Thursday, January 12, 2017

Mengadili Aborsi #2

(lajutan bagian_1)

DUNIA HAWA - Perkara semua-penyakit-obatnya-disuntik-biar-manjur ini terbawa sampai sekarang. Banyak pasien, terutama tapi bukan hanya lansia, yang merasa tidak puas dan tidak sembuh jika tidak disuntik. Masalahnya, tindakan menyuntik sesungguhnya bukanlah tindakan enteng yang bisa dilakukan tanpa risiko dan indikasi. Saya bukan tipe dokter yang mudah menyuntik pasien.


Sesuai dengan prinsip utama kedokteran, yakni beneficence (melakukan hal yang memberikan manfaat/kebaikan) dan non-maleficence (tidak melakukan hal yang merugikan), setiap tindakan harus dipertimbangkan untung ruginya. Lakukan sesuatu hanya apabila manfaatnya melebihi risikonya.

Nah, bukan masalah yang mudah menjelaskan ini pada pasien yang minta disuntik, terutama para oma dan opa yang terkadang sudah sulit berkomunikasi dan punya sugesti tinggi. Kadangkala, saya terpaksa melakukan juga meski tak ada indikasi medis, sebab kalau tidak pasien saya itu malah tampak begitu tidak damai sejahtera, merasa tidak diapa-apakan. Biasanya saya memilih menyuntikkan sesuatu yang sekecil mungkin risikonya dan sesedikit mungkin volumenya. Indikasinya? Untuk menenangkan hati dan sugesti.

Apa hubungannya dengan aborsi? Hubungannya adalah soal “melakukan suatu tindakan saat diminta”. Terlalu sering kita lupa dengan aspek aborsi yang sejatinya adalah suatu tindakan medis – tindakan medis invasif, pula – yang memerlukan indikasi.

Sebagai tindakan medis (sama seperti perkara suntik-menyuntik di atas) aborsi tidak serta-merta diberikan ketika diminta (abortion on demand); ia diberikan ketika dibutuhkan, disetujui, serta dimengerti segala konsekuensinya. Pertanyaan berikutnya adalah, kapan dan mengapa aborsi dibutuhkan oleh seorang perempuan?

Aborsi dibutuhkan ketika suatu kehamilan tidak diinginkan atau membahayakan; saya kira kita semua dapat menyetujui itu meski dengan kadar berbeda-beda. Ruang pengecualian dalam hukum kita di atas sudah berusaha mengakomodasi sebagian contoh aplikasinya, yakni kasus pemerkosaan dan kehamilan berisiko. Tapi, masih banyak aspek lain yang terlewatkan, padahal lebih sering terjadi.

Apakah kehamilan tidak diinginkan terjadi hanya dalam kasus pemerkosaan, yang dalam hukum kita didefinisikan sebagai hubungan seks yang dipaksakan dengan kekerasan fisik oleh laki-laki kepada perempuan yang bukan istrinya? Tidak selalu.

Seorang remaja perempuan yang menjalani hubungan pacaran dengan relasi kuasa yang tidak seimbang, misalnya, bisa dimanipulasi bahkan di-bully secara mental oleh kekasihnya untuk berhubungan seksual. Bukan rahasia lagi bahwa pengetahuan remaja Indonesia mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas masih sangat minim. Pengetahuan soal seksualitas ditabukan.

Pengetahuan kontrasepsi belum menyentuh mereka dengan semestinya. Sudah sering saya temukan, ada banyak remaja yang memangtahu bagaimana caranya berhubungan seksual, tapi sesungguhnya tidak mengerti apa-apa tentang seksualitas. Belum lagi akses yang begitu mudah terhadap pornografi mainstream, yang sering memberikan gambaran yang salah tentang seks dan relasi antarindividu yang melakukannya.

Ketidaktahuan dan kenaifan berbahaya ini terus terpelihara nyaris tanpa penawar sampai mereka dewasa, menikah, berkeluarga. Sementara itu, hormon terus menggelegak dalam darah muda, dan di sekeliling mereka, masyarakat selalu siap untuk menghakimi secara moral – masyarakat yang sama naifnya. Remaja yang hamil di luar nikah ditendang dari sekolah dan dijadikan sampah masyarakat. Remaja yang ketahuan aborsi dimasukkan penjara. Kemiskinan pengetahuan berbuah derita, apa pun yang terjadi.

Ada banyak pula perempuan menikah yang tidak memiliki relasi yang sehat dengan pasangannya, atau dengan keluarganya. Anak-anak Indonesia (definisi “anak” menurut WHO adalah 18 tahun ke bawah) belum terlindung secara hukum dari praktik pernikahan anak.

Kontrasepsi, dengan segala tabu dan mitos yang menyelubunginya, masih menjadi “urusan perempuan”; laki-laki dalam keluarga seringkali tidak tahu dan tidak mau tahu apa-apa soal kontrasepsi, meskipun di rumah nanti mereka seringkali sangat bersemangat mengatur-atur organ reproduksi istrinya.

Urusan ranjang masih dipandang sebagai kewajiban istri terhadap suami, bukan suatu pilihan pribadi. Ada tekanan sosial pada setiap pasangan yang telah menikah untuk segera memiliki anak, baik mereka menginginkannya atau tidak. Belum lagi faktor ekonomi yang mencekik leher.

Akibatnya, indikasi tindakan aborsi yang tadinya hanya seputar indikasi medis sesungguhnya harus dinilai secara lebih luas. Ada indikasi psikologis, sosial, ekonomi. Ada banyak hal yang dapat menyebabkan seorang perempuan hamil di luar kehendaknya sendiri.

Ada banyak hal yang dapat menyebabkan seorang perempuan yang, meski awalnya hamil sesuai kehendaknya, menjadi tertekan karena kehamilannya. Ada banyak hal yang dapat menyebabkan status atau kehidupan seorang bayi yang terlahir dari rahim seorang perempuan menjadi sama hina/buruknya dengan apabila perempuan itu memutuskan untuk “membunuh” si bayi sebelum lahir. Hamil atau tidak hamil, dilahirkan atau diaborsi, tubuh perempuan seringkali jadi serba salah.

Dalam hemat saya, perkara aborsi seharusnya dipandang secara jauh lebih komprehensif dari sekadar kesibukan mengilegalkan atau memasuknerakakan. Yang betul-betul harus dihukum adalah mereka yang menipu serta membahayakan para perempuan dengan melakukan aborsi tidak aman dan menarik biaya yang tak masuk akal, atau mereka yang memaksakan tindak aborsi pada seorang perempuan.

Kepada para perempuan itu sendiri, mata dan hati yang adil harus dipergunakan. Sebab-sebab mengapa suatu kehamilan yang tak diinginkan terjadi, dan mengapa kehamilan itu menjadi tidak diinginkan, harus betul-betul dievaluasi. Setiap kasus berbeda, setiap perempuan memiliki hidup dan pengalaman serta beban yang berbeda, setiap dari mereka membutuhkan penanganan yang berbeda-beda.

Generalisasi atas sesuatu yang sespesifik ini adalah suatu kebodohan. Sebab jangan-jangan bukan para perempuan itu yang tidak bermoral. Jangan-jangan kita sendiri yang sedang bersikap sebagai masyarakat yang penuh semangat menghakimi namun sesungguhnya selalu menutup mata terhadap keadilan dan kasih. Katak dalam tempurung yang telunjuknya cepat melayang.

Seorang guru saya di bagian obstetri-ginekologi saat pendidikan profesi dokter dulu pernah bertanya: apabila pada suatu titik akhirnya kamu harus memilih antara menyelamatkan ibunya atau bayinya, mana yang kamu pilih? Jawaban guru saya itu adalah: ibunya.

Menurut beliau, seorang ibu yang selamat akan mampu membesarkan anak-anaknya yang sudah ada sebelumnya, dan memiliki anak lagi bila ia menginginkannya. Namun seorang bayi yang sejak lahir telah kehilangan ibunya, artinya kamu mengambil pertahanan dan sumber hidupnya yang sangat esensial.

Kami semua bingung mendengarnya. Yang kami tahu, ilmu obstetri-ginekologi selalu berurusan dengan dua nyawa yang harus dipertahankan. Titik. Tapi realitas pertanyaan guru saya itu jelas: hidup ini tidak selalu ideal. Kamu tidak bisa menyelamatkan semua orang, dan kadang kamu memang harus memilih, meski dengan berat hati. 

Tindak aborsi, apabila dapat dicegah, bagi saya haruslah dicegah. Pekerjaan rumah kita masih banyak soal ini. Kita masih harus bergumul dengan pendidikan seks yang benar, kesetaraan gender, hak-hak kontrasepsi, penghargaan atas tubuh, dan sebagainya. Termasuk yang belum banyak diperhatikan padahal sangat penting: hak mengakses kontrasepsi darurat untuk mencegah kehamilan saat terjadi kegagalan metode kontrasepsi yang lain, misalnya kebocoran kondom. Di pihak lain, kehamilan itu sendiri masih sering dipandang sebagai aib. Padahal kehamilan, bagaimanapun status perkawinannya, sejatinya adalah suatu momen penciptaan kehidupan. Individu baru yang terbentuk bukan dan tidak boleh dipandang sebagai aib. Kehamilan sebisa mungkin harus dirayakan, dipelihara, direngkuh, diperlakukan oleh masyarakat dan keluarga sebagai berkat, bukan kutuk.

Namun, ketika tindakan aborsi tersebut memang memiliki indikasi yang kuat (dan bukan hanya soal medis), ketika ia sungguh menjadi satu-satunya jalan terakhir untuk menyelamatkan kehidupan seorang perempuan, maka ia harus dilakukan dengan aman sebagai pemenuhan hak bagi perempuan yang membutuhkannya. Sebab masyarakat kita memang bukan masyarakat utopis; akan selalu ada orang yang sulit menghargai sesamanya di luar penampakan kulitnya. Dan hidup di tengah-tengah orang-orang yang demikian dapat menjadi hidup yang tak berperikemanusiaan.

Sebab hidup itu, ternyata, bukan cuma soal nyawa itu sendiri. Kamu tidak bernapas, makan, minum, lalu serta-merta hidup. Hidup, ternyata, juga adalah soal memanusiakan seseorang. Dan perkara memanusiakan ini seringkali lebih rumit daripada perkara membuat seseorang tetap bernapas.

@putri widi saraswati


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment