Tuesday, April 18, 2017

Kenapa Mereka Begitu Ngotot untuk Menguasai Jakarta


DUNIA HAWA - Melihat niatan yang begitu kuat dari para “laskar mak idah” untuk menguasai Jakarta membuat saya jadi bertanya-tanya. Mengapa mereka begitu ngotot setengah mati untuk memenangkan paslon nomor tiga hingga mengerahkan massa berkali-kali. Dan bukan hanya sekadar mengerahkan massa, indikasi makar selalu tercium ada di dalam setiap usaha menggerakkan massa tersebut.

Melihat dari libido yang begitu-teramat-sungguh-luar-biasa-memukau tingginya ini, saya menduga mereka berupaya untuk segera merebut kekuasaan sebelum 2019. Momentum pilkada DKI Jakarta 2017 ini bagi mereka sudah seperti janda kembang yang ngebet ngajak nikah, sayang untuk dilewatkan. Alasan untuk menggalang massa ada, donaturnya pun siap sedia, dan kambing hitamnya pun sudah disiapkan sesuai kriteria.

Basuki yang double minority sangat cocok dijadikan kambing hitam, tidak peduli betapa besar pengorbanan dan hasil kerjanya bagi rakyat Jakarta dan Indonesia. Padahal pembangunan di Jakarta selama dipimpin olehnya begitu masif, walaupun serapan dana rendah. Ini artinya apa? Artinya hemat! Ahok itu ibaratkan kalau jadi Istri, bisa beli lauk-pauk untuk sebulan, tapi pakai pengeluaran uang hanya untuk seminggu, terus masih ada kembalian lagi, luar biasa. Mau dicari di mana yang begitu? Publik DKI tuh bener-bener rugi kalo dia ga jadi gubernur lagi.

Pencalonan Anies-Sandi itu cuman tunggangan dua kepentingan. Pertama adalah kekuatan politik barisan sakit hati. Kumpulan para pengusaha nakal yang selama ini anunya dijepit sama Basuki-Jokowi, mafia-mafia di Jakarta dan Indonesia, juga para politikus yang kehabisan sumber pendapatan; baik bagi pribadi maupun partai.

Kedua adalah massa berkedok “keagamaan”, mereka ini kira-kira ada dua tipe. Satu yang berimajinasi dengan utopi Negara theokrasi berasaskan paham sektarian yang eksklusif dan tunggal. Satu lagi adalah mereka yang selama ini sudah menikmati kondisi status quo. Mereka adalah para penikmat rendang yang mulai kehilangan kucuran penghasilan, yang mendambakan aktualisasi serta pengagungan kalau-kalau ilusi dari Negara-theokrasi-utopis itu jadi kenyataan.

Siapapun yang Menang, Mereka akan Tetap Berupaya Makar!


Melihat nafsu yang sudah di tepi ini, siapa pun yang menang, mereka pasti akan tetap mengupayakan makar. Mengumpulkan massa di Ibukota lalu mengarahkannya ke gedung DPR/MPR akan selalu menjadi tujuan utama mereka. Jikalau ada orang-orang yang berpikiran bahwa bila Ahok menang maka Jakarta akan berada dalam kondisi yang berbahaya, saya akan tepis pendapat tersebut dengan mengatakan itu salah.

Justru paling berbahaya adalah ketika Anies menjadi juara di ajang pilkada DKI Jakarta. Anies akan membangkitkan moralitas para ekstrimis-radikalis yang selama ini gaungnya tertahan oleh suara masyarakat. Begitu Anies-Sandi menang, kemenangan itu akan langsung dijadikan justifikasi bahwa mereka didukung masyarakat. Padahal para pemilih memilih Anies-Sandi bukan saja tidak peduli siapa itu ef-pe-iy dan ha-te-iy, bahkan mereka pun muak kepada para perusak agama ini.

Ketika mereka merasa “didukung” masyarakat dan sekali lagi mendapatkan angin untuk terbang, ini akan menjadi pemantik yang mereka pakai untuk mengadakan rally di seluruh Indonesia. Mereka akan lagi-lagi mencatut agama Islam untuk menjadi pemuas nafsu syahwat mereka. Mereka akan mengangkat isu bahwa kaum “Muslimin” telah menang di Jakarta dalam “peperangan” antara umat melawan kaum kafirun. Bahwa sudah saatnya Islam dan umat bangkit di Indonesia, dan sebagainya, dan sebagainya. Ujungnya adalah dengan mengumpulkan massa, lalu membawa mereka kembali ke Jakarta untuk menurunkan pemerintahan yang sah. Skenario drama yang luar biasa hina.

Karena itulah, bagi saudara/i di Jakarta, pemilu di Ibukota ini tidak pernah hanya sekadar soal memenangkan Ahok. Terlalu kecil kalau soal itu. Ada yang lebih besar dari itu, yaitu bagaimana kemajuan dan kestabilan Negara kita sedang dipertaruhkan. Analisis di atas bukan hanya sekadar imajinasi asal-asalan. Pola ini sudah pernah terjadi setelah aksi 212. Setelah aksi “7 juta manusia” di Monas, serangkaian aksi intoleransi berkedok keagamaan langsung menyusul di seantero negeri. Mulai dari pembubaran paksa Natal di Sabuga pada 6 Desember, lalu tuntutan pencabutan reklame iklan beberapa universitas swasta yang memasang foto Muslimah sebagai modelnya di Jogja.

Untungnya, kesaksian para saksi pelapor kasus penistaan menjadi blunder yang malah mematikan semangat pergerakan intoleran itu sendiri. Para saksi yang konyol nan lucu membuat mentalitas yang tadinya sempat membesar, tiba-tiba dalam sekejap jadi mengkerut kembali, hahaha.

Akhir kata dari saya bagi para pembaca. Belajar dari pola yang terjadi pasca 212 maka, bila Anies-Sandi yang menang, itu jauh lebih berbahaya. Momentum ini pasti akan segera dimainkan oleh kaum radikalis dan oportunis politik untuk mengganggu kestabilan Negara. Karena itu ingat, besok berikan dan perjuangkan suara Anda untuk mereka yang menjadi perpanjangan tangan bagi kemajuan bangsa, bukan malah yang sebaliknya. Demi masa depan anak cucu kita yang lebih cerah, coblos nomor dua.

@nikku tirta

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment