Tuesday, November 15, 2016

Ulama, MUI dan Fatwa

DUNIA HAWA - Banyak orang masih bingung dengan "makhluk" yang bernama MUI (Majelis Ulama Indonesia). Banyak pula yang salah paham dengan MUI: ada yang "menjunjung tinggi setengah mati", ada pula yang "memaki-maki setengah mati." 

Begini, bapak-bapak dan ibu-ibu, MUI itu adalah "lembaga", tepatnya "lembaga plat merah" yang dibentuk oleh Pak Harto dulu pada tahun 1975 dalam rangka untuk "menyenangkan" atau "membahagiakan" umat Islam dan sejumlah tokoh Muslim. 


Pada awal-awal pendirian rezim Orde Baru dulu, Pak Harto dianggap lebih pro dan "menganakemaskan" kelompok abangan, khususnya lagi kaum "Kejawen" (baik sipil maupun militer), dalam struktur pemerintahan, dan kurang memberi "porsi" kepada umat Islam. Nah, supaya tidak disorot "miring ke kiri", beliau mendirikan MUI ini yang tugasnya memberi nasehat kepada pemerintah terkait dengan masalah atau isu-isu keagamaan dan keislaman.  

Jadi, jelasnya, MUI itu hanya sebuah lembaga tempat ngumpulnya sejumlah ormas Islam di Indonesia (kecuali Syiah dan Ahmadiyah yang dianaktirikan). Seperti lembaga atau ormas lain, baik yang "plat merah", "plat hijau" maupun "plat kuning", MUI memiliki cabang sampai ke daerah-daerah di Indonesia, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Pula, seperti umumnya lembaga dan ormas keagamaan, MUI juga mempunyai banyak divisi atau "departemen" yang mengurusi banyak hal. 

Apakah semua pengurus MUI itu "ulama"? Belum tentu. Di berbagai daerah diluar Jawa, para pengurus dan elit MUI itu banyak yang berprofesi sebagai birokrat, politisi, polisi, tentara, pengusaha, dlsb yang sama sekali tidak memiliki kualifikasi keulamaan serta "nol jumbo" wawasan keislamannya, tetapi mereka "ditokohkan" oleh masyarakat Islam setempat karena dipandang memiliki status sosial tinggi.  

Apakah semua pengurus MUI dari pusat sampai daerah itu memiliki pandangan yang sama dan seragam mengenai masalah keislaman, sosial-keagamaan, dan kebangsaan? Tentu saja tidak. Tidak semua pengurus MUI itu berpandangan "saklek", konservatif, intoleran, anti-pluralisme, anti-kebangsaan, dst. Banyak dari mereka yang berwawasan terbuka, progresif, toleran, cinta kebangsaan, dlsb. Jadi semua tergantung dari individu-individu. Banyak teman-temanku yang "keren abis" juga duduk di kepengurusan MUI, baik di pusat maupun daerah. 

Apakah semua pernyataan yang keluar dari MUI itu disebut "fatwa? Tentu saja tidak. Ada yang hanya sebatas pendapat biasa atau "sikap keprihatinan" untuk menyikapi kondisi atau masalah sosial-politik-keagamaan-kebangsaan. Disebut "fatwa" jika itu diputuskan melalui "departemen fatwa" di MUI serta melalui prosedur penggalian hukum Islam tertentu. 

Apakah umat Islam wajib mengikuti fatwa yang dikeluarkan MUI? Tentu saja tidak. Namanya saja "fatwa" alias pendapat hukum yang tidak mengikat. Fatwa itu hanya sebuah "pendapat" yang bisa dikeluarkan oleh siapa saja yang memiliki kualifikasi sebagai "mufti". Dan MUI bukan satu-satunya yang mengeluarkan fatwa. Ormas-ormas Islam lain, seperti NU atau Muhammadiyah, juga sering sekali mengeluarkan fatwa yang tidak jarang berseberangan dengan fatwa MUI dan ormas lain. Umat Islam bebas dan merdeka untuk memilih fatwa mana yang dianggap paling "oye".

Lalu, kenapa akhir-akhir ini orang-orang pada "hiruk-pikuk" sampai ada gerakan jihad "pengawal fatwa MUI" segala? Ya itu biasa orang-orang yang "lebay njeblay" yang dimobilisasi oleh para "makelar politik" dan "bisnismen agama" itu. Mudeng?  

Jabal Dhahran, Arabia

Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA

Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment