Wednesday, March 22, 2017

Anomali Anis Baswedan


DUNIA HAWA - Ahok, sekali lagi adalah tokoh yang tengah naik daun, berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak yang tidak suka dengan kiprah politiknya di Ibu Kota. 

Gaya berpolitiknya yang kerap menggunakan 'jurus mabuk', membuat sejumlah politikus terusik. Ia melabrak sistem politik di Ibu Kota yang kerap tersandera oligarki, berbagai sektor strategis ia benahi. 

Ia menuai banyak pujian, Ibu Kota kini hadir dengan wajah yang lebih ramah, walau masih terdapat persoalan sana-sini yang masih menjadi pekerjaan rumah gubernur, olehnya kritik menjadi hal niscaya, walau hal itu kerapkali jadi alat yang digunakan lawan-lawan politik untuk menyerangnya.

Usai dulu pembahasan soal Ahok dan segala dinamika politik yang terjadi karena ulahnya. Pada tulisan ini saya ingin mengetengahkan soal Anis Baswedan dan politik sektarian yang kini tengah hiruk-pikuk di Ibu Kota.

Anis Baswedan adalah tokoh pendidikan, kita harus mengakui itu. Jasa-jasanya terhadap dunia pendidikan di daerah-daerah tertinggal melalui program Indonesia mengajar patut diapresiasi, ia adalah lilin di tengah berbagai problematika dunia pendidikan yang melanda wilayah-wilayah yang tak terjangkau berkah pembangunanisme.

Lewat Indonesia mengajar beserta programnya yang lain seperti kelas inspirasi dan turun tangan, nama Anis kemudian dikenal oleh masyarakat secara luas, terutama para guru, praktisi, pegiat dan pemerhati pendidikan. 

Tak ayal, popularitasnya yang semakin meningkat membuat Jokowi yang terpilih sebagai presiden RI pada pemilu 2014 yang lalu, mendudukkannya dalam jajaran menteri kabinet kerja sebagai menteri pendidikan. 

Namun di pertengahan tahun 2016 yang lalu, ia harus menerima keputusan reshuffle, yang membuatnya harus terdepak dari kabinet kerja.

Selain kiprahnya yang populer dalam dunia pendidikan, Anis Baswedan juga dikenal sebagai tokoh muslim moderat. Mantan rektor Universitas Paramadina ini kerap hadir dengan ide-pemikirannya yang mencerminkan toleransi dan pluralisme dengan visi kebangsaan yang adiluhung.

Hal tersebut membuatnya kerap diafiliasikan dengan kelompok pemikir liberal dengan berbagai cap dan stigma yang mengiriginya.

Pembelaannya terhadap kelompok minoritas seperti syi'ah yang kerap menjadi sasaran diskriminasi dan kekerasan kelompok radikal, juga semakin mempertegas garis demarkasi dengan kelompok yang kerap menggunakan cara-cara kekerasan dalam aksinya tersebut. 

Hal itu membuatnya dikenal sebagai tokoh pluralis yang mencerminkan toleransi dan moderasi, sekaligus membuatnya harus menerima stigma sebagai penganut syiah dan pemikir liberal dengan konotasi negatif.

Potret tentang sosok Anis Baswedan di atas seketika berubah saat ia memutuskan maju di kontestasi Pilkada DKI. Ia menjadi orang yang berbeda, banyak yang lalu kecewa, khususnya golongan pro demokrasi. 

Hal itu terjadi, karena di tengah upaya membangun demokratisasi di bangsa ini yang salah satu poin utamanya adalah meneguhkan kesetaraan semua warga negara, ia tampil dengan menggandeng isu SARA dengan gaya politik yang sektarian.

Lawannya yang merupakan seorang Tionghoa beragama Kristen ia dan pendukungnya tampilkan sebagai sosok penista agama dan perusak kebhinnekaan. 

Ia benar-benar diuntungkan oleh kasus dugaan penistaan agama yang menimpa Ahok. Isu agama lalu menjadi kendaraan politik yang efektif mendulang dukungan kelompok sektarian yang terus-menerus beroperasi menghantui warga dengan jualan surga-neraka.

Anis Baswedan dalam Pilkada DKI, benar-benar adalah sosok yang anomali, ia seolah sedang menikmati permainan politiknya di atas isu intoleransi yang semakin menguat, visi toleransi dan moderasinya seolah tenggelam di tengah pusaran kabut kepentingan politiknya untuk menjadi DKI satu. 

Disebut pusaran kabut kepentingan politik, karena para pengusungnya adalah kelompok yang selama ini berseberangan dengannya secara ideologis, kelompok yang giat menghembuskan diskriminasi dan mempraktikkan intoleransi dengan terang.

Anis Baswedan, kini begitu intim dengan kelompok Islam yang dulu sering dikritik bahkan berseberangan dengannya. 

Bahkan, ia mulai menjalin keakraban dengan keluarga Cendana dan anasir kelompok warisan orde baru, sedang kita tahu betul, Anis adalah salah satu tokoh yang dulu kerap mendengungkan kontra orde baru, bahkan menjadi pengkritik Suharto yang ulung.

Inilah realitas dan rill politik ala Anis Baswedan, dengan ambisinya menuju DKI satu, visinya untuk merajut tenun kebangsaan menjadi kata-kata pemanis lidah belaka. 

Dibelakangnya kelompok intoleran bahu-membahu untuk memenangkannya di Pilkada putaran ke dua nanti. Kita tentu tak ingin Ibu Kota, yang menjadi miniatur republik, dikuasai oleh mereka yang kontra kebhinnekaan yang merupakan kodrat bangsa ini. Intoleransi dan sektarianisme adalah antitesa bagi bangsa ini.

@zulfahmi idris

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment