Friday, September 16, 2016

Tour de Mecca: Catatan “Antropologi Haji” (1)


DUNIA HAWA - Akhirnya selesai juga menjalankan ritual ibadah haji yang melelahkan bersama jutaan umat Islam dari berbagai pelosok penjuru dunia. Karena “warga” Saudi, saya mendaftar haji sesuai dengan peraturan pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang sejak dua tahun terakhir ini memberlakukan “sistem online” dalam pendaftaran haji yang dikoordinir oleh Kementerian Haji. Sebelumnya, pendaftaran haji dilakukan secara manual melalui agen-agen travel haji/umroh di seluruh pelosok Saudi yang tidak jarang terjadi manipulasi data (misalnya jumlah kuota yang melebihi jatah resmi), penyuapan demi mendapatkan selembar “surat resmi ijin haji” (tashrih) serta korupsi dana haji terutama oleh agen-agen travel nakal. 

Maka dengan sistem online ini, bisa meminimalisir atau bahkan memangkas potensi penyuapan dan korupsi tadi, sebuah mekanisme pelayanan dan “sistem kebijakan satu pintu” yang saya kira perlu dicontoh oleh negara-negara lain. Jika sebelumnya, ada banyak agen-agen travel haji/umroh “abal-abal” dan “ilegal” musiman yang hanya muncul setahun sekali setiap musim haji, maka dengan sistem online ini, semua agen tertata rapi karena hanya “agen resmi”, profesional, dan betul-betul eksis saja yang diperbolehan mengelola jamaah haji. 

Ada agen travel haji yang hanya mau menerima “jamaah haji plus” (kelas bisnis/first class), ada pula yang mau menerima “jamaah haji minus” (kelas ekonomi) maupun “jamaah haji plus”. Kelas ini semua tergantung dari biaya. Biaya haji bervariasi (tergantung kelas tadi). Tahun ini sepertinya biaya terendah adalah SR 3,000 (sekitar Rp. 12 juta). Sementara yang tertinggi bisa mencapai SR 13,000 (sekitar Rp.50 juta). Besar-kecilnya biaya haji ini semua sudah ditentukan oleh pemerintah dan diketahui oleh publik jadi tidak ada yang bisa tawar-menawar dan akal-akalan lagi. Semakin mahal kita bayar, semakin besar/banyak fasilitas yang diterima (fasilitas makanan, minuman, kualitas tenda, dlsb). Begitu pula sebaliknya. 

Saya (dan istri) mendaftar di “kelas bisnis” karena itu cukup nyaman: tenda permanen dengan kasur-kasur mini nan empuk dan ber-AC dan dekat dengan stasiun KA (baik di Mina maupun Arafah). Fasilitas makanan dan minuman juga melimpah ruah. Tiap hari tersaji menu makanan ala Mediterian (seperti kabsah/biryani dengan daging domba atau ayam panggang). Tenda penuh dengan kulkas-kulkas besar yang berisi aneka minuman (coca-cola, pepsi, 7 up, mirinda, aneka jus, bir tanpa alkohol, aneka minuman mineral, dlsb) serta beragam jenis “es krim” dan buah-buahan segar. Kamar mandi dan toilet juga banyak, bersih dan rapi. Agen haji yang mengurus rombongan kami, Al-Kaaf (seperti foto di bawah ini), memperkerjakan para petugas yang siap-siaga 24 jam merawat kebersihan toilet/kamar mandi dan supply makanan/minuman sehingga membuat semakin nyaman berhaji. 

Karena “tuan rumah”, maka kami tidak perlu berlama-lama tinggal di Makah. Sekitar seminggu saja (plus perjalanan pulang-pergi Dhahran-Makah) yang kami butuhkan. Rombongan kami (sebagian besar warga Saudi, Arab non-Saudi, Pakistan, dan India dan rata-rata para ekspat profesional) berangkat dengan bus menyusuri padang gurun pasir Arabia yang kering, gersang tapi aduhai. Jangan bayangkan naik bus dari Banyuwangi ke Jakarta misalnya yang penuh dengan tumbuhan hijau, warung, dan rumah-rumah pendduduk sepanjang jalan. Jarak dari kota tempat saya tinggal tinggal dengan Mekah sekitar 1,275 km. Kami tinggal di ujung timur Saudi, sedang Mekah di ujung barat. Butuh waktu sekitar 17-an jam dengan bus. Meski jauh dan melelahkan, tapi kami menikmati “perjalanan spiritual” ini

 (bersambung).


Prof. Dr. Sumanto al Qurtuby,MA
Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, dan Visiting Senior Research Fellow di Middle East Institute, National University of Singapore

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment