Friday, March 31, 2017

Ilusi Negara Khilafah


DUNIA HAWA - Harus diakui, demokrasi banyak ditentang, dianggap terlalu terbuka, terlalu bebas, produk liberal dan banyak lagi suara-suara yang menyatakan bahwa demokrasi punya banyak kekurangan. 

Demokrasi memang memiliki banyak celah, termasuk yang diterapkan di negara kita. Suara seorang ahli, sama dengan suara seorang awam. Satu orang profesor dan satu orang keluaran SD, nilainya sama di dalam bilik suara.

Pokoknya, kelemahan dan kekurangan sistem demokrasi yang dianut NKRI masih banyak. Tapi, bukan jadi alasan untuk membubarkan negara yang sudah berdiri dengan gagah karena disegani oleh negara adidaya sekalipun dan kuat karena telah melewati beragam jenis gerakan separatisme.

Munculnya benih-benih gerakan pemberontak adalah indikator adanya pihak yang ingin merusak tatanan bernegara. Lalu, apakah selama ini tak ada upaya memperbaiki kelemahan itu? 

Saya kira, sejak ditegakkannya reformasi 1998, perubahan itu sudah dilakukan. Termasuk di antaranya diberlakukannya kembali sistem multi-partai, otonomi daerah, keberadaan lembaga DPD (Dewan Perwakilan Daerah), Pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada), dan kebebasan berekspresi yang ditandai dengan berakhirnya masa suram pembredelan pers.

Kita terus bergerak dan berbenah sebagai bangsa dan sebagai negara. Sebagai bangsa yang plural (multi ras, suku dan agama) dan sebagai negara berasaskan demokrasi pancasila.

Demokrasi kita juga makin inklusif dengan mengakomodasi berdirinya banyak ormas, geng motor berdasarkan merek dan warna, kelompok bermobil, kelompok pembela pancasila, kelompok anak-anak  militer, hingga kelompok intoleran dan radikal.

Demokrasi kita juga tidak menghalangi elit yang gagal menjadi penguasa partai A lalu beralih mendirikan partai A+. Sementara elite partai B yang berideologi ‘ketampanan’ yang tidak pernah berhasil mendulang suara optimal sesuai ketentuan ambang batas minimal, lalu bermetamorfosis menjadi partai berideologi ‘alay’.

Celah Khilafah


Ormas pejuang khilafah, hingga saat ini, mereka masih bebas berimajinasi di dalam naungan NKRI. Meski masih diberi kesempatan bebas berekspresi, bukan berarti negara diam ketika ada yang ingin merusak tatanan.

Siapa atau kelompok mana yang punya potensi merusak tatanan negara? Siapa pun yang anti-pancasila berarti penentang dan penantang NKRI, termasuk yang beberapa bulan terakhir secara vulgar menyatakan kehendaknya mendirikan negara khilafah. 

Variabelnya sederhana saja, ideologi selain pancasila atau perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi pancasila adalah virus yang berbahaya bagi eksistensi negara.

Pemerintahan khilafah dalam sejarah Islam bukan tanpa kekurangan. Dimulai dari era setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, empat sahabat yang selanjutnya dikenal dengan gelar Khulafaur-Rasyidin, berturut-turut tercatat khalifah Abu Bakar Assiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Selain Abu Bakar, ketiga khalifah sahabat Nabi Saw tersebut bahkan mati terbunuh saat masih memegang jabatannya.

Kisah kekhalifahan selanjutnya yang dicatat dalam sejarah adalah masa pemerintahan Bani Umayyah oleh Muawiyah (tahun 661-750) dan Abbasyiah (tahun 750 – 1517). Dan yang tak kalah fenomenal adalah era kesultanan Utsmaniyah (Turki) dengan masa kekuasaan tahun 1299 hingga 1923.

Pemerintahan khilafah memang pernah mencapai puncak kejayaannya di masing-masing periode, namun sebagaimana kodratnya mereka juga diterpa masa-masa suram oleh kekuatan luar juga benih-benih kehancuran dari dalam. Bagaimana kejayaan Turki Usmaniyah akhirnya menyerah dan berganti menjadi Negara sekuler adalah contoh sahih betapa perebutan kekuasaan selalu melibatkan manusia-manusia yang saling berebut kepentingan.

Dalih HTI


Kawan-kawan yang tergabung dalam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) seringkali mengemukakan pembelaan terhadap obsesi kekhalifaan yang mereka perjuangkan. Menurut HTI, sistem khalifah yang diusungnya merupakan jawaban atas ketimpangan dan segala kerusakan sistem bernegara yang terjadi saat ini. Bahwa untuk menyelematkan kehidupan, solusi mereka adalah terselenggaranya sistem khalifah.   

Dalam web resmi HTI menjelaskan: 


“Khalifah adalah kepala negara dalam sistem Khilafah. Dia bukanlah raja atau diktator, melainkan seorang pemimpin terpilih yang mendapat otoritas kepemimpinan dari kaum Muslim, yang secara ikhlas memberikannya berdasarkan kontrak politik yang khas, yaitu bai’at. Tanpa bai’at, seseorang tidak bisa menjadi kepala negara. Ini sangat berbeda dengan konsep raja atau diktator, yang menerapkan kekuasaan dengan cara paksa dan kekerasan…” (hizbut-tahrir.co.id)

Kata ikhlas dan bai’at menunjukkan sisi absurd dari sistem pemerintahan. Sulit rasanya membayangkan setiap kepala akan memberikan daulat berkuasa ke seorang dengan ikhlas, lebih muskil lagi jika disertai dengan bai’at. Memaksakannya adalah bentuk pengingkaran terhadap kebhinekaan NKRI.

Mereka mengklaim bisa mewujudkan pemerintahan atas nama Tuhan dan berharap kekuasaan itu dijalankan dengan tanpa noda dan lepas dari kepentingan manusia-manusia.   

Jadi, kawan-kawan yang tergabung di HTI dan yang kini menjangkiti FPI sudah saatnya berbenah atau bubar saja. Karena, negara khilafah yang Anda cita-citakan itu tak akan bisa terwujud di negeri khatulistiwa ini, negeri yang di dalamnya banyak terpampang surga. Surga yang tentunya bukan hanya diperuntukkan bagi satu kaum saja, seperti yang diyakini oleh sekelompok intoleran yang selalu merasa paling benar.

Aksi 313 yang digalang oleh Ormas FUI (Forum Umat Islam) masih mengusung spirit gerakan pendahulunya 212 dan 411 yakni menegakkan konstitusi dan menyelipkan pesan tegas untuk mencopot AHok. Meskipun aksi tersebut tidak seramai gerakan sebelumnya, namun tetap perlu direspon sebagai gerakan pemecah keutuhan NKRI.

Karenanya, mereka sebaiknya memilih bubar atau keluar dari NKRI, karena khilafah hanya bisa hidup dalam ilusi kelompok ISIS.

@subarman salim


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment