Thursday, December 1, 2016

Unjuk Kekuatan Berbungkus Aksi Super Damai

DUNIA HAWA - Flyer dan seruan Aksi Super Damai 212, esok, 2 Desember 2016, membentang panjang di seluruh penjuru negeri. Aksi Bela Islam III ini menuntut agar Ahok ditangkap penjara. Penanggung jawab aksi GNPF menyebut aksi 212 akan berlangsung super damai. SUPER DAMAI. Wow.


Banyak pihak mengernyitkan dahi dengan seruan aksi super damai ini. Dua diksi kata Super dan Damai menyatu membentuk kalimat melambung, kalimat yang sarat hyperrealitas. Realitasnya berbeda dengan aksi aksi sebelumnya, baik Jilid I dan II.

Apa arti kata damai? Menurut KBBI damai berarti tidak ada perang; tidak ada kerusuhan, aman, tenteram, tenang, keadaan tidak bermusuhan, rukun.

Jika kita imajinasikan damai itu ibarat angin sepoi sepoi maka jika ditambahkan super damai berarti angin super sepoi sepoi.

Kena angin sepoi sepoi di pematang sawah bisa membuat kita terkantuk, lelap tertidur, apalagi terkena angin super sepoi sepoi. Mungkin tidur kita bisa super lelap sampai iler keluar plus penuh mimpi indah. Menentramkan. Tenang. Harmoni.

Klaim HRS bahwa aksi 212 akan berlangsung super damai bisa saja tak sesuai harapan. Damai versi HRS bisa saja beda jauh dengan damai versi universal yang kita tahu.

Sulit percaya ada pancaran energi damai keluar dari lantunan kata seorang HRS. Rekam jejak omongan HRS selama ini jauh dari kata damai. Hampir semua omongan HRS bikin kita menarik nafas dalam dalam.

Jangankan bicara orasi di depan demonstran, saat sedang menyampaikan tausiah atau ceramah saja omongan HRS terkesan jauh dari nuansa damai.

Dapatkah kita mempercayai bahwa besok orasi HRS berlangsung damai dan beradab?

Ini ibarat kita dipaksa percaya pada seorang pelukis yang mengaku ingin melukis damainya kehidupan di pegunungan dan sawah permai. Tapi si pelukis membawa peralatan seperti palu, parang, tombak atau arit.

Bagaimana mungkin kita bisa percaya Ia seorang pelukis jika alat yang dibawanya alat alat perang dan senjata tajam? Omong kosong bukan?

Saya teringat dengan seorang Pahlawan Bangsa India. Pejuang dan pendiri bangsa negara India Mahatma Ghandi. Mahatma Ghandi dikenal sebagai pejuang anti kekerasan saat melawan kolonial Inggris. Ghandi mempraktikkan ajaran Ahimsa. Antara kata dan laku senafas. Mulutnya meneduhkan, lakunya menyejukkan.

Ahimsa memiliki makna tidak menyerang, tidak melukai atau tidak membunuh. Ghandi memandang ahimsa dan kebenaran (satya) ibarat saudara kembar yang sangat erat, namun membedakannya dengan jelas bahwa ahimsa merupakan sarana mencapai kebenaran, sedangkan kebenaran (satya) sebagai tujuannya.

Ahimsa adalah cinta, karena hanya cinta yang bisa muncul secara spontan dan memungkinkan seseorang bertindak selaras dengan hati dan pikirannya.

Gandhi berpendapat, “ Nir-kekerasan (non-violence) adalah cinta. Nir-kekerasan itu bertindak menyatu dalam diam, nyaris terselubung dalam kerahasiaan sebagaimana yang dilakukan cinta.”

Apa yang kita saksikan dari drama seruan tangkap Ahok dan penjarakan Ahok sejatinya aksi unjuk kekuatan. Aksi penekan dengan kekuatan massa.

Saya masih tidak dapat mengerti ketika kontradiksi antara klaim super damai bisa beriringan dengan sikap seruan bernada kebencian dan permusuhan. Apakah energi orang orang yang berkumpul esok hari itu energi perdamaian atau kemarahan dan kebencian?

Damai dan benci itu tidak mungkin bisa menyatu. Dalam nafas kebencian yang ada adalah erangan permusuhan ingin menghancurkan, bukan geliat membangun dan memaafkan. Tidak mungkin benci dan damai bersenyawa. Rasanya seperti hil yang mustahal meminjam kata Asmuni, pelawak Srimulat.

Seperti kata Ghandi:
“Cinta tidak pernah meminta, ia senantiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada kehidupan; manakala kebencian membawa kepada kemusnahan.”

Jika Tuhan Yang Maha Kuasa adalah pengasih lagi penyayang, maka sifat pengampun dan pendamai pasti dimilikiNYA juga. Dalam seruan seruan doa kita selalu mohon ampun atas dosa dosa kita.

Kita mengakui kita adalah manusia penuh dosa. Kita mengakui Tuhan Yang Maha Pengasih itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dengan otoritas kemahaannya, kita bahkan tidak sanggup melihat sinar Wajah KemuliaanNYA.

Ebiet G Ade menulis syair indah atas keangkuhan manusia ini dalam lagu “Kalian Dengarkah Keluhanku”

“Apakah buku diri ini
Harus selalu hitam pekat
Apakah dalam sejarah orang
Mesti jadi pahlawan

Sedang Tuhan diatas sana
Tak pernah menghukum
Dengan sinar matanya yang lebih tajam
Dari matahari”.

Lalu siapakah kita manusia berdosa dengan angkuh merasa melebihi DIA hingga pongah menutup pintu maaf atas khilaf sesama kita?

Satu-satunya alasan paling mendasar mengapa seruan tangkap Ahok dan penjarakan Ahok esok hari bukanlah karena kita sedang menuntut penegakkan hukum, melainkan karena kebencian atas nama perbedaan agama belum lepas dari jiwa kita. Kebencian masih berkarat dalam dinding hati kita.

Rasanya otoritas tertinggi milik Tuhan telah kita ambil alih ketika dengan mata melotot urat leher mau keluar kita meneriakkan kata kata seperti di bawah ini:

“Mars Demo Super Damai”


Ayo kita bersatu..
Ganyang kepala batu…
Apa anda setuju..
Ahok harus dibunuh…

Ayo kita bersatu..
Ganyang kepala batu…
Apa anda setuju…
Ahok harus di….. (koor) BUNUH…

Aihhh…pahit dan hitamnya kopi bubuk kali ini…sekelabu datangnya bulan Desember.

@birgaldo sinaga


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment