Thursday, February 25, 2016

Aji Mumpung Ala Gibran



Tahu diri. Begitulah pandangan saya tentang Gibran Rakabuming, putra sulung Jokowi, ketika menonton Mata Najwa mallam ini.

Tidak banyak orang yang tahu diri, memposisikan dirinya dengan tepat, justru ketika semua kesempatan berada di depan matanya. Rata-rata orang menjadi serakah, bahkan ingin semua kesempatan itu diturunkan ke anaknya, kalau bisa dijadikan dinasti. “Mumpung bapak njabat lho, nak.. Kapan lagi kalau gak sekarang…”

Gibran malah jengah. Kejengahan itu dia ceritakan saat dia membuka usaha catering di Solo, pada waktu bapaknya menjabat sebagai walikota. Ia bahkan melarang marketingnya untuk mencari proyek catering di Pemkot.

Disaat kita biasanya mendengar jika proyek2 tertentu sudah dikuasai anak, saudara, istri, saudara istri sampe peliharaan istri pejabat, apa yang diakukan Gibran menjadi suatu anomali. Anomali karena kita berada di tengah kebiasaan sekian lama bentuk nepotisme di pemerintahan, mulai pusat sampe daerah, sehingga menjadi wajar kalau proyek tertentu dikuasai oleh keuarga pejabat.

Karena itu apa yang dilakukan Gibran mendapat apresiasi banyak orang. Ada sebuah kekaguman, sebuah ketidak-percayaan, bahkan sampai kesinisan menganggapnya hanya sebuah pencitraan.

Tapi Gibran jalan terus dibalik kejengahannya. Ia ingin melepaskan diri dari bayang-bayang bapaknya yang begitu besar. Setidaknya, buat dia posisi bapaknya bukan hal yang harus dibanggakan, tapi malah menjadi beban. Ia sulit menjadi lebih besar dari bapaknya dan tidak akan pernah mencapai itu. Beruntung, ia tidak memperdulikan hal itu, dan menjadi dirinya sendiri. Ia tahu diri dan bangga dengan apa yg dilakukannya sendiri.

Berapa banyak dari kita yang bisa melakukan itu ?

Yang pasti tidak banyak. Nepotisme sudah menjadi budaya di negara kita. Jangankan pejabat, bahkan dunia keartisan saja dipenuhi nepotisme. Yah kalau ditanya di depan kamera biasanya bicaranya gini, “Terserah anak saya mau jadi apa, saya tidak ingin memaksanya untuk menjadi artis..” Tapi anaknya selalu didaftarin untuk ikut shooting iklan sambil menonjolkan wajahnya di depan agen.

Meskipun apa yang dilakukan Gibran sudah terlalu biasa di negara maju, tapi setidaknya bolehlah menjadi contoh kita di negara berkembang ini untuk malu menggunakan fasilitas yang ada untuk kita banggakan di depan orang lain. Kita sudah terlalu lama bangga dengan hasil dan jarang bangga dengan proses.

Seperti Superman.

Superman tidak pernah bangga terhadap hasil kerjanya menumpas kejahatan. Ia hanya bangga ketika berhasil memecahkan rekornya sendiri berlari dan melepas jas kemudian terbang dalam waktu sepersekian detik.

Meski pernah ada waktu, saking cepatnya, ia lupa pakai celana dalam dan burung2 di awan mengejar separuh dirinya yang melambai2 girang… Begini nih kalau ga pake ngopi, ngelantur jadinya.

[denny siregar]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment