Friday, February 26, 2016

Perdagangan Agama




Pada abad pertengahan, Gereja Katolik pun pernah mendapatkan kritikan keras karena dituding menjual indugensi atau surat pengampunan dosa. Prakteknya terjadi pada saat pembangunan gereja st petrus, dimana Paus Leo memberikan indulgensi kepada mereka yang menyumbang untuk pembangunan gereja.

Sayangnya, pemberian pengampunan dosa yang diyakini menjadi otoritas gereja sebagai perwakilan Tuhan, akhirnya diperjual-belikan. Begitu murahnya pengampunan dosa, sehingga para tuan tanah pada waktu itu nyaris menjadi suci kembali sesudah mereka banyak melakukan perbuatan kotor. Merasa berdosa ? Beli saja indugensi atau surat pengampunan dosa.

Itu baru dari sisi dosa yang bisa dijual. Dari sisi pengajar agama-pun laku untuk dijual.

Sudah bukan “kabar baru” lagi bahwa para ustad, para pendeta dan pemuka agama lainnya sering memanfaatkan agama untuk mencari kenikmatan dunia.

Agama menjadi barang dagangan, barter dengan materi. Mereka sudah pandai berhitung,”gua dapat apa..”. Untuk menyebarkan kebaikan, ada patokan biayanya. Ulama juga manusia, punya raisa punya istri, jangan samakan dengan pisau belatiii..

Nah yang lucunya, ada aja pembelinya. Mereka terkadang bukan membeli “nilai” tetapi lebih membeli gengsi. Mereka rela membayar berapa saja, asal si ustad yang sering masuk tipi itu datang ke tempat mereka. Gengsi perkumpulan pengajian pun naik. Sekalian sesudah ceramah selesai, diputarlah arisan dan jualan tas juga berlian. Akhirnya agama masuk ke wilayah industri.

Majelis Ulama pun tidak mau ketinggalan. Ini zaman semua harus di kapitalisasi. Panggilan ceramah hanya masuk kantung pribadi, karena itu harus dibuat sesuatu utk keberlangsungan organisasi.

Maka dibuatlah konsep sertifikat halal.

Sertifikat halal ini sebenarnya secara konsep bagus, untuk memberi tahu umat muslim supaya tidak terjebak pada sesuatu yang sifatnya haram. Ulama punya tanggung jawab besar untuk umatnya. Begitulah kira2 konsep dasarnya.

Tetapi pada prakteknya, uang mengalahkan segalanya. “Label” menjadi barang dagangan yang menguntungkan. Harganya disesuaikan hukum permintaan dan penawaran. Siapa yang bayar paling banyak, maka dia semakin halal. Halal-pun ada “masa berlakunya”, kalau tidak diperpanjang maka “auto haram”.

Jadi, sebelum makan di restoran, coba tanyakan dulu ke pemiliknya, ini halal sejak kapan ? Jangan2 makan jam 12 siang, jam setengah satu sudah haram. Bisa koprol kepala berbie.

Agama juga bisa dijual untuk menutup yang haram. Waktu menjabat pakaiannya seksi, di pengadilan mendadak reliji. Alamak, Syahrini bisa telentang cantik di jalan raya kalau begini.

Kalau mau di list, entah berapa banyak agama diperdagangkan. Coba liat billboard besar2 bahwa ada acara berbau agama di satu tempat. Sesudah berkumpul massa, jepret jepret, fotonya pun di kirim ke negara donor, minta sumbangan.

Langka sudah yang beragama dengan jujur seperti bunda theresa, mahatma gandhi dan muhammad yunus, yang menjadikan agama sebagai ruang spiritual. Bagaimana Tuhan menjadikan mereka berfungsi bagi manusia lain, bukan manusia yang memanfaatkan manusia lain.

Agama itu berwujud menjadi secangkir kopi. Tergantung dia ditempatkan dimana, maka harganya bisa berbeda.

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment