Tuesday, February 7, 2017

Haruskah Mempersoalkan Iman Orang Lain?

DUNIA HAWA - Isu politik belakangan ini cukup menyedot perhatian banyak orang. Hal ini ditandai dengan begitu banyaknya perdebatan, hoax yang bertebaran, dan ditambah dengan media yang nyaris selalu menayangkan isu-isu Pilkada.


Di satu sisi, mungkin ini menjadi tanda bahwa masyarakat semakin melek politik, namun di sisi lain malah semakin meresahkan. Ada anggapan bahwa bangsa ini kian terpecah karena pilihan politik.

Di antara sekian banyak alasan terkait anggapan tersebut adalah dipermasalahkannya iman seorang calon yang sedang bertarung. Tidak sampai di situ, iman pendukung calon tersebut pun kian diumbar atau malah dicari titik lemahnya untuk menaikkan atau malah menurunkan elektabilitas sang calon.

Bisa jadi, cara ini dipandang masih relevan oleh sebagian orang, namun oleh yang lain dirasa harus ditinggalkan.

Pertanyaan yang mendasar harus dijawab menurut saya adalah, apakah harus kita mempersoalkan iman orang lain? Bukankah sebaiknya kita memperbaiki diri sendiri tanpa harus mempersoalkan iman orang lain?

Adakah kita ditanya terkait amalan orang lain? Bukankah Tuhan bertanya tentang perbuatan kita, dan bukan orang lain? Mengajak (berdakwah) yes, tapi mempersoalkan iman mereka, apa urgensinya?

Coba kita perhatikan fenomena maha dahsyat 212 tempo hari, apa penyebab aksi tersebut?

Jelas, karena Ahok mempersoalkan keyakinan orang lain. Tidak sekadar mempersoalkan, ia bahkan menuduh mereka yang menyampaikan keyakinannya (al-Quran) sebagai upaya membodohi atau membohongi orang lain.

Sepertinya itu sebagai balasan karena ada pihak yang mempersoalkan keyakinannya. Ahok merasa risih dengan al-Maidah 51 yang disampaikan untuk menjegalnya, hingga akhirnya ia katakan bahwa orang yang menyampaikan ayat itu membodohi orang lain.

Baru-baru ini, iman seorang calon lainnya dipersoalkan pula. Namun kali ini menyasar Anies Baswedan, bukan iman non-muslim sebagaimana biasanya terjadi di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Hal ini terkait dengan jawaban Anies di Mata Najwa terkait dengan sikap poltiknya. Kala itu najwa Shihab bertanya ke Anies soal sikap poltiknya, apakah Anies sependapat dengan FPI yang menolak non-muslim menjadi Gubernur DKI dan provinsi lainnya?

Tersirat dari pertanyaan itu adalah agar Anies menjawab bahwa ia sependapat dengan FPI. Tujuan politisnya adalah agar orang tidak memilih Anies karena ia anti-NKRI dan rasis.

Asumsi dibangun karena sebagian orang mengira bahwa FPI itu anti-NKRI, anti Kebhinnekaan, dan tentunya dibenci oleh banyak orang. Saya tidak menuduh bahwa ini tujuan dari si penanya, namun bisa dipastikan bahwa ini adalah tujuan dari orang yang ingin Anies kalah dalam Pilkada DKI nanti.

Tapi sayang, saat itu Anies malah menjawab dengan bijak bahwa Anies percaya (mengimani) al-Maidah 51. Tidak ada kata-kata bahwa ia sepakat dengan FPI. Tapi, FPI tidak perlu kesal dengan jawaban itu karena jawaban itu megnakomodir hasrat FPI.

Anies menyambung jawabannya bahwa dalam konteks Pilkada, maka semuanya tergantung rakyat, rakyat yang menentukan.

Dari jawabannya itu, saya tidak mendengar ada kalimat dari Anies yang mengatakan bahwa non-muslim tidak bisa menjadi gubernur DKI. Itu sebabnya saya menyebut jawaban Anies sebagai jawaban yang bijak; dipikirkan sebelum dikatakan.

Tentu ada yang berkata bahwa jawaban Anies sama saja dengan FPI, Anies mengharamkan non-muslim menjadi Gubernur di DKI.

Mereka bertanya, bukankah maksud Anies demikian? Saya katakan bahwa itu adalah maksud yang kalian mau. Kalian ingin Anies di posisi itu. Dengan begitu kalian akan mengatakan bahwa Anies tidak Pancasilais, tidak bhinneka, dan intoleran. Singkatnya kalian ingin Anies itu sama dengan FPI yang kalian beri label demikian.

Untuk itu, saya mengajak siapa saja untuk mengecek kembali profil Anies, siapa Anies sebenarnya. Jika tidak mau, mungkin penjelasan berikut dapat menggambarkan sosok Anies yang kalian persoalkan itu.

Pertama, Anies tidak bilang soal maksud dari ayat itu. Sehingga kita tidak dapat mengetahui arti apa yang ia imani dari ayat tersebut?

Nah, dengan demikian, sewajarnyalah setiap muslim meyakini al-maidah 51. Jika ada muslim yang tidak meyakini satu ayat saja dari isi al-Quran, tentu imannya dipertanyakan, apakah boleh menjadi muslim yang demikian?

Namun, kita asumsikan saja bahwa maksud Anies meyakini al-Maidah 51 itu sebagai larangan memilih pemimpin kafir. So, di mana salahnya? Itu keyakinan Anies, imannya Anies, haruskah kita persoalkan?

Kamu persoalkan orang yang menghalangi Ahok karena Ahok non-Muslim, tapi kau persoalkan pula iman Anies karena ia Muslim yang harus percaya pada al-Quran. Bukankah kau sedang mempersoalkan dirimu sendiri?

Ini soal keyakinan individual. Jelas berbeda halnya dengan pilkada. Dalam pilkada, siapa memilih dan siapa dipilih oleh siapa, ya sah-sah saja.

Coba kita ambil contoh lain, dan ini sekadar perumpamaan. Nana bertanya (misalnya), "Pak Anies, FPI mengharamkan seseorang membuka aurat. Apa pandangan Anda? Apakah Anda setuju dengan FPI?"

Anies menjawab bahwa ia percaya pada ayat tentang kewajiban menutup aurat. Lalu karena jawabannya itu, Anies dituduh tidak nasionalis, anti kebhinnekaan, dan lain sebagainya. Padahal Anies sedang berbicara dalam konteks iman, maka demikianlah keimanannya.

Berbeda konteksnya ketika Anies berbicara soal masyarakat Indonesia. Di Indonesia memakai baju batasannya cuma UU Pornografi. Coba kita renungkan tamsilan di atas, apakah Anies salah atau sekurang-kurangnya patut disayangkan karena pernyataan atau jawabannya itu? Di mana letak kesalahannya?

Saya berpandangan bahwa persoalan keyakinan atau aqidah adalah hak individual atau privasi setiap orang. Semua orang bebas mau memilih keyakinan mana saja serta menjalankan keyakinannya itu.

Nah, apakah salah saat Anies meyakini al-Maidah 51 yang merupakan bagian dari al-Quran, dan al-Quran penyempurna dari kitab-kitab. Anies tidak salah. Justru ini merupakan bagian dari rukun iman (bagi Muslim) yang dijamin kebebasan untuk memeluk dan mengamalkannya.

Terakhir saya ingin menekankan bahwa iman kitalah yang paling penting untuk kita kroscek, apakah sudah benar? Prinsipnya jelas bahwa bagimu agamamu, dan bagiku agamaku, bukan yang benar agamaku, maka kau harus seperti aku.

Anies tidak melarang, tidak menghambat, tidak pula mencekal lawannya karena agama. Saya ulangi bahwa Anies bahkan mengatakan bahwa pilkada soal pemilihan, maka rakyatlah yang memilih.

Ia selalu pula mengatakan bahwa ini merupakan pentas, tempatnya adu gagasan. Tidak pernah ia persoalkan agama lawannya. Anies percaya dengan ide dan pendekatan yang ia gunakan. Buktinya pun sudah ada, dan baik hasilnya.


@khairil akbar


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment