Tuesday, April 18, 2017

Anies-Sandi itu Kuda Troya


Bayang-bayang Radikalisme dan Upaya Makar ada di Balik Pemenangan Merek


DUNIA HAWA - Mungkin tahun-tahun ke depan Indonesia akan memasuki masa-masa yang benar-benar sulit. Sebuah masa yang belum pernah dihadapi oleh masyarakat kita sebelumnya. Beberapa tahun belakangan ini bangsa kita sedang menghadapi suatu arus yang terstruktur, sistematis dan masif yang berniat untuk menguasai negeri ini dengan dasar falsafahnya sendiri. Tujuannya hanya satu, sebuah cita-cita utopis, pendirian sebuah Negara berbasiskan paham sektarian, namun mengatasnamakan label agama secara keseluruhan. Sektarian karena pada hakikatnya, sekalipun mengklaim dengan nama agama mayoritas, mazhabnya selalu bersifat eksklusif dan tunggal.

Dalam hal ini kita harus sadar bahwa nama Islam sedang dicatut oleh sekelompok orang. Mereka berusaha memanfaatkan kondisi kaum Muslimin yang keberadaan jumlahnya besar di Indonesia. Indonesia merupakan satu-satunya Negara yang memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Selain kekayaan alam yang melimpah, luas dan letak geografis yang strategis, jumlah penduduknya yang besar serta potensial, Indonesia menjadi incaran gerakan radikalis Islam transnasional karena sebagian besar penduduknya merupakan umat Muslim yang sangat mencintai agamanya.

Hanya saja, kecintaan terhadap agama ini tidak dibarengi dengan tingkat literasi yang baik. Bayangkan, Indonesia berada pada peringkat 60 dari 61 Negara soal minat bacanya. Tingkat literasi ini adalah indikator betapa rendahnya minat belajar masyarakat. Mayoritas awam lebih senang menyaksikan siaran televisi ataupun info-info dari media sosial. Inilah mengapa paham radikalisme berkedok agama sangat masif dan mudah tersebar di Indonesia. Selain penyebaran paham melalui media massa, mereka juga masuk ke dalam aktivitas-aktivitas keagamaan di sekolah-sekolah, rumah ibadah, dan sampai rumah-rumah.

Motivasi Penyebaran Radikalisme


Ada salah satu kajian yang sangat menarik yang dituliskan oleh Alm. Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono mengenai pola kemunculan dan pergerakan radikalisme. Bersama tim, beliau melakukan penelusuran terhadap sumber-sumber informasi (berupa wawancara) yang bersinggungan langsung dengan para pelaku terorisme. Sumber-sumber kajian tersebut di antaranya adalah empat otak perancang bom Bali I (2002), serta 46 orang mantan pelaku terorisme dari berbagai penjara dan lokasi di Indonesia.

Dari hasil wawancara, ditemukan pola yang seragam yang mengawali perjumpaan mereka dengan paham radikalisme. Berikut ini saya kutip pernyataan Alm. Prof. Dr. Sarlito:

Di sisi lain, ada sebagian yang awalnya hanya ingin tahu. Maka, dia ikut-ikutan pengajian tertentu dan mendegarkan tausiah ustaz-ustaz tertentu yang bercerita tentang bagaimana kamu Muslim dizalimi oleh kaum Kristen di Ambon dan Poso dan pemerintah serta aparat tidak melakukan sesuatu untuk melindungi kaum Muslim. Siapa yang harus membela kaum Muslim kalau bukan kita sendiri? Maka mereka pun tertarik untuk berangkat ke Ambon atau Poso.

Artinya, ide, gagasan atau keyakinan tentang Islam yang penuh kekerasan yang ada dalam benak para mantan teroris itu adalah hasil belajar, hasil meng-copy ide-ide dari orang lain, baik melalui pelatihan, indoktrinasi, mencontoh, atau lainnya.

Ternyata dari hasil wawancara, ditemukan sebuah fakta bahwa masuknya paham radikalisme ke dalam hidup mereka berasal dari ceramah-ceramah keagamaan. Ceramah ini sarat akan muatan provokatif yang membangkitkan kemarahan dan menebar kebencian berdasarkan fakta-fakta sepihak yang seringkali tidak lengkap.

Ideologi ini dibangun di atas rasa kebencian akibat konflik horizontal di masa lalu, ataupun karena kondisi sosial-ekonomi. Juga ditambah dengan pengharapan utopis bahwa jikalau mereka terlibat ke dalam perjuangan, mereka akan mendapat tempat yang mulia, baik dalam pandangan manusia maupun “Tuhan”. Semua iming-iming ini hanya akan diarahkan kepada satu muara, yaitu pandangan bahwa kaum Muslimin sekarang sedang dizalimi. Maka, sebagai umat yang mencintai Tuhan dan agama, mereka harus bangkit dan melawan kezaliman.

Tidak heran mengapa strategi politisasi Masjid dari Eep Saefulloh Fatah sangat signifikan karena narasi kampanyenya membawa pola yang serupa. Menanamkan kebencian, membangkitkan kemarahan, dan membangun kebanggaan yang berlebihan.

Strategi Radikalisme dan Implementasinya Melalui Jalur Politik


Dari sini saya coba merangkum tiga poin yang menjadi strategi radikalisme membentuk pra asumsi di dalam benak dari setiap anggotanya.

Pertama, mereka menciptakan suatu rasa tidak percaya kepada pemerintah. Maka dari itu, kalau kita perhatikan tiga tahun terakhir semenjak Pakde Jokowi menjadi Presiden, isu PKI santer disuarakan di mana-mana. Tujuannya hanya satu, menjadikan rakyat tidak percaya kepada pemerintah karena pemerintah dianggap ada agenda terselubung yang pro kepada anti-Muslim. Pola ini pun muncul di dalam pilkada DKI Jakarta. Perhatikan saja paslon mana yang terus menuduh bahwa pemerintah tidak netral, yang di mana aparat keamanan juga dituduh tidak netral. Termasuk publikasi hasil survey kadaluarsa dan abal-abal yang disiarkan secara masif dengan tujuan membangun rasa tidak percaya bila hasil pemungutan suara berbeda dari survey yang mereka keluarkan.

Kedua, menciptakan suatu rasa eksklusif dan superior pada diri sekelompok orang ketimbang sesama saudara/i Muslim mereka yang lain. Ini bertujuan untuk membangun suatu kebanggaan dan suatu sindrom di mana mereka adalah pejuang dan penyelamat Islam yang sesungguhnya. Sindrom ini biasa dikenal dengan istilah Savior Syndrome, di mana mereka merasa hanya di pundak merekalah Islam terselamatkan. Merekalah para pahlawan dan juru selamat “Tuhan”. Tidak heran, di Jakarta pun hadir pola yang serupa, di mana ketika sesama Muslim tidak memilih nomor tiga, maka mereka sudah sesat, murtad, antek kapir, munafik dan perlu diselamatkan.

Ketiga, menciptakan kebencian terhadap non-Muslim, baik secara etnis maupun agama. Kebencian ini yang justru lebih sering digunakan sebagai bahan bakar “perjuangan”. Kaum non-Muslim akan terus dicitrakan sebagai orang-orang yang mengancam keberadaan mereka, yang jahat dan batil, para musuh “Tuhan” dan penentang jalan “Tuhan”. Maka dari itu, di dalam konteks apapun, selalu hanya akan dibentuk citra Versus. Antara Muslim versus kapir, antara yang baik versus yang batil, antara yang setia versus yang murtad, dan sebagainya.

Kita lihat bukan? ketiga pola strategi di atas muncul dalam strategi politik di DKI. Mereka membangun suatu paradigma bahwa pilkada Jakarta adalah sebuah medan peperangan. Mereka tidak peduli itu saudara/i sebangsa, setanah air, bahkan seagama. Mereka hanya peduli bahwa merekalah pahlawannya yang tetap setia memperjuangkan kemenangan “Islam”. Dan di masa “perang”, semuanya halal. Jadi jangan heran, kebohongan demi kebohongan itu halal selama sedang di masa perang. Because there is no right or wrong at war. Winner’s right, while loser’s wrong. And all is fair in love and war.

Akhir kata dari saya bagi para pembaca. Anies-Sandi itu hanyalah kuda Troya. Mereka tipe pemimpin yang lemah dan hanya peduli pada agenda pribadi. Mereka adalah tunggangan yang paling seksi bagi kaum radikalis untuk mulai menguasai lebih dalam ke tubuh NKRI. Dan pintu masuknya adalah pilkada DKI. Karena itu, kepada saudara/i sebangsa dan setanah air di DKI, kami titipkan perjuangan kami dalam memperjuangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sedang dipertaruhkan di sana. Bagi masa depan anak cucu kita yang lebih cerah.

@nikki tirta


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment