Wednesday, April 13, 2016

Beda Ahok dan Pejabat Dulu dalam Pembebasan Tanah


Dunia Hawa - Waktu kecil sampe remaja saya tinggal di Jakarta Pusat, pusatnya Jakarta Pusat. Pindah dari sana tahun 1991 akhir karena kampung tempat saya tinggal digusur. Pembebasan tanah dilakukan Pemda DKI via PD Sarana Jaya. Penggantian tanah hanya diberikan sebesar Rp. 125.000/m. Itupun harus dibagi dua ke tuan tanah, kalo ternyata yang ditempati adalah tanah sewa. Kampung tempat saya tinggal dikelilingi jalan-jalan utama. Yang dipinggir/luar kampung adalah toko-toko besar, mayoritas dimiliki pedagang-pedagang keturunan Tionghoa. Sementara di dalam mayoritas adalah orang-orang miskin yang kadang tanahnya nggak lebih dari 30 m2. Itupun ditempatin oleh 3 KK kakak beradik. Nggak ngerti gimana bagi-bagi kaplingnya, mungkin tidurnya shift-shift an.

Jadi kebayang kan berapa besar nilai penggantian buat orang2 miskin itu? Saya lupa nilainya berapa kalo dikonversi ke harga barang lain, tapi yang jelas nggak cukup buat beli rumah lagi, walau rumah di Citayam atau Cileungsi. 

Perwakilan PD Sarana Jaya mengadakan pertemuan dengan warga untuk sosialisasi masalah penggusuran ini. Mereka katakan, bahwa harga penggantian tanah nggak bisa lebih, karena lokasi tempat tinggal kami akan dibangun rumah susun sederhana 4 lantai. Mama saya -yang waktu itu ditunjuk warga sebagai Ketua (semua teman-temannya di masa kecil)- berteriak "Pemerintah bohong!" . Nggak mungkin lokasi strategis itu dijadikan rumah susun sederhana. 
Pertemuan jadi ricuh karena warga berteriak menghujat wakil Pemda. 

Sejak itu, perseteruan nggak berhenti antara warga dan Pemda. Bolak-balik beritanya masuk ke koran-koran Ibukota karena pembebasan wilayah kami termasuk alot. Mama hampir tiap hari orasi di depan warga. Saya ingat beberapa pertanyaan Mama kalo lagi ngumpul di lapangan :
*Mau punya rumah sendiri nggakkkk?/Mauuuuu!*
*Mau terus berak di kali nggak?/ Nggakkkk!/Kalau mau berak di WC rumah sendiri, jangan ada yang ambil uang penggantian! Semua harus bertahan sampe kemauan kita diturutin. Kalau ada yang ngambil kita apainnnn? / Kita gaplok Taaaan!!! (Mama saya dipanggilnya Tante Kapin) / Oke, ingat ya. Kalau ada yang ngambil uang duluan, gue gaplok!!! / Oke Tannnn!!*

Kejadianlah ada yang berhasil di deketin Pemda, ngambil uang duluan. Tengah hari bolong rumah kami yang dijadikan posko rame sama puluhan warga. 
"Tante Kapin, ini si Botin kurang ajar!. Tadi ketauan dia ngambil uang nih Tan. Tabok nih Tan!" . Si Botin dudk di lantai, kepalanya nunduk ketakutan.
"Bener Tin elo udah ngambil? / Iya Tan :( / Plakkkk! (Si Botin digaplok beneran sama si Mama)" Kaki saya gemeteran, saya nggak pernah liat Mama mukul soalnya. Warga udah siap mau ngeroyok Botin, tapi Mama larang. Tapi seandainya ada yang ambil lagi, Mama ingatkan, nggak akan menahan kalau warga ngamuk. Sejak itu warga makin kompak. Pedagang2 Tionghoa juga mendukung supaya warga bertahan, bukan demi materi, tapi karena mereka melihat Pemda tidak adil. 

Perjuangan panjang warga (hampir dua tahun) akhirnya berhasil. Bukan dengan menaikkan harga, karena Pemda nggak mau kehilangan muka dan bisa memotivasi tempat lain untuk melawan. Mama diminta cari jalan keluar sendiri bagaimana caranya supaya setiap warga mendapat nilai penggantian sesuai tuntutan. Mama kasih solusi yang membuat pembebasan tanah tetap berjalan dan warga bisa dapat nilai penggantian yg cukup untuk beli rumah yang layak. Win win solution. 

Kembali ke Ahok. Ahok nggak menipu warga soal peruntukan wilayah yang dibebaskan. Beda dengan Pemda yang dulu. Rumah Susun Sederhana nggak jadi dibangun, malah jadi lokasi komersial dimana Hotel Amir dan Komplek Apartemen Oasis berdiri tegak menjulang. Ya, lokasi rumah kami di jalan Senen Raya. 

Ahok memberikan penggantian yang sangat layak tanpa diminta, tanpa warga harus melawan Pemerintahnya sendiri.

Ahok menjadikan wilayah yang dibebaskan untuk kepentingan warga Jakarta, bukan para pemodal berkantong tebal.

Jadi, saya heran kalau ada yang mempersoalkan. Barangkali ada sisi- sisi sosial yang saya nggak bisa lihat, tapi kebutuhan dasar rakyat soal "papan" yang termaktub dalam UUD 45 sudah dipenuhi Ahok. Mencari nafkahpun di tempat baru saya pikir nggak ada masalah, karena pemukiman baru masih di sekitar situ juga. Lagi jangan lupa, naturenya orang Indonesia bisa cepat beradaptasi dengan keadaan. Tetangga saya dari Senen pindah ke Citayam, ke Tangerang dll, jauh dari tempat asal, tapi sampai hari ini saya nggak denger ada yang mati kelaparan.

Setidaknya, Ahok sudah jujur terhadap warga dan memperlakukan mereka dengan manusiawi. Hal yang kita tidak temui dari Pemerintahan sebelumnya. 

God Bless You Koh Ahok, doa kami semua menyertai langkah Kokoh dalam membangun Jakarta. Pintu gerbang negara kita.

[susy rizky]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment