Friday, August 17, 2012

Susah Hamil, Kapan Harus Berpasrah?

Ketika belum juga hamil setelah beberapa tahun menunggu, Anda mulai rajin bertanya pada teman-teman bagaimana supaya bisa hamil. Terutama, pada mereka yang harus berusaha dulu supaya bisa hamil.
Dengan semangat membara, Anda mencari informasi mengenai dokter yang hebat, mengonsumsi makanan yang kabarnya bisa meningkatkan kesuburan, mempraktikkan saran-saran seperti mengganjal pinggul dengan bantal saat berhubungan intim, hingga mencari perawatan alternatif.

Ketika semua upaya tersebut tak membuahkan hasil, Anda masih penasaran. Semangat masih ada, harapan pun belum pudar. Anda dan suami melakukan serangkaian tes yang disarankan dokter kandungan dari segala penjuru kota, berhubungan intim pada tanggal-tanggal yang sudah ditentukan dokter, bahkan mulai menjalani laparoskopi untuk mengatasi masalah seperti endometriosis dan ketidaksuburan, hingga memulai proses inseminasi buatan (IUI, intrauterine insemination).

Setelah bertahun-tahun, tubuh mulai kelelahan karena harus mengonsumsi obat-obatan, dan pulang-pergi ke tempat praktik dokter. Usia semakin bertambah, dan Anda dibayangi kekhawatiran bagaimana bila harus menjalani masa tua seorang diri tanpa kehadiran anak. Semakin stres lagi karena suami tampaknya tak begitu antusias menjalani perawatan ini. Meskipun selalu menemani Anda berobat, ia sendiri sering lupa minum obatnya, atau tak berminat mencari-cari informasi mengenai upaya-upaya mendapatkan kehamilan.

Sekali lagi, Anda mendapati bahwa semua upaya tersebut tetap tak membuahkan hasil. Hasil test pack selalu negatif, meskipun Anda sempat terlambat datang bulan. Tabungan sudah terkuras untuk membiayai perawatan yang sangat mahal. Rasa kecewa sungguh menggerogoti pikiran dan hati.
Tawaran dokter untuk mulai menjalani prosedur in vitro fertilization (IVF) atau bayi tabung, tak begitu menggugah semangat Anda. Menjalani prosedur ini membutuhkan kesabaran dan mental yang kuat, mengingat prosesnya tidak mudah dan tidak sebentar. Anda harus siap beristirahat total dari pekerjaan untuk sementara waktu, agar hasilnya lebih maksimal. Tetapi, itu pun peluang keberhasilannya pun tidak 100 persen.

Anda mengenal orang-orang yang setelah memutuskan untuk pasrah, ternyata mereka bisa hamil. Tak sedikit pula yang berkisah bagaimana mereka tiba-tiba hamil setelah sebelumnya mengangkat anak. Benarkah demikian? Tetapi bila benar, apakah Anda kelak mampu mencintai anak adopsi itu seperti buah hati Anda sendiri?

Pada titik ini, kegetiran mulai melanda hati Anda. Anda ingin menyerah, ingin berpasrah seperti saran dari teman-teman, tetapi di sisi lain Anda juga masih ingin berusaha. Anda yakin bahwa harapan masih ada, apalagi dokter mengatakan Anda dan suami masih punya peluang untuk hamil. Tetapi kejenuhan yang luar biasa juga mendorong Anda untuk berhenti. Menyerah, sekarang juga. Tapi, haruskah? Kapan waktu yang tepat untuk berhenti berusaha?

Saat untuk menyerah
Sebenarnya, anggapan bahwa mengadopsi anak bisa meningkatkan kesuburan perempuan, dan membuatnya hamil, tidak selalu benar. Menurut laporan Resolve.org, persentase perempuan yang menjadi hamil setelah mengadopsi hanya sekitar 5 persen, sama besarnya dengan perempuan yang mengalami infertilitas dan tidak mengadopsi anak.

Bukti-bukti mengenai kisah-kisah tersebut memang terjadi, tetapi tidak bisa menjadi patokan, demikian menurut Dana S. Dunn, profesor bidang psikologi sosial dari Moravian College in Pennsylvania.

“Kita cenderung terlalu mengeneralisasi dari sejumlah contoh di mana orang berhasil melakukan hal-hal yang hebat. Bahayanya menafsirkan kesuksesan orang melawan semua kesulitannya adalah bahwa kita sebenarnya tidak tahu bagaimana upaya mereka mencapainya. Kita tidak sungguh-sungguh tahu langkah-langkah yang mereka jalani, bagaimana latar belakang mereka, atau dukungan yang mereka terima," papar Dunn, yang juga penulis Research Methods for Social Psychology ini.

Sebaliknya, riset justru membuktikan bahwa tekad yang terlalu kuat untuk hamil bisa menyebabkan depresi, bahkan melemahkan kekebalan tubuh Anda. Fakta bahwa Anda kesulitan untuk hamil lah yang membuat Anda stres. Karena itu, meskipun tidak ada standar pasti mengenai waktu yang tepat untuk berhenti berusaha, Anda bisa mempertimbangkan untuk menyerah ketika Anda mengalami hal-hal berikut:

* Anda mulai kehilangan kegembiraan dan semangat untuk memiliki anak, dan malah merasa sial, kalah, tidak berguna, patah hati, gelisah, frustrasi, stres berat... pendek kata, tidak bahagia.
* Menyadari bahwa hal ini memengaruhi hubungan Anda dengan suami, karena Anda merasa suami tidak sepenuhnya mendukung keinginan Anda. Anda jadi kerap bertengkar karena masing-masing merasa tidak punya tujuan yang sama. Padahal, suami mungkin justru tidak ingin terlalu memikirkannya agar tidak menjadi stres.

* Hubungan seks tidak lagi menyenangkan, karena Anda melakukannya dengan target mencapai kehamilan. Pada saat Anda dan suami sedang kecapekan, kewajiban ini menjadi sangat tidak menyenangkan.
* Salah satu dari Anda selalu mengatakan ingin sekali punya anak, tetapi menolak untuk menjalani perawatan kesuburan.
* Terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mencari informasi tentang kehamilan, ketimbang mengupayakan kehidupan yang bahagia dan menyenangkan.
* Menyadari bahwa tujuan untuk hamil, dan proses mencapainya, tidak lagi mencerminkan siapa Anda.
* Merasa kecewa karena telah menghabiskan waktu, energi, dan uang untuk bisa hamil, dan tidak ada hasilnya.

Pada intinya, ketika upaya Anda untuk hamil justru memberi pengaruh negatif pada kehidupan Anda, pada kondisi keuangan, dan mood Anda, mungkin inilah saatnya untuk mempertimbangkan opsi lain, seperti adopsi. Namun jika Anda masih punya motivasi yang kuat, dan bisa mengimbangi semua hambatan tersebut dengan kegembiraan akan hadirnya sosok mungil yang akan melengkapi kebahagiaan Anda berdua, Anda bisa jalan terus. Jangan menyerah, tetaplah berusaha!

sumber :

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment