Monday, October 10, 2016

Ahok Al Maidah ayat 51

Alumni UMSU "Bela" Kasus Penistaan Agama Ahok, Ini Penjelasannya


DUNIA HAWA - Kisruh yang menggelayut penduduk DKI Jakarta jelang Pilkada, terlebih dengan munculnya kasus dugaan penistaan agama terhadap ayat suci Alquran yang diucapkan calon petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, terus menuai tanggapan dari berbagai elemen masyarakat.

Sejumlah kalangan terus berupaya meredam, agar masalah yang mulai bertendensi ke SARA ini, bisa cepat berakhir demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di balik pesta demokrasi di ibukota yang merupakan miniatur negeri ini. 

Upaya ini juga yang diungkapkan sekelompok Muslim, di antaranya Ramdani Bin Muhammad Hefni sebagai apresiator pada komunitas SMS (Saya Muslim Suka) Ahok, yang turut memberi pandangan terkait persepsi yang dikhawatirkan mengganggu stabilitas nasional.

Pria kelahiran Dalu Sepuluh, sebuah desa di Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara, ini menyebut, saat ini Ahok sudah diposisikan menghina umat Islam.

"Saya hanya ingin mengajukan pemikiran sederhana, apakah memang sudah seharusnya Ahok dipersepsikan demikian? lantas bagaimana saudara saya sesama Muslim yang mengaku lebih Islami namun sesungguhnya justru tidak menyadari bahwa mereka masih luput dalam memahami hakikat keislaman itu sendiri?" kata Ramdani dalam siaran persnya diterima wartawan, Minggu  (9/10/2016).

Justru, kata Ramdani, adalah sikap yang setara dengan yang disebut melakukan penghinaan itu sendiri.

"Idealnya, bukan penudingan yang dilakukan, sebab tidak seorangpun yang bisa mengklaim mengetahui niat seseorang, terlebih seperti dalam kaitan yang dituduhkan kepada Ahok," sebut alumni Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) itu.

Apalagi, pembandingnya Ahok sendiri sudah menyatakan dia tidak berniat melecehkan Islam, saat menyampaikan Surah Al-Maidah ayat 51 di depan saudara kita warga kepulauan Seribu.

"Karena Ahok sudah menjelaskannya, maka saya berani menilai bahwa dia hanya sekadar melakukan apa yang dikategorikan dalam kategori Qiyas," tutur Ramdani.

Ramdani mengatakan, perlu umat sesama saya memahami bahwa beberapa ulama berpendapat tentang bagaimana hukum atas seorang yang beragama Nasrani/Yahudi dari sisi ayat suci Al-qur'an seperti yang juga banyak dipahami oleh pendahulu kita.

Menurut istilah ahli ilmu Ushul Fiqh, qiyas adalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya.

"Maka apabila suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dan illat hukum telah diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui illat hukum, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu dalam suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada kasus itu, maka hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya berdasarkan atas persamaan illatnya, karena sesungguhnya hukum itu ada di mana illat hukum ada," jelas Ramdani.

Menurutnya, pada prinsipnya hukum Islam itu luwes, tidak kaku, selalu memberi alternatif. Luwesnya hukum Islam terlihat dari dinamis antara dua sisi hukum, yakni hukum Azimah yaitu hukum dasar yang berlaku menurut asumsi umum dan hukum Rukhshah, yakni hukum yang timbul sebagai kemudahan akibat adanya sebab-sebab tertentu.

"Misal, bagaimana hukum makan dan minum di siang hari saat Ramadhan. Bagi mereka yang melihat dari sisi hukum Azimah pastilah jawabannya mengatakan haram karena Al-Qur'an mewajibkan puasa Ramadhan. Tetapi bagi yang melihat dari sisi Rukhshah akan menjawab halal bagi orang sakit atau musafir, atau umurnya sudah sangat lanjut (udzur)," bebernya.

Untuk dapat melihat batas-batas hukum Azimah dan Rukhshah, dikatakannya kembali, agar pemahaman dalil tidak kaku, maka minimal harus mengetahui metode memahami dilalah (arti yang ditunjuk) ayat, dilengkapi dengan pengetahuan sejarah dan ilmu bantu sesuai konteks penerapan ayat.

Namun untuk bisa sempurna memahami dalil-dalil syariat, minimal ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yakni teks (nash ayat/hadits), makna (illat, hikmah, sebab, syarat dan mani, yang berkenaan dengan ayat/hadits) dan ketiga ialah konteks penerapan dalil (tathbiq atau tanfidz).

TQS. 3. Aali 'Imraan: 28 berbunyi  "Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (Pemimpin atau pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu)."

Lalu TQS. 4. An-Nisaa': 144 menyatakan "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?"

Lantas TQS. 4. An-Nisaa': 138-139 menyatakan "Kabarkanlah kepada orang-orang munafiq bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah."

Jika diperhatikan secara cermat atas teks (terjemahan) semua ayat di atas maka pada tiap ayat ditemukan kalimat "Dengan meninggalkan orang-orang Mukmin" (من دون المؤمنين) pada tiga ayat tsb.

Dalam ilmu tafsir dan ushul fikih, kalimat itu disebut "illat" atau (sebab yang jadi syarat kualifikasi) dilarangnya memilih pemimpin non Muslim, yaitu, jika kita yang Muslim meninggalkan orang-orang Mukmin.

"Tetapi kalau memilih non Muslim tanpa meninggalkan orang yang Mukmin (salah satu dari mereka, pemimpin utamanya sendiri atau wakilnya adalah Muslim) maka halal. Itu karena di dalamnya tetap ada orang Mukmin, sehingga kita tidak bisa disebut meninggalkan orang Mukmin," akunya.

Saat ini, kata Ramdani, tepatnya jelang masa Pilkada DKI Jakarta, dilalah (pengertian) dari kata Waliy, (jamaknya auliya') yang dipahami di zaman Nabi dan Sahabat sudah sangat jauh berbeda dengan pengertia pemimpin dalam dunia moderen.

"Karena itu kita perlu mengetahui sejarah perubahan makna dari pemimpin agar tidak kaku dalam penerapan (tanfidz) ayat. Di zaman Nabi dan Sahabat pemimpin (Kaisar dan Raja atau Khalifah) adalah berkuasa secara absolut (mutlak). Sementara di zaman moderen, pemimpin sudah bersifat kolektif, berdasarkan teori Trias Politika, kekuasaan terbagi menjadi tiga (eksekutif, legislstif dan judikatif)," terangnya.

Jadi, menurut Ramdani, tidak ada lagi pemimpin berkuasa mutlak seperti masa Nabi dan Sahabat, karena sekarang dikontrol oleh kekuasaan lain yang saat ini terbukti dipimpin dan beranggotakan mayoritas Mukmin.

"Sehingga tidak perlu khawatir, jika suatu saat ada pemerintahan daerah dipimpin non Muslim, karena tetap dikontrol oleh banyak orang yang umumnya dipimpin oleh Mukmin. Jadi untuk zaman sekarang, dalil itu perlu dipahami mendalam untuk diterapkan sesuai konteks zaman yang sudah berubah dan berbeda dengan konteks zaman Nabi" ungkapnya kembali.

"Yang terakhir, pemahaman dilalah lafazh kafir juga perlu diketahui debgab benar. Masih banyak ustadz kita tidak dapat membedakan antara kafir dan ahli kitab, sehingga semua non Muslim, termasuk ahli kitab dicap kafir secara mutlak. Padahal ahli kitab itu tidak mutlak (tidak semuanya) kafir. Yang kafir mutlak itu ialah mereka yang tidak percaya adanya Tuhan (Mulhid) atau percaya banyak Tuhan (musyrik)," beber Ramdani. 

[dinamikarakyat]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment