Wednesday, December 14, 2016

Nota Keberatan, Tangis Ahok, dan Pelacuran Ayat Suci

DUNIA HAWA - Bagaimana jika kita semua, pada dasarnya adalah pelacur?


Pagi 13 Desember 2016 terasa tak biasa. Bahkan atmosfer ketidakbiasaan sudah terasa sejak malam sebelumnya. Ada obrolan mengiba di ruang-ruang obrolan virtual pun nyata. Prediksi bagaimana Sang Panglima menghadapi pengadilannya esok hari (meski baru pembacaan dakwaan saja). Akan setegar apakah ia, akan selemah apakah ia?

Kawan-kawan mungkin ingat, pada 16 November 2016 lalu, Basuki Tjahaja Purnama ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penistaan agama. Di hari itu, hati saya kecut. Pias. Di hadapan televisi kami, ART kami, menitikan air matanya. Ia bersedih. Baginya, Pak Basuki adalah penolong. Orang baik.

Selepas hari itu, saya semakin rajin menonton video-video tentang Pak Basuki. Saya tahu, beliau melakukan banyak penggusuran di mana-mana. Dan maaf, sepertinya saya tidak berkapasitas dalam pembahasan ini, karena saya tidak ada di posisi tersebut. Tetapi, beberapa yang telah digusur, mengaku mendapatkan tempat tinggal yang lebih layak daripada tempatnya yang terdahulu.

Pak Basuki juga tak segan-segan menyebut bahwa ia—dengan tegas—akan menggusur bangunan liar. Tetapi, tidak begitu saja ditelantarkan. Disediakan rumah susun, dengan fasilitas kesehatan, beribadah, bermain, bahkan sarana berjualan dan bercocok tanam (hidroponik).

Ada lagi ibu-ibu yang memberikan komentar tentang Pak Basuki, ketika ditanya bagaimana jika bukan Pak Basuki lagi yang menjabat, ibu itu langsung diam, dan menahan tangis. Saya ikut melakukannya. Dada ini terasa sesak.

“Duh, Pak... kok masih mau jadi pelayan orang DKI Jakarta, sih?” batin saya berkali-kali.

Semenjak ia ditetapkan sebagai tersangka, setiap kali melihat ia, hati saya selalu kecut. Entah mengapa, rasanya air mata tak lelah menggenang di pelupuk. Mengapa orang baik ini justru dituding-tuding dan disumpahi ini dan itu.

Kemudian, saat melihat ia memasuki ruang sidang, saya kembali mengembuskan napas dengan kencang. Ah.... Bapak satu ini. Luar biasa. Kenal saja saya tidak, tahu bagaimana aslinya saja saya tidak, tapi toh merasa empati tak perlu hal-hal itu.

Dari persidangan tersebut pula, akhirnya banyak yang mengetahui apa sajakah yang sudah Pak Basuki lakukan untuk Jakarta, untuk umat Muslim. Ah, kalian ini... yang seperti itu masak kudu menunggu persidangan dulu? Segala bukti itu sudah berbicara nyaring di sudut-sudut kota. Pembangunan Gereja tak semudah pembangunan Masjid, sekadar info.

Dan tibalah saatnya Pak Basuki membacakan Nota Pembelaan. Melihatnya berhenti sejenak, sembari melepaskan kacamatanya, membuat saya tak kuasa.

Ia menangis saat menceritakan tentang keluarga angkatnya, ibu angkatnya. Betapa ibu angkatnya begitu mendukung ia menjadi Gubernur Jakarta. Dan ibu angkatnya berpulang ketika ia sudah ditetapkan sebagai Gubernur menggantikan Pak Joko.

Begitu pun ketika ia menceritakan tentang kakak angkatnya. Bagaimana uang perkuliahan S2 pertamanya dibayarkan oleh kakak angkatnya. Suara itu terbata. Banyak yang berkomentar tentang betapa suara itu yang biasanya tegas mengatakan si itu adalah pencuri, kini suara itu tercekat, diwarnai isak.

Mereka kira ia menangis meminta agar dicabut tuntutannya? Mereka kira ia menangis karena takut akan tuntutan itu? Mereka kira ia menangis karena takut membusuk di balik jeruji penjara bersama kecoa?

Bukan, Sayang. Ia menangis karena mengenang. Ia menangis saat mengenang ibu angkatnya. Ia menangis saat mengenang kebaikan kakak-kakak angkatnya. Ia menangis karena merindu, barangkali. Bukan saat ia mengatakan bahwa ia tak menista agama. Bukan saat ia merasa keberatan atas dakwaannya. Bukan, Sayang....

Barangkali, mereka yang menyangka Pak Basuki menangis atas ketakutan dakwaan, adalah mereka yang juga membuang roti Sari Roti dan menyangka Equil adalah minuman keras. Logikanya linear. Tidak apa-apa. Bodoh memang butuh keberanian, Kawan.

Di hari itu, dari hari itu, akan terus ada obrolan tentang betapa lemahnya Pak Basuki. Betapa berbedanya Pak Basuki di hadapan para koruptor, dan di hadapan kenangan atas kebaikan, atas keluarganya.

Di hari itu, dari hari itu, akan terus ada yang berteriak betapa palsu air matanya. Atau bahkan ada yang akan berkata, “Ya kalau begitu, Ahok memang sejahat itu kepada keluarga angkatnya. Katanya sayang, tapi kok menista?”

Dan, di hari itu, dari hari itu... akan selalu ada hati-hati yang terpaut. Doa-doa yang meniti tali ke suatu tempat. Doa-doa yang tak lagi tersekat pada agama-agama apa. Doa-doa yang tak lagi ‘bingung’ dipanjat ke Tuhan yang mana. Doa yang hanya diucapkan saja. Dengan bulir yang sama, “Tolong... kuatkan ia, Tuhan...”

Sesederhana itu.

Saya tidak akan menuding siapa-siapa. Sekalipun Anda berbeda pendapat. Sekalipun Anda sudah menudingkan jari Anda kepada Pak Ahok. Sekalipun Anda sudah mempertanyakan siapa saya, pahamkah saya pada Kitab Suci yang menjadi pedoman saya.

Saya belum paham. Setidaknya, saya merasa belum paham dengan isi Kitab Suci saya. Itulah, mengapa saya menolak menuntut agar Pak Basuki diadili dengan dakwaan penistaan agama. Lah yang saya lihat justru umat-umat dari agama itu sendiri kok yang banyak menistakan. Ah, kalau kita tak bisa merawatnya dengan baik, untuk apa menuntut orang lain merawatnya? Kalau kita belum bisa menghargainya, untuk apa kita memaksa orang lain menghargainya?

Ah, Kawan.... kita semua ini pelacur.

Pelacuran terjadi di mana-mana. Hampir semua orang melacurkan waktu, jati diri, pikiran, bahkan jiwanya. Dan bagaimana kalau ternyata itulah pelacur yang paling hina – Dimas (Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh). Kini kian banyak yang melacurkan ayat-ayat Kitab Suci.

Seperti yang Pak Basuki paparkan di pengadilan. Tak hanya Islam, tetapi juga Kristen. Dan barangkali agama lain yang ia (dan tentunya saya) tidak begitu memahaminya.

Tenang saja, Pak Basuki. Banyak yang ingin memelukmu dan mengatakan, “Tabahlah, Pak. Engkau kuat, engkau tahu itu. Tuhan bersamamu.”

Jika pun kelak Pak Basuki ditetapkan bersalah, saya yakin akan semakin banyak doa yang terpanjat ke langit. Akan semakin banyak doa yang dibisikkan ke bumi, dengan harapan sampai ke langit-Nya.

Justru, yang membuat saya gusar adalah... bagaimana jika Pak Basuki ditetapkan tidak bersalah? Akankah para ‘Ahli Surga’ tersebut berlapang dada? Akankah mereka kembali menjual ayat-ayat Kitab Suci yang lainnya untuk aksi jilid selanjutnya?

Ah... yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita semua saling menguatkan, Kawan. Percayalah bahwa Dia-lah hakim seadil-adilnya. Jangan pusing. Saling menguatkanlah. Bagi diri kita, bagi Pak Basuki, bagi Indonesia.

“Namun saat kau rasa pasir yang kau pijak pergi, akulah lautan memeluk pantaimu erat.” –Dee Lestari.

 @annisa fitrianda putri


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment