Wednesday, July 13, 2016

Mengenal Perdana Menteri Inggris yang Baru, Theresa May


Dunia Hawa - Inggris, sebagai negara pertama yang memutuskan untuk keluar dari European Union, mengalami gejolak yang cukup besar setidaknya dalam beberapa hari setelah voting Brexit diadakan. Setelah pada 23-24 Juni 2016 lalu kampanye Leave mengalami kemenangan tipis 52% banding 48% terhadap kampanye Remain, dunia internasional pun geger dengan keputusan ekstrim rakyat Inggris ini. Tidak heran bila berbagai fenomena menghebohkan terjadi setelah proses Brexit dipastikan akan berlangsung setidaknya dalam dua tahun ke depan. Salah satunya, nilai mata uang poundsterling melemah tajam hingga nilai tukarnya hampir lebih rendah daripada Euro dan US Dollar.

Tak hanya itu, menurut berbagai survei rupanya masyarakat Inggris sendiri tidak memahami bahwa efek Brexit akan sehebat ini. Hanya beberapa hari setelah kemenangan kampanye Leave, banyak aktivis yang berdemonstrasi menuntut diadakan referendum ulang. Sebagian rakyat Inggris prihatin jika Brexit akan membuat negara mereka secara tidak langsung akan 'semakin terpencil' dari negara-negara lain. Ketidakpahaman masyarakat Inggris tentang pentingnya EU secara sempurna juga menjadi alasan mengapa keluarnya Inggris dari EU menjadi sesuatu yang disesalkan banyak para British. Tidak heran, sebagai salah satu anggota penting EU, akan begitu sulit untuk melihat Inggris keluar dari EU.

Terlepas dari itu, Brexit menjadi bukti tak terbantahkan gagalnya David Cameron dalam menjadi nakhoda negara tersebut. Hal yang ironis adalah, referendum Brexit sebetulnya merupakan ide Cameron sendiri setelah kampanye meninggalkan EU dicanangkan oleh tokoh-tokoh parlemen Inggris seperti Nigel Farage dan mantan gubernur London, Boris Johnson. Cameron gagal menjadi pionir utama dalam kampanye Remain. Cameron sendiri yang mengadakan referendum (yang ia percayai akan ia menangkan dengan mudah), namun akhirnya ia dijegal sendiri oleh referendum yang diadakannya. David Cameron pun memutuskan untuk mundur dari posisi Prime Minister yang telah ia duduki sejak 2010 lalu.

Setelah David Cameron memutuskan untuk segera meninggalkan kantornya di 10 Downing Street, berbagai rumor tentang siapa penerus David Cameron beterbangan di telinga masyarakat Inggris. Pemimpin utama kampanye Leave, Nigel Farage dan Boris Johnson, sempat hampir dipastikan akan menggantikan Cameron. Berbagai nama lain seperti Andrea Leadsom pun ikut dikoar-koarkan. Namun akhirnya para Members of Parliament (MPs) memutuskan bahwa Theresa May dari Partai Konservatif akan menjadi PM Inggris berikutnya.

Siapakah Theresa May?
Theresa May adalah politikus Inggris yang telah terlibat dalam politik Inggris sejak lebih dari 30 tahun lalu. Salah satu pengalaman politiknya yang cukup membanggakan adalah menjadi Home Secretary mulai tahun 2010 silam, dan selanjutnya terkenal sebagai Home Secretary dengan masa jabatan paling lama dalam 60 tahun terakhir. Dan sebentar lagi ia akan menjadi perdana menteri wanita kedua yang akan menjadi kepala pemerintahan Inggris, setelah Margareth Thatcher, "The Iron Lady".

Terlahir dari seorang ayah yang merupakan rohaniawan Church of England atau Gereja Anglikan, May mengawali karirnya dengan pekerjaan yang "paling sederhana": mengatur surat-surat di kantor Partai Konservatif. May juga sempat menjadi konselor di London Borough of Merton, sebuah wilayah administratif di wilayah Merton, London. May juga sempat bekerja di Bank of England.

Pada awal tahun 90-an May sempat gagal dua kali mendapat kursi di House of Commons atau Majelis Rendah parlemen Inggris. Kerja kerasnya baru membuahkan hasil pada 1997 ketika ia akhirnya terpilih sebagai Member of Parliament mewakili Maidenhead. Sejak saat itu karir May terus menanjak. Ia beberapa kali menduduki posisi di Shadow Cabinets, termasuk bersama David Cameron, yang memberikan banyak alternatif kebijakan kepada parlemen Inggris. May juga sempat menjadi Chairman Partai Konservatif periode 2002-2003.

Setelah Coalition Government terbentuk pada 2010 dan Cameron terpilih menjadi PM Inggris, May dilantik menjadi Home Secretary. Sejak saat itu, ia terkenal sebagai sosok simpatisan pernikahan sesama jenis, berjuang menurunkan welfare benefits di Inggris, mengusahakan reformasi dalam House of Commons termasuk pengurangan jumlah anggota HoC, mengatur dengan baik peran kepolisian di Inggris, dan bersikap tegas terhadap imigran ilegal di Inggris.

May mungkin dikenal sebagai seseorang yang "tidak banyak bicara" dalam politik Inggris, namun ia berani bersikap tegas dalam menjalankan tugasnya. Sebagai contoh, May terkenal tegas terhadap imigran ilegal di Inggris. May dikenal cukup memberi kelonggaran bagi imigran liar untuk "mendeportasi dirinya senidiri" atau pulang sendiri ke negaranya, namun May juga tegas mengadili mereka yang tetap "membangkang", bahkan May sendiri sempat dicap xenophobic. Reputasinya sebagai Home Secretary bahkan membuatnya sempat disandingkan dengan kanselir Jerman, Angela Merkel.

Theresa May dalam pandangannya terhadap Brexit memang merupakan bagian dari kampanye Remain, namun May menegaskan bahwa ia tidak akan mengubah hasil referendum Brexit. May menganggap keputusan itu adalah keputusan yang final, dan May siap menanggung tanggung jawab super besar untuk mempersatukan kembali Inggris yang "sempat terpecah-belah" akibat referendum ini. May dapat dipastikan akan merombak kabinet Inggris dan segera mengatur sedemikian rupa sehingga politik Inggris kembali stabil.

Sepertinya May tidak akan mengaktifkan Pasal 50 dari Perjanjian Lisbon EU sampai tahun depan. Seperti diketahui, pengaktifan Pasal 50 itu akan memulai periode 2 tahun Inggris untuk perlahan-lahan keluar dari Uni Eropa. May dipandang perlu mengatur terlebih dahulu kondisi dalam negeri Inggris sebelum akhirnya bergulat dengan proses Brexit. Harapannya, reputasinya sebagai mantan Home Secretary mampu mengemudikan Inggris di masa depan, pasca Inggris keluar dari Uni Eropa, sehingga Inggris tetap bisa menjadi mitra EU dalam segala bidang sekalipun tidak lagi menjadi bagian dari EU.

Mampukah Theresa May menjadi "The Next Iron Lady" setelah Margareth Thatcher?

[michael hananta/ kompasioner]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment