Friday, January 6, 2017

Adakah Ilmuan dari Arab Saudi?

DUNIA HAWA - Islamic Golden Age atau Abad Kejayaan dianggap sebagai masa puncak kejayaan Islam. Periode ini dipimpin oleh dua dinasti besar, Abbasiyah di Baghdad dan Umawiyah 2 di Andalusia. Ironisnya, tidak sedikit orang yang menganggap bahwa Ilmuan muslim abad pertengahan berasal dari negeri Arab, khususnya Saudi Arabia, padahal mayoritas mereka adalah non Arab atau Ajam.


Dalam banyak literatur pun penyebutan cendekiawan muslim disebut Arab Scientist atau Arab Scholar, dan hasil pemikiran mereka sering disebut Arabic science. Mungkin ini disebabkan karya-karya monumental Ilmuan tersebut ditulis dalam bahasa Arab, dan bukan bahasa Persia, meskipun mereka mayoritas berasal dari wilayah Persia.

(Wilayah Persia masa Dinasti Savawi  mencakup Iran, Azerbaijan dan Armenia, sebagian besar wilayah Georgia, Kaukakus Utara, Irak, Kuwait, dan Afganistan, serta beberapa daerah di Turki, suriah, Pakistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan, namun wilayah terbesarnya di Iran).

Ya, Islam memang lahir di negara  Arab, tepatnya di Makkah, Saudi Arabia. Setelah berkembang, banyak orang Ajam (non Arab), khususnya Persia berbondong-bondong mempelajari Al Quran dan bahasa Arab. Mereka inilah yang kemudian menjadi cendekiawan muslim kenamaan lalu menelurkan karya yang sangat fenomenal di bidang agama, sains, dan ilmu pengetahuan lain.

Dengan karya-karya mereka Islam dikenal luas hingga mencapai puncak kejayaan. Oleh karena itu sangat salah besar, jika ada anggapan Islam hanya identik dengan dengan Arab khusunya Saudi Arabia. Sebab, orang Persia lah yang paling memiliki andil besar atas kemajuan Islam.

Ibn Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah (versi bahasa Inggris) menjelaskan hal ini:

It is a remarkable fact that, with few exceptions, most Muslim scholars both in the religious and in the intellectual sciences have been non-Arabs [ajams/Persians]. Even if a scholar is of Arab origin, he is Persian in language and upbringing and has Persian teachers […]

Fakta yang luar biasa, dengan beberapa pengecualian, bahwa mayoritas cendekiawan Muslim, baik yang ahli di bidang agama dan sains adalah orang non-Arab [ajam/Persia]. Bahkan jika ia orang Arab, ia menggunakan bahasa Persia sebagai bahasa ibu dan guru nya pun adalah orang Persia.

[…]  the founders of grammar were Sibawayh [Persian from Shiraz] and, after him, al-Farsi and az-Zajjaj. All of them were of ajam (Persian) descent. They were brought up in the Arabic language and acquired the knowledge of it through their upbringing and through contact with Arabs. They invented the rules of (grammar) and made (grammar) into a discipline (in its own right) for later (generations to use).

Penemu ilmu  tata bahasa yaitu Sibawaih adalah orang [Persia, yaitu dari kota Shiraz] dan setelah beliau ada dua tokoh lainnya, yaitu al-Farsi dan az-Zajjaj. Mereka semua adalah Ajam (keturunan Persia). Mereka belajar bahasa Arab dan memperoleh pengetahuan melalui pendidikan dan interaksi dengan orang-orang Arab. Lalu mereka pun menemukan aturan (tata bahasa) dan membuat (tata bahasa) menjadi disiplin ilmu pengetahuan untuk (generasi selanjutnya).

Most of the hadith scholars who preserved traditions for the Muslims also were ajams (Persians), or Persian in language and upbringing, because the discipline was widely cultivated in the ‘Iraq and the regions beyond. (Furthermore,) all the scholars who worked in the science of the principles of jurisprudence were ajams (Persians), as is well known. The same applies to speculative theologians and to most Qur’an commentators. 

Only the ajams (Persians) engaged in the task of preserving knowledge and writing systematic scholarly works. Thus, the truth of the following statement by the Prophet [in Sahih Muslim] becomes apparent: “If scholarship hung suspended at the highest parts of heaven, the Persians would (reach it and) take it.”

Mayoritas Ilmuan  hadits yang mengumpulkan hadist (sebagai landasan umat Islam) adalah orang ajam Persia, atau penutur bahasa Persia sebab ilmu-ilmu tersebut banyak diajarkan disebarluaskan di daerah Irak dan sekitarnya. Begitu pula Ilmuan atau cendekiawan yang berkecimpung di bidang sains dan hukum juga orang non-Arab (berasal dari Persia)-seperti yang kita ketahui bersama-. Begitupun  para Ilmuan ilmu kalam dan tafsir.

Hanya  orang Ajam (Persia) yang terlibat melestarikan pengetahuan dan menulis nya secara sistematis. Oleh karena itu kebenaran hadist Nabi [dalam kitab Sahih Muslim] menjadi jelas: "Jika pengetahuan menggantung diam di bagian tertinggi dari surga, Persia akan (mencapai itu dan) mengambilnya."

Suatu kali dosen saya bahkan pernah berseloroh, “Orang Arab itu cenderung gengsi untuk belajar dari orang ajam (non Arab). Saat Islam sudah dikenal, orang-orang Persia jauh-jauh datang untuk mempelajari Al Quran  dan bahasa Arab dari para sahabat dan tabi’in, sampai kemudian mereka mahir dan bisa menjadi guru.

Karena watak orang Arab yang gengsi untuk belajar dari para Ajam (non-Arab), maka akhirnya orang Arab kalah dari orang Persia. Oleh sebab itu di abad pertengahan kita bisa melihat mayoritas Ilmuan berasal dari Persia. Beberapa Ilmuan memang ada yang dari bangsa Arab, tetapi hanya sedikit..

Dari sini kita bisa melihat bahwa Persia punya andil besar dalam membentuk sebuah peradaban besar pada abad pertengahan. Dan Iran, salah satu negara dalam wilayah Persia saat itu melahirkan banyak Ilmuan kenamaan, seperti Al Razi yang lahir di Teheran, Al Ghazali yang lahir di Thus, bahkan sahabat Rasul Salman Al Farisi, sang arsitek perang Khandaq lahir di Isfahan, Iran (sumber lain menyebutkan lahir di Kazerun, Iran), dan banyak Ilmuan lain yang berasal dari negeri Mullah ini.

Lalu bagaimana dengan Arab Saudi sendiri? Berapa jumlah Ilmuan Saintis abad pertengahan yang lahir dari negara ini? Di banyak literatur, Ilmuan abad pertengahan memang banyak dari bangsa Arab, tapi saya belum menemukan Saintist yang dari negara Saudi Arabia. Mayoritas mereka lahir di Iraq, Yaman, Suriah, dan sebagainya.

Oleh karena itu, menjadi sangat ironi ketika ada kelompok ekstrim yang berafiliasi dengan Wahabi (Ikhwanul Muslimin, Salafy, dan Hizbut Tahrir, dan Tarbiyah) yang disatu sisi menginginkan khilafah Islamiyah, kebangkitan peradaban Islam dan mengagung-agung kan negara Saudi Arabia. Sedangkan di sisi lain sangat membenci bahkan memusuhi negara Iran yang nota bene adalah adalah salah satu negara yang banyak melahirkan para Ilmuan terkemuka. Bukankah dari karya-karya mereka lah lahir  peradaban Islam itu sendiri?

Ya, kelompok inilah yang paling gencar menulis dan menyebarkan bahwa Iran adalah negeri yang bermazhab Syiah –pembantai muslim Sunni, dan  menggembar – gemborkan bahwa Syiah sesat dan sebagainya. Padahal dalam Konferensi Internasional di Amman, Yordania 4-6 Juli 2005 lalu ditegaskan kembali pada Organisasi Konferensi Islam 24-26 Juli 2006, yang menyatakan bahwa Syiah (Ja’fari, zaidiyah) adalah muslim yang tidak boleh dikafirkan.

Kebencian sangat akut ini juga seolah menutup mata bahwa Islam adalah sebuah peradaban besar yang dibangun oleh berbagai bangsa. Mereka yang membenci bahkan seringkali memfitnah dan sangat menyerang Ilmuan negeri sendiri, terlebih Ilmuan NU, karena di Indonesia NU merupakan organisasi terbesar dan menjunjung tinggi sikap nasionalisme.

Tak hanya merusak NU, mereka bahkan masuk ke organisasi kampus dan sekolah lalu mendoktrin pemuda-pemudanya untuk ikut dalam ideologi mereka, dan beberapa literatur menyebutkan mereka juga masuk ke lembaga MUI. Di media massa kelompok ini sangat aktif membuat akun akun palsu, membuat website dan menyebar berita hoax.

Saya sangat berharap pemerintah mengambil sikap tegas terhadap kelompok ekstrim ini. Sebagaimana di negera Arab lain, kelompok ini dilarang, sebab gerakan dan ideologi nya bisa membuat perpecahan di negeri tercinta ini, seperti yang telah terjadi di beberapa negara-negara Arab

@anisatul fadhila


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment