Saturday, February 4, 2017

Gagalnya Strategi dan Misi Pak Mantan

DUNIA HAWA - Sabtu yang mendung disertai hawa dingin dengan rintik hujan membuat malas keluar rumah untuk jalan-jalan. Bingung mau lakukan apa akhirnya duduk depan laptop baca-baca situasi tanah air. Hiruk pikuk pilkada DKI bikin ikut merasa #prihatin dengan kegalauan yang dirasakan oleh pak mantan.


Gara-gara Pilgub DKI, waktu yang seharusnya buat momong cucu sehabis lepas dari jabatannya, malah tersita jadi ikut ngalor-ngidul rajin bikin cuitan sampai konperensi pers segala. Risiko bila mantan masih menjadi ketua umum partai. Mau tidak mau terus ikut terlibat dalam kancah politik demi mengejar kekuasaan. Apalagi sekarang melibatkan juga putra mahkota.

Namun sayang disayang, biasanya pak mantan dikenal memiliki strategi cerdas dan selalu berhati-hati melangkah hingga kadang dikatakan peragu, kali ini akan menemui kegagalan. Gagal meloloskan putra mahkota untuk menduduki kursi DKI 1.

Bukan tanpa alasan saya berani mengatakan hal demikian. Ini bukan tuduhan atau fitnah maupun hasil penyadapan apalagi disertai bukti transkrip rekaman, namun hanya sebuah tulisan analisis opini melihat perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini.

Sejak konperensi pers pertama dan mempopulerkan istilah lebaran kuda, dampak sosial terlihat berpihak kepadanya. Elektabilitas putra mahkota semakin terkerek dan hampir semua lembaga survei mendudukkan di tempat teratas atau minimal kedua. Pak mantan pun bisa tersenyum dan tidur nyenyak.

Kenyenyakan tidur yang hanya dinikmati sesaat, kembali terusik melihat hasil survei di minggu-minggu akhir paska debat kedua menjelang pencoblosan. Ada penurunan drastis elektabilitas pada pasangan yang diusung bersama 3 parpol berbasis agama ini. Berbahaya! Disaat mendekati hari H semakin mepet bila tidak diselamatkan, putra mahkota bakal tersingkir. Konperensi pers harus dilakukan lagi dan berharap bisa menarik kembali suara masyarakat yang hilang. Memposisikan diri sebagai pihak korban dari fitnah dan konspirasi politik. Didzolimi.

Sayang disayang, respon masyarakat tidak seperti yang diharapkan. Strategi menempatkan diri sebagai korban pendzoliman sudah tidak lagi mempan digunakan saat ini karena masyarakat semakin cerdas, khususnya warga DKI. Mayoritas adalah pemilih rasional yang tidak mempedulikan lagi trik-trik politik maupun sisi primordial. Lebih melihat visi misi dan program calon yang bakal dipilihnya. Konperensi pers yang malah menjadi bumerang sebab hanya sebatas membawa perasaan merasa disadap tanpa bisa membuktikannya.

Bila logika pak mantan diikuti dan meyakini bahwa telponnya disadap terkait pembicaraan dengan saksi, ini justru semakin menjerumuskan ke lobang lebih dalam. Masyarakat jadi makin yakin bahwa omongan tim kuasa hukum petahana bisa dipercaya karena hasil dari sadapan. Permintaan untuk menerbitkan fatwa dianggap nyata adanya. Telah ada intervensi politik pada lembaga keagamaan yang seharusnya netral.

Turunnya elektabilitas putra mahkota adalah sesuatu hal yang wajar dan diprediksi sebelumnya. Saat kemunculan awal, masyarakat mengalami efek kejut melihat penampilan dan sebagai putra mantan. Tampilan wajah ganteng dan muda serta dianggap santun, mewakili pemilih berbasis psikologis dan akan cepat menjadi daya pikat. Namun golongan pemilih jenis ini tidak terlalu signifikan dan jumlahnya kecil. Terbukti Jokowi yang dianggap kalah ganteng dan penampilannya dibanding Prabowo bisa memenangkan Pilpres kemarin.

Selanjutnya dari sisi pemilih sosiologis, putra mahkota dimaksudkan sebuah tawaran lain yang diberikan sebagai alternatif orang-orang yang memilih berdasarkan faktor primordial. Hanya saja yang dilupakan adalah jumlah dari pemilih ini juga tidak banyak. Mayoritas semakin rasional memilih sosok yang akan dijadikan pelayan di kotanya, berdasarkan track rekord dan visi misi serta program memajukan rakyat serta pembangunan fisiknya.

Efek kejut, faktor psikologis sosiologis dan sedikit tambahan pemilih rasional sudah mentok hanya bisa mendulang elektabilitas di kisaran angka 30%.

Namun angka tersebut pun akhirnya tergerogoti secara drastis. Hilangnya suara dukungan hingga menyebabkan menurunnya elektabilitas disebabkan beberapa hal. Diantaranya masyarakat kembali semakin berpikir rasional dan berpindahnya pada calon lain yang juga mewakili para pemilih berbasis tampilan serta kesamaan keyakinan.

Undangan ajang debat non formal yang diprakarsai oleh berbagai stasiun televisi dan sempat ditolak oleh putra mahkota karena dianggap tidak penting dan lebih memilih blusukan, menjadi salah satu faktor negatif. Masyarakat menilai kandidat ini tidak memiliki modal cukup untuk membeberkan visi misi dan programnya jika terpilih sebagai orang nomer satu di DKI. Karbitan.

Hal ini terbukti ketika berlangsung debat resmi yang dilakukan oleh KPUD dan tidak bisa ditolak lagi karena sebuah keharusan. Di 2 session debat yang telah dilakukan penilaian masyarakat jauh dari yang diharapkan. Ternyata memang tidak mampu menjelaskan program-programnya secara rinci dan meyakinkan, misalnya merelokasi warga tanpa menggusur dengan rumah apungnya. Mengecewakan.

Faktor tidak kalah penting adalah adanya dugaan kasus korupsi yang melibatkan pasangannya. Korupsi adalah momok di mata masyarakat dan sudah diketahui umum adalah penyebab terbesar bangsa ini mandeg dari segala aspek pembangunan guna mensejahterakan rakyatnya. Jika sosok calon pemimpin sudah dikaitkan dengan korupsi, masyarakat waras akan antipati untuk mendukungnya.

Itulah beberapa alasan kenapa saya berani mengatakan kali ini strategi pak mantan menuai kegagalan. Untuk maju di putaran kedua saja bagi putra mahkota akan sangat sulit apalagi memenangkan 1 putaran. Hanya keajaiban yang bisa membalikkan fakta dan itu bis terjadi bila ada salah satu pasangan lain melakukan blunder besar. Namun bukan jaminan juga pemilih pasangan tersebut akan berpindah untuk mendukungnya.

Dimajukannya putra mahkota, menurut penerawangan saya ini juga sebagai misi ke depan dari pak mantan. Pilkada rasa PIlpres. Test the water sebagai penjajakan apakah masih ada banyak dukungan dan kepercayaan rakyat pada dinasti serta parpol yang dipimpinnya. Pilgub DKI dijadikan tolak ukur menghadapi PIlpres 2019. Apabila putra mahkota terpilih, kemungkinan besar akan dijadikan momen pak mantan untuk maju lagi  mencapreskan dirinya. Secara Undang- Undang juga tidak dilarang.

Donald Trump yang sudah berusia 73 tahun saja mampu, kenapa pak mantan yang nanti tahun 2019 baru berusia 70 tahun tidak melakukannya. Walau sempat mengatakan tidak akan maju lagi tapi atas nama permintaan rakyat, bukan hal tabu lagi untuk disanggupi.

Sekali lagi tulisan ini bukan tuduhan atau fitnah apalagi dihubungkan dengan penyadapan berbentuk rekaman maupun transkrip, namun murni analis opini saja. Jadi jangan sampai nanti terus dibuatkan hak angket segala dan diumpamakan dengan skandal yang terjadi di Amerika, Watergate.

Salam Anu

@alde


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment