Saturday, November 12, 2016

FPI Seperti Jelmahan Kolonial

DUNIA HAWA - Tadi pas nongkrong, saya lihat perdebatan seru antara teman saya, tapi saya hanya menikmatin kopi dan menontonya, seperti lagi menikmatin tontonan di televisi, tapi tidak sedikit yang bilang kalau saya ini gila, aneh, penyendiri, misterius, tapi bagiku itu kebahagiaan. Seperti Zarathustra menasehatin saya ketika saya sedang gelisah, Dunia hari ini tampak seluas retorica dan apologi semata.

Kali ini saya tidak akan menulis lebih dari 6 paragraf, semoga para pembaca memaki saya. Namun yang paling penting mari kita berjabat tangan selalu dalam hidup ini meski berseteru juga tidak bisa dielakan tapi berseteru yang asyik dan membangun tentunya. Tidak SEPERTI FPI yang (?). Jangan-jangan FPI dan lembaga2 serta ormas2 keagamaan itu harus belajar dari kalian bukan kalian yang belajar dengan mereka, Mengapa? loh agama saja mereka nodai sendiri dengan memaksakan kehendak Jumawa, sehingga LUPA kalau kita ini si “manusia”, kalau bahasa para filsuf (binatang yang berpikir), jadi jika kata ” yang berpikir” dihilangkan maka tinggal kata “Binatang”.


Jika beda agama adalah bukan saudaramu dalam iman tapi setidaknya dia merupakan saudaramu dalam KEMANUSIAAN,  jng lupakan hukum Moral yang dibangun sejak era Mousa bahkan sebelumnya, dan buat islam yang namanya hinaan sudah ada semenjak islam itu berdiri di jaman Jahiliyah, tapi justru agamamu menjadi besar oleh cinta dan kelembutan rasul bukan oleh kehendak yang jumawa, Saya jadi curiga jng2 FPI takut kelaparan jika si “A” jadi gubernur, coba bayangkan jika orang lapar itu bisa melakukan apa saja termasuk memecah belah, seperti slogan Kolonial “Pecah – belah, kuasai”. Jika agama itu sudah difiksasikan oleh lembaga, komunitas dan ormas keagamanan, maka ia akan menjadi LUPA sebagai manusia dlm kesetaraan dan kemanusiaan dihadapan tuhan.

Hakikat dalam pencapaian diri sampai ke tuhan jika hanya pada fiksasi ide semata maka hanya akan melahirkan aturan-aturan yang mengingkari, dan biasanya ini pada lembaga, ormas, komnitas dalam keagamaan. Maka dalam menafsirkan sesuatupun hanya seluas perspektif dan berujung pada fanatis buta. Jadi tak heran akhirnya menjadi pesimis dan ketakutan jika terancam, lalu halal_lah segala cara, termasuk ” pecah_belah dan kuasai”. Sementara agama sendiri tidak mengindahkanya. Bahkan ini sudah ada sejak jaman Gereja berkuasa, hingga ilmuwanpun dibatasi ruang geraknya, dan istilah-istilah durhaka, nasib bahkan kafir, begitu juga pada FPi dan ormas keagaaman hari ini. Sungguh benar-benar sedang sakit dan sakinya gawat darurat, kalian “lapar”.

Aku jadi ingat kata seorang pemikir kurang lebih seperti ini “mereka enggan mengakui dengan tangan terbuka, tentang faktisitas realitas yang chaos. Dalam koridor kategorial mereka bergantung pada keadaan “statis equilibrium”. ” dan kini mereka seperti tampak kelelahan, menghancurkan fondasi yg mereka tegakan, melemahlah roh amorphate yang fiksasi dan sedikit jumawa yang tertanam dalam diri mreka… jadi tak heran jika semboyan ” pecah_belah kuasai ” yang menjadi jargon kolonial mirip pada FPI dkk. Dengan demikian FPI sama saja seperti halnya jelmahan KOLONIAL. Sementara semua tahu kolonial musuh para jelata, karena haus kekuasaan dan hasrat menguasai. Sementara menafsirkan sesuatu tanpa menghiraukan penafsiran dari yang lain, sungguh mereka adalah Manusia yang anti kritik. Seperti kata Soe “manusia anti kritik sebaiknya di tong sampah”. Berarti bukan duduk dikursi ataupun ber-fatwa seperti kelaparan, lapar kekuasaan.

[sim losa]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment