Wednesday, May 17, 2017

Bapak, Ayo Pulang!


DUNIA HAWA Wahai bapak berjubah putih yang sedang sembunyi, kabarnya dirimu meminta perlindungan PBB atas kasus chat mesum asoy geboy yang menimpamu, ya? Wah… Saya hampir tak mampu berkata-kata saat mengetahui kabar ini. Benarkah demikian? Jika iya, berarti Bapak pasti merasa diri sedemikian menderitanya, yah. Bapak pasti merasa terzolimi dengan amat sangat dan tidak percaya lagi dengan hukum di negara ini. Sampai-sampai Bapak harus meminta sebuah lembaga internasional untuk campur tangan agar Bapak terbebas dari kasus murahan sarat syahwat itu.

Kabarnya Bapak sekarang sudah di Jenewa, ya? Sebuah portal berita online besar dalam negeri sih bilangnya seperti itu. Bapak diundang ke markas PBB untuk mempresentasikan apa yang sedang menimpa Bapak. Bahkan, ada pengacara internasional yang menawarkan jasanya untuk membela Bapak. Jika benar demikian, saya angkat topi, Pak. Lembaga internasional itu sungguh-sungguh memperhatikan Bapak. Itu semua apalagi kalau bukan lantaran Bapak orang yang sangat hebat. Hanya orang hebat yang bisa pimpin aksi ratusan ribu pendemo untuk menuntut penjara bagi seorang yang katanya menodai agama. Iya, kan Pak?

Bapak berjubah putih yang keren, sampai di sini saya kok jadi bingung, yah… Kenapa harus jauh-jauh ke Jenewa sih, Pak? Kan negara ini masih punya hukum untuk urusan Bapak ini. Buktinya waktu kemarin Bapak dan teman-teman Bapak menuntut Ahok dibui, melalui Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan, hukum negara ini menjatuhkan vonis dua tahun terhadapnya. Dua tahun penjara lho, Pak. Bukan dua tahun plesiran ke luar negeri. Vonis ini lebih tinggi dari tuntutan Jaksa yang menginginkan agar Ahok dihukum penjara setahun dengan masa percobaan dua tahun. Yang saya saksikan di layar televisi, segenap pendukung Bapak merasa sungguh bersukacita atas vonis terhadap Ahok itu. Salah satu orang dari massa Bapak yang berkumpul di luar ruangan sidang menyebutkan bahwa di negara ini hukum masih menggenggam erat supremasinya.

Kalau mengikuti logika bahwa hukum di negara ini benar-benar tegak sebagaimana yang tercermin dari putusan terhadap Ahok, seharusnya Bapak juga turut percaya jika kasus Bapak (yang konyolnya ga ketulungan) itu dapat diselesaikan dengan sebagaimana mestinya oleh hukum negara ini. Jangan ujug-ujug minta bantuan PBB, Pak. Memangnya Bapak itu siapa? Oh, saya lupa kalau Bapak itu orang hebat. Maafkan saya. Selain itu, sejauh pengetahuan saya yang dangkal ini, PBB belum pernah mengurusi kasus seputaran lendir. Atau mungkin Bapak memiliki informasi lain?

Meski Bapak tidak menyukai Ahok, ada baiknya Bapak belajar darinya. Si Ahok yang katanya menista agama itu menunjukkan bahwa dirinya patuh hukum. Puluhan kali sidang digelar, puluhan kali pula ia hadir. Mana pernah ada berita kalau sidang ditunda lantaran Ahok sakit atau sedang sibuk kampanye. Padahal siapa yang tahu kalau Ahok  kelelahan baik raga maupun jiwanya. Bapak tahu sendiri kan, ia tetap bekerja seperti biasa saat sidang yang berseri itu digelar. Saban pagi warga juga tetap bisa menemuinya di beranda Balai Kota.

Saat sidang menjatuhkan vonis dua tahun kepadanya, Ahok tetap menunjukkan kalau ia masih percaya dengan hukum negara ini dengan mengajukan banding. Ia ikuti proses hukum dengan patuh. Sementara Bapak? Jangankan sidang, tahap pemeriksaan di Kepolisian saja Bapak absen. Tahu-tahu Bapak sudah di luar negeri. Bisa dimaklumi kalau Bapak sedang menjalankan Umroh. Tapi sudah sampai di Malaysia, Bapak putar haluan lagi ke Arab Saudi. Kabar terakhir, Bapak sudah menjelajah separuh dunia hingga ke Swiss. Kenapa? Bapak takut ? Apakah Bapak gentar duduk berhadapan dengan si janda bahenol? Masa Bapak yang begitu garang saat berorasi itu tiba-tiba saja menciut nyalinya lalu tunggang langgang bagai kelinci hutan menghindari pemburu? Atau mungkin Bapak tunggu dijemput paksa? Saya jadi makin bingung sekarang. Yang memiliki sifat kesatria itu Bapak atau si Ahok, ya?

Ayolah, Pak. Pulanglah ke tanah air. Masa Bapak tega meninggalkan pesta sebelum usai. Euforia kemenangan yang telah Bapak raih itu masih jauh dari pudar, Pak. Harusnya Bapak sedang happy-happy dengan teman-teman dan segenap pendukung Bapak lantaran Ahok sudah masuk bui. Si Ahok itu benar-benar ditahan lho, Pak. Kalau tidak percaya, periksa saja di Mako Brimob. Bapak bisa lihat sendiri kalau Ahok tidak diperlakukan berbeda. Sel yang ia tempati itu tidak ada istimewanya sama sekali. Jangankan televisi untuk ditonton, alat komunikasi saja dia tidak punya.

Ayo, Pak. Mari pulang. Kalau seperti ini kesannya Bapak sedang sembunyi, lho. Kabur menyelamatkan diri karena terkuak screen capture dugaan percakapan Bapak dengan janda bahenol itu. Lihat saja media sosial, para netizen ramai-ramai mencap Bapak dengan sebutan pecundang. Bapak awalnya dianggap singa, namun tidak lebih baik dari tikus got. Berani kalau keroyokan saja, sementara bila sendiri lutut jadi bergetar tak karuan. Tunjukkan kalau Bapak itu seorang gentleman. Jika memang Bapak memang tidak pernah merasa dikirimi gambar-gambar tubuh bohai tanpa benang barang sehelaipun, buktikan di depan hukum negara ini. Bukankah Bapak juga punya barisan pengacara di sini? Jangan-jangan Bapak  merasa pengacara Bapak itu tidak mampu beracara membela Bapak sampai-sampai Bapak harus memakai jasa pengacara internasional.

Atau jangan-jangan screen capture itu benar, ya? Jangan-jangan percakapan sarat syahwat itu benar diketikkan oleh jemari Bapak sendiri dan foto-foto yang mengundang birahi itu juga? Ah, saya tak mau berandai-andai. Takut kualat pada orang yang lebih tua.

Ayo Bapak, pulanglah. Kembalilah ke pangkuan  Ibu Pertiwi. Kami menunggu kedatangan Bapak dengan debar di dada. Sebab selain kasus mesum itu, sederetan kasus lain sudah sedang menanti untuk Bapak selesaikan. Saran saya, janganlah deretan kasus itu sampai membuat Bapak tertekan. Jika sampai semuanya itu membuat Bapak susah makan, maka benarlah sepotong ucapan dalam rekaman telepon dalam kasus Bapak itu: “Stress dia, Kak Emma..”

Sudah ya, Pak. Sudah lelah saya menulis. Salam hormat dari saya, dalam kapasitas bahwa umur Bapak lebih tua dari saya. Tidak lebih.

@yuri Alfred


Kenapa Habib Rizieq Tidak Berani Pulang?


DUNIA HAWA "Kenapa Habib Rizieq tidak berani pulang ke Indonesia?", Tanya seorang teman melalui inbox siang tadi. Saya jawab, "Memang seharusnya HRS tidak pulang..".

Dengan tidak berada di Indonesia, itulah satu2nya tempat teraman HRS sekarang ini. Diluar sana dia masih bisa -sedikit- memainkan persepsi pendukungnya bahwa ia di kriminalisasi dan sedang melakukan perlawanan.

Alasan itu memang tidak masuk akal bagi yang waras, tapi efektif bagi pendukungnya yang militan. Dengan memainkan persepsi bahwa pimpinan tertinggi mereka sedang melakukan perlawanan diluar, maka ada kelegaan bahwa mereka masih berada di barisan yang benar.

Minimal sampai sekarang..

HRS tahu bahwa ketika ia pulang, maka ia akan habis. Dari semua tuntutan hukum yang menghadangnya, masalah chat firzahots inilah yang mengerikan.

Kenapa? Karena ini bukan masalah hukum saja, tetapi nama baiknya yang akan terhempas ke tanah. Sekarang saja pendukung HRS sudah mengalami kejatuhan moral meski belum seluruhnya. Mereka seakan tidak percaya bahwa orang yang mereka ikuti selama ini, ternyata jiwanya kacau. Dengan tersebar luasnya gambar porno dan chat mesum, runtuh sudah "kesucian" yang selama ini diagungkan.

Dan polisi terlihat sangat menikmati situasi ini...

Proses dibuat agak sedikit lambat supaya kehancurannya sempurna. Biarkan persepsi masyarakat terbentuk dulu dengan opini2 yang membunuh karakter HRS, karena toh ia tidak bisa kemana-mana.

Dan ketika HRS pulang atau dipaksa pulang, maka kehancuran berikutnya akan terpampang jelas...

Dari informasi yang saya dapat, chat mesum HRS dan FH itu valid dan baru dikeluarkan sebanyak 3 episode, dari 15 episode yang menunggu jam tayang. Dari salah satu episode itu ada yang file movie-nya dalam format 3gp.

Ngeri, kan?

Kebayang bagaimana jika semua episode itu dibuka di pengadilan, maka makin hancurlah HRS, ditelanjangi tidak keruan. Keluarga bisa hancur bahkan ia akan kehilangan massa yang selama ini mendukungnya. Sudah jatuh ketimpa tangga, tembok, genteng dan semua material pula.

Dan hinaan ini akan abadi karena tersebar dimana-mana dalam rekam jejak digital. Dalam situasi ini, coba HRS mau ngomong apa?

Makanya, tempat yg paling aman baginya sekarang adalah tidak kembali ke Indonesia. Disana dia masih memainkan episode ngeles kiri kanan supaya terselamatkan.

Karena itu, sebagai warga negara yang baik kita harus menghormati HRS yang masih disana. Tidak perlu menghina ataupun mencacinya, karena itu tidak baik dan diluar kesantunan. 

Cukup kita teriakkan, "putar 3gp-nya, putar 3gp-nyaaa.." untuk memenuhi rasa penasaran, apa gaya yang ia pakai sehingga begitu terkenal.

Seperti kata secangkir kopi, menyenangkan orang buahnya adalah pahala. Begitu kan, bib ? Seruputt...

@denny siregar


Berkhilafah dengan Demokrasi Pancasila yang Progresif


DUNIA HAWA Suatu ketika, Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Thalhah, Zubair, Kaab dan Salman, tentang perbedaan antara khalifah dan raja.

Menanggapi pertanyaan itu, Thalhah dan Zubair berkata: “Kami tidak tahu,” sedangkan Salman menjawab: “Khalifah adalah yang berlaku adil terhadap rakyat, membagi pemberian dengan rata di antara mereka, menyayangi mereka bagaikan suami kepada istrinya dan seorang ayah kepada anaknya, serta menyelesaikan permasalahan mereka berdasarkan kitab Allah SWT.”

Prof. Nadirsyah Hosen, menjelaskan bahwa di dalam kitab-kitab klasik, termasuk dalam Kitab Muqaddimah karangan Ibnu Khaldun, ketika berbicara tentang khalifah, yang dimaksud adalah kewajiban mengangkat sosok pemimpin, bukan sistem khilafah. Jika yang dimaksudkan khalifah (pemimpin) sebagai sosok, adalah sebuah keniscayaan bahwa harus ada pemimpin setelah yang sebelumnya mengakhiri masa jabatan.

Manusia adalah makhluk yang berkoloni dan sebuah kepemimpinan adalah hal yang mutlak ada. Tapi, Rasulullah tidak membicarakan secara detail mengenai hal ini karena tidak ada sistem yang beliau tinggalkan.

Bahkan, ketika khalifah rasyidin ditanya mengapa tidak menunjuk pimpinan, mereka menjawab bahwa mereka tidak mampu menanggung beban atas apa yang mereka putuskan akan hal itu. Sehingga, dari masa ke masa, umatlah yang menunjuk pimpinan, sebagaimana umat perlu menunjuk Abu Bakar untuk menjadi Imam salat selepas kepergian Rasulullah SAW. Bukankah hal tersebut juga sebentuk demokrasi?

Bagaimana cara seorang pemimpin dipilih dan bagaimana ia mempertanggungjawabkan kepemimpinannya termasuk bagaimana kekuasaannya hingga berapa lama ia berkuasa adalah hak kesepakatan warga masyarakatnya. Sistem khalifah mulai dari Rasululllah, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan sampai Hasan bin Ali juga merupakan bentuk yang masing-masing berbeda.

Lantas politik agama seperti apa yang mau kita wariskan ketika khalifah kedua, ketiga, dan keempat terbunuh? Sepeninggal Utsman, Imam Ali diangkat menjadi khalifah ketika Islam sudah tersebar luas. Ia diangkat dengan segera di tengah negara yang sedang kacau, lima hari lamanya kota suci Madinah tergenang darah.

Sejarah tersebut menjadi sejarah perebutan kekuasaan yang masing-masing merasa benar, sebab umat merasa khalifah pilihannya adalah yang paling mewakili Rasulullah dan Islam. Muawiyah yang sudah 20 tahun menjadi gubernur merasa ditikung karena tidak diajak rembug menentukan pimpinan, ia merasa cemburu dan tidak terwakili sebagai rakyat. Problem muncul, siapa yang mewakili suara umat? Pengangkatan tersebut terjadi ketika Siti Aisyah sedang umrah di Makkah.

Muawiyah mendengar kabar Utsman terbunuh. Ia tidak setuju dengan pengangkatan Ali, lantas ke Makkah mengumpulkan kekuatan. Kemudian terjadilah perang Jamal di Bashrah, tidak kurang dari 18.000 sahabat gugur dalam perang saudara pertama ini. Perang baru berakhir setelah kaki-kaki unta itu ditebas dengan pedang kemudian Siti Aisyah dipulangkan ke Madinah.

Pemberontak-pemberontak dari Mesir yang masuk ke Madinah dan membunuh Utsman yang sedang membaca Quran telah mencemarkan nama baik Madinah sebagai kota suci. Atas dasar itu Ali memindahkan ibu kota dari Madinah ke Kufah, agar terpisah antara urusan agama dan urusan negara. Di ujung selatan, Muawiyah telah selesai menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan dengan dalih gugatan pembunuhan Utsman yang tak kunjung diselesaikan.

Terjadilah perang Shiffin hingga peristiwa tahkim yang akhirnya memunculkan istilah Khawarij dan Syi’ah. Pada suatu shubuh, Ali ditusuk dari belakang dan dua hari kemudian meninggal.

Sejarah itulah yang terus diwariskan hingga kini.

Sejarah yang kemudian juga memjadi bukti, bahwa sistem pemerintahan apapun, tak ada yang bakal menjamin tidak terjadi pergolakan politik di dalamnya, khilafah sekalipun. Karenanya, ketika HTI di Indonesia mengkampanyekan klaim khilafah sebagai sistem pemerintahan sebagai sistem yang terbaik, tentu rasanya aneh dan terlalu terburu-buru.

Demokrasi sebagai sebuah sistem bisa melahirkan pemimpin yang buruk, khilafah pun demikian. Oleh karena itu, HTI yang menganggap sistem khilafah sudah mutlak benar karena sesuai agama dan menjadi solusi utama dan satu-satunya tentu tidak bisa dibenarkan, apalagi jika dilakukan dengan aktivitas-aktivitas provokasi di negara yang sedang belajar demokrasi secara damai ini.

Sistem demokrasi sama halnya dengan sistem kenegaraan lain yang tidak memiliki kemutlakan. Semuanya punya ciri khas dan keunggulan masing-masing. Demokrasi Pancasila, misalnya, ia berbeda dengan demokrasi yang diterapkan di Amerika maupun di negara lainnya. Demokrasi yang dianut Indonesia adalah demokrasi yang bernafas kebinekaan, dari Sabang sampai Merauke.

Bentuknya pun terus dinamis bergerak, mulai dari orde lama, orde baru, reformasi, hingga hari ini terus mencoba menemukan bentuknya dalam kebijakan-kebijakan baru seperti otonomi daerah, desentralisasi pendidikan dan lain-lain.

Kebijakan-kebijakan itu juga tak selalu berhasil. Jika hasilnya buruk, selalu dievaluasi dan akan terus mencoba menemukan bentuk kebijakan baru yang sesuai aspirasi masyarakat dan kebutuhan zaman. Lalu, mengapa kita harus mundur ke belakang hanya untuk berdebat soal relasi agama dan politik, apalagi merasa paling benar sendiri?

@bambang anto