Tuesday, March 21, 2017

Dongeng dan Fantasi Anies Soal Sejarah Bangsa Indonesia, Memalukan


DUNIA HAWA - Pada debat Pilgub DKI 2017, Anies menasihat Ahok, rivalnya, untuk hati-hati dengan kata-kata. Di hadapan ratusan juta pasang mata, Anies tampil sok bijak menasihat Ahok.

Ia mengambil testimoni figur Soekarno. Menurutnya, Soekarno adalah sosok yang sang sangat mementingkan kata-kata.

“Karena itu, Pak Basuki jangan hanya kerja, kerja, kerja, tapi juga harus dengan kata-kata dan gagasan. Bung Karno pernah bilang banyak bekerja banyak bicara. Jangan banyak bekerja tanpa bicara.” (Kompas, 14 Januari 2017).

Nasihat (dalam tanda petik!) Anies, sebenarnya  kritikannya kepada Ahok. Ahok dinilai sebagai sosok yang boros kata-kata dan pada akhirnya menjerumuskannya sebagaimana kasus di Pulau Seribu. Meskipun Ahok telah melakukan pembelaan diri bahwa tak ada niat sedikit pun untuk menghina agama dan umat islam, ia tetap dituduh melakukan penghinaan. Ahok pun harus bolak-balik di kursi pesakitan sambil melakukan aktivitas kampanye.

“Hargai kata-kata untuk membangun manusia. Kalau anda meremehkan kata-kata, anda memecah belah warga Jakarta,”lanjut Anies.

Penulis menilai bahwa betapa pentingnya kata-kata. Kata-kata dapat melukai orang. Kata-kata dapat memecah belah persatuan. Tidak ada yang salah dengan apa yang diucapkan Anies.

Persoalannya, apakah tuduhan Anies kepada Ahok sudah tepat? Apakah benar Ahok melakukan upaya memecah belah rakyat Jakarta dengan kata-katanya? Seandainya, benar, mengapa tak satupun masyarakat Pulau Seribut memprotes Ahok saat itu?

Ucapan Anies memang dinilai tendensius. Pernyataan semata-mata untuk menurunkan wibawa Ahok di hadapan publik. Sementara kita ketahui kasus Pulau Seribu mencuat ke permukaan hanya karena perbuatan Buni Yani yang menghilangkan kata-kata dalam video yang asli. Seorang jebolan perguruan tinggi dari negeri Paman Sam, yang hanya mampu menjadi editor video yang menyesatkan publik.

Peringatan Anies kepada Ahok mengingatkan pesan guru kepada para murid-muridnya. Di sini, Anies tampil sebagai guru yang sok suci. Guru yang tidak pernah salah. Yang lidahnya tidak pernah keseleo (salah ucap).

Anies pula, hari demi hari, mengingatkan saya tentang petapah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Nasihat Anies tidak dapat menjadi dasar pembelajaran bagi siapapun – termasuk Ahok.

Hal ini dapat dilihat dari ucapannya dari hari ke hari. Baik itu dalam situasi debat maupun saat jumpa pers. Omongan Anies susah dipegang alias plin-plan. Buktinya nyata Anies plin-plan, soal reklamasi, soal relokasi kampung Duri, soal DP rumah 0 % dan masih banyak lagi.

Omongan demi omongan Anies yang tidak berurat akar pada kebenaran menimbulkan keraguan publik. Hari ini ia bicara lain, besok ia keluarkan pernyataan lain. Omongannya susah dipegang.

Fenomena ini mencerminkan siapakah Anies? Ia bukan hanya orang yang bertipe plin-plan, juga orang yang malas berpikir. Publik boleh menilainya cerdas dari kata-katanya. Tapi apakah kata-katanya mengandung kebenaran? Tidak hanya soal kebenaran dari kata-katanya, fenomena lain adalah ia pribadi yang berbicara dulu, baru berpikir. Setelah mendapatkan kritikan banyak orang, ia meralatnya bahkan ia mengelas. Artinya, apapun pembicaraannya tanpa melalui proses berpikir yang matang, sematang gelar doktornya.

Kali ini Anies melakukan blunder terhadap nasihatnya kepada Ahok. Ahok semakin santun dan mengurangi frekuensi berbicara. Sebaliknya, ia semakin rajin berbicara dari pangung ke panggung. Pernyataan yang paling mengehohkan adalah videonya tentang Sumpah Pemuda keturunan Arab yang dipelori oleh Partai Arab Indonesia (PAI).

Di rekaman video yang tersebar tersebut, Anies mengaku bahwa istilah “tanah air indonesia” dimunculkan dan diucapkan pertama kali oleh pemuda Indonesia keturunan Arab pada tahun 1934. Dengan sombongnya, ia mengatakan bahwa orang Indonesia keturunan Arablah yang berani mengucapkan itu, sedangkan yang lain-lain tidak. Sendainya, orang Arab tidak ada waktu itu, berarti tidak ada orang Indonesia. Orang Jawa akan tetap orang Jawa. Orang Bugis akan tetap orang Bugis. Karena belum ada Indonesia. Kira-kira begitu!

Untuk mengungkapkan kebohongan Anies,  penulis mengutip Sumpah Pemuda keturunan Arab (BBC.Com, 28 Oktober 2015), yaitu; pertama, Tanah Air peranakan Arab adalah Indonesia; kedua, peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri); ketiga, Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.

Dari isi sumpah ini bertolak belakang dengan pernyatan Anies. Pernyataan Anies menyiratkan kebohongan yang kasat mata. Yang jelas dilihat oleh mata siapa saja yang pernah belajar sejarah. Bagaimana mungkin kalimat “tanah air Indonesia” diucapkan oleh orang Indenesia keturunan Arab pada tahun 1934, sementara Sumpah Pemuda tahun 1928 sudah mendahului peristiwa tersebut dan menggunakan kalimat tanah air indonesia dalam satu satu butir sumpah.

Sumpah pemuda keturunan Arab lahir pada tanggal 4 Oktober 1934 di semarang, 5 tahun setelah Sumpah Pemuda 1928. Dengan demikian,  kaum muda berdarah Arab mendukung ide tanah air Indonesia dan tidak lagi kait-mengaitkan dengan asal usul mereka sebelumnya. (BBC.COM, 28 Oktober 2015). Lantas, Siapakah yang benar? Catatan sejarah atau dongeng si Anies yang demi libido politiknya di ibukota?


Dalam kaca mata penulis, Anies telah menjadi korban dari kata-katanya sendiri. Ia berani mempelintir sejarah bangsa demi hasrat kekuasaan. Apapun yang diucapkannya dalam video ini, sebenarnya ia membutuhkan pengakuan bahwa kakek atau trah Baswedan adalah bagian sejarah bangsa Indonesia. Namun, demikian Anies tidak boleh putar balik sejarah, seolah-olah kaum keturunan Arab yang membaptis nusantara ini dengan sebutan “tanah air Indonesia”. Bohong  besar. Semoga ini hanya fantasi Anies dan keinginan bawah sadar adanya pengakuan bangsa ini akan peran trah Baswedan – tokoh Partai Arab Indonesia. Masihkah rakyat percaya dengan orang ini? Pilihan ada pada tangan Anda.

@giorgio babo moggi



Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment