggembala kambing di hutan. Sampai sekarang ibu masih jualan gorengan. Tidak mau berhenti. Meskipun hidupnya sudah saya jamin. Rumah pun sudah saya buatkan yang permanen, tidak gubuk reot lagi seperti dulu. Katanya badannya pegal-pegal kalau tidak jualan. Semoga beliau tetap sehat…

Jabal Dhahran, Arabia

Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA
Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment