Monday, October 3, 2016

Temuan Investigasi, Demo Tolak Reklamasi Jakarta Ternyata Dibayar



DUNIA HAWA - Kondisi Teluk Jakarta tak lagi seperti era 1990-an. Pada era itu, nelayan tradisional mengandalkan ikan perairan sebagai sumber utama mata pencaharian. Kini keadaan berubah sangat cepat.

Limbah pabrik maupun limbah rumah tangga telah merusak habitat laut. Kelompok nelayan tradisonal yang diketuai Iwan mengungkapkan hal itu saat ditemui di perkampungan nelayan Muara Angke, pekan lalu.

Pada 1997, kata Iwan, kelompoknya yang beranggotakan empat nelayan, bisa membawa pulang empat kwintal ikan setiap kali melaut. “Kami berangkat pukul 16.00 WIB dan pulang pukul 03.00 WIB. Hasilnya rata-rata empat kwintal,” terangnya.

Saat itu sangat mudah menangkap ikan. Mereka cukup menggunakan alat sederhana, jaring selebar 10 meter. Jaring tersebut mereka rajut dan perbaiki sendiri. Kini dengan alat tangkap ikan yang sama, penghasilan para nelayan tradisional sangat menurun. Setiap kali melaut hanya mendapat puluhan kilo ikan.

“Sekarang ini hasil tangkapan tidak menentu. Kalau sedang beruntung bisa menjual ke pasar pelelangan ikan dengan harga Rp1 juta. Namun rata-ratanya hanya dapat Rp600 ribu. Itulah yang kami bagi empat dikurangi biaya solar,” urainya.

Bukan hanya pendapatan nelayan yang anjlok, area perairan penangkapan ikan juga telah berubah. Di era 1990-an, mereka mencari ikan hanya beberapa mil dari garis pantai. Sekarang, para nelayan tradisional harus membawa perahu hingga 25 mil atau sekitar 40 kilometer ke tengah laut.

Nelayan tercemar


Sedikit bergurau, Iwan mengungkapkan sebenarnya bukan hanya Teluk Jakarta yang telah tercemar limbah, sejumlah nelayan juga sudah dicemari orang-orang luar yang mengajak mereka berdemo menolak reklamasi.

"Mereka demo atas pembangunan pulau-pulau buatan di Teluk Jakarta. Saya tanya anak buah yang beberapa kali ikut demo apakah kamu ngerti tujuan demo itu, dia menggelengkan kepala," cetusnya.

Menurut Iwan, anak buahnya ikut demo memprotes reklamasi karena diprovokasi rumah mereka akan digusur. Ketika diajak ke DPRD DKI dan Kantor Kementrian Kemaritiman, mereka ayok saja. Apalagi pulang demo dikasih uang Rp100 ribu per orang," tuturnya.

Pekan lalu, Media Indonesia menyambangi perkampungan nelayan di Muara Angke, yang menjadi basis demonstran. Sejumlah nelayan kompak mengaku membiayai rekan-rekan mereka berunjuk rasa dengan swadaya.

“Biaya kami tanggung sendiri. Kami patungan Rp20 ribu per orang,” kata nelayan berkulit sawo matang cenderung legam mengenakan kaos abu-abu.

Dia menolak menyebutkan identitasnya. Nelayan lainnya, sebut saja Pardi, juga mengaku menyetor uang Rp20 ribu untuk membiayai aksi demonstrasi. Ketika diajak mengkalkulasi biaya bus, makan, dan rokok, uang hasil swadaya nelayan jauh dari cukup; mereka langsung terdiam.

Ketidakjujuran nelayan itu tergambar dari pernyataan pelayan warung makan di perkampungan nelayan Muara Angke. Menurut wanita paruh baya itu, nelayan yang ikut aksi unjuk rasa mendapat imbalan uang dari koordinator.

 “Yang membagi-bagikan duit koordinator nelayan di sini. Setahu saya, koordinator dapat duit dari orang luar,” katanya. Untuk sekali aksi, setiap nelayan mendapatkan imbalan Rp100 ribu ditambah sebungkus rokok dan makan siang. "Angkutan sudah disiapkan."

Pelayan rumah makan mengetahui adanya imbalan karena nelayan cerita macam-macam di warung tersebut. Nelayan juga menceritakan biaya mencetak spanduk sepanjang tiga meter seharga Rp270 ribu.

Perbincangan dengan perempuan itu tiba-tiba terhenti. Dua pria, satunya berkulit kuning langsat bersama temannya berkulit sawo matang, tiba-tiba masuk ke warung makan.

Pria berkulit kuning langsat meminta pelayan warung berhenti berbicara. Ia juga meminta Media Indonesia meninggalkan perkampungan nelayan Muara Angke.

“Saya tahu maksud kedatangan Anda ke sini. Silahkan pergi sekarang, kalau tidak saya tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi," sergahnya. Demi keselamatan, Media Indonesia meninggalkan perkampungan nelayan Muara Angke.

Pendatang


Tempat Pelelangan Ikan Muara Angke menjadi pilihan nelayan dari berbagai wilayah sepanjang pantai utara Jawa bahkan Sulawesi dan Kalimantan untuk membongkar hasil tangkapan mereka di sana.

Sebagian dari mereka kemudian memilih menetap di sana meski tak memiliki KTP DKI. "Yang paling banyak menetap yaitu nelayan dari Indramayu dan Cirebon,” terang Hasyim, nelayan Muara Angke.

Berdasarkan catatan Dinas Kelautan DKI Jakarta pada 2009, jumlah nelayan di pantai utara Jakarta sebanyak 12 ribu orang. Pada 2012 sempat mencapai 15.670 orang. Namun pada 2013 menyusut menjadi 6.937 orang. "Jumlah nelayan ber-KTP DKI lebih banyak 10% ketimbang nelayan pendatang yang tinggal di Muara Angke," imbuhnya.

Menurut Warnita, nelayan Muara Angke, jumlah nelayan terus berkurang disebabkan limbah dan pendangkalan. “Kapal nelayan tradisional kan terbatas hanya 1 - 2 gross ton. Artinya kapal ini tidak bisa sampai ke tengah laut dengan sarana yang terbatas. Karena itu, banyak yang beralih ke pekerjaan lain."

Warnita menyatakan peralihan pekerjaan nelayan tidak terkait reklamasi, murni karena limbah serta pedangkalan. Selama ini masyarakat nelayan tidak terganggu dengan reklamasi pulau.

Hanya saja ada isu penggusuran yang terus menerus dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu. "Kami tidak terganggu asalkan tidak ada penggusuran. Isu-isu penggusuran membuat masyarakat nelayan panik," tutupnya. 

[sru/t-1 mediaindonesia]


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment