Tuesday, November 15, 2016

Beda MUI dan PGI Meresponi Bom Samarinda

DUNIA HAWA - Kita terhenyak dan bersedih dengan adanya peristiwa Bom Samarinda. Meski daya ledaknya kecil, tetapi hal ini berdampak besar dan mengerikan karena menyasar anak-anak kecil. Karena anak-anak kecil tidak boleh dan tidak dibenarkan dengan dasar dan argumen apapun menjadi korban perang apalagi korban perang ideologi. Anak-anak yang tidak berdaya dan tidak tahu apa-apa tidak boleh menjadi korban demi memperjuangkan apapun. Bom Samarinda menjadi sangat massif kecekamannya karena menewaskan Intan Olivia (2 tahun). Tindakan kecil yang pantas dilabeli tindakan biadab dan tidak berperikemanusiaan.


Lalu bagaimana respon para pemuka agama menyikapi hal ini. 2 organisasi besar pemuka agama memberikan pernyataan yang sangat berbeda menyikapi Bom Samarinda. Berikut adalah kutipannya.

“Tolong ‘pengkhianat bangsa’ yang mau membelokkan isu bom Samarinda ini ke gerakan 411 ini tolong diwaspadai. Ini isu kampungan,” kata Tengku.

“Ada sesuatu yang ganjil. Ya masa ada pengebom bawa KTP. Kalau orang bunuh diri mana mau dia bawa identitas,” kata Tengku saat dihubungi Senin (14/11).

“Jadi polisi harus bertindak transparan, profesiobal dan tegas. Jangan dimanfaatkan oleh “penghianat bangsa” yang mau memanfaatkan situasi mengadu domba bangsa ini,” ujar Tengku.

Aneh respon yang dilakukan oleh MUI yang diwakili oleh Wakil Sekretaris Jenderal MUI Pusat Tengku Zulkarnain. Seperti orang yang kebakaran jenggot dan daster, Tengku ini malah memberi pernyataan yang mencurigai ada yang berusaha mengait-ngaitkan hal ini dengan aksi demo 411. Bahkan mencurigai ada yang sengaja ingin mengadu domba bangsa dengan aksi ini. Padahal jika menilik pemberitaan yang ada, tidak satu pun menyinggung kaitan dengan 411. Ini murni tindakan teroris. Dan pelakunya memang adalah mantan napi teroris. Baca_disini.


Tanggapan PGI selaku pemuka agama dimana umatnya dan simbol keagamaannya diganggu meresponi kejadian Bom Samarinda dengan teduh. Tidak seperti yang pernah dilakukan MUI yang terlibat dalam memperkeruh keadaan sehingga semakin memanaslah kasus Ahok dan muncul gerakan massif 4 November. 

Berikut adalah pernyataan PGI:

“Kami mengibau umat Kristen supaya tetap tenang, menyerahkan kepada proses hukum karena percaya pada proses hukum yang terjadi di negara ini,” kata Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI, Hendri Lokra, di Bundaran HI, Jakarta Pusat, Senin (14/11/2016) malam.


Aksi damai (betul-betul damai) dilakukan untuk mengecam aksi pengeboman di Samarinda. Mereka melakukan aksi menyalakan lilin, berdoa, menyanyikan lagu “Indonesia Raya”, berorasi, hingga membaca puisi. Sungguh damai dan tenang, tidak ada pernyataan provokasi dan menghina agama, suku, dan ras lain, bahkan simbol negara dan pemerintah. Sikap yang sangat jauh berbeda.

“Kami mengutuk keras teror yang terjadi dua hari belakangan ini. Kami yakin ini bukan dilakukan umat agama tertentu. Ini murni teror,” kata juru bicara aksi, Reynhard Joshua Napitupulu.

“Lilin kan melambangkan perdamaian. Dia bisa menerangi kegelapan. Sekecil apa pun damai yang ada di hati kita masing-masing bisa menerangi,” kata dia.

Terlepas dari ada juga hal-hal yang kurang tepat dilakukan atau yang dinyatakan oleh PGI, tetapi pernyataan menyikapi Bom Samarinda adalah hal yang patut diapresiasi. Hal yang memang sudah sepatutnya dilakukan oleh pemuka agama. Jangan sampai pemuka agama malah menjadi pemicu kericuhan dan kerusuhan sehingga bisa memecah belah kesatuan bangsa. Hal yang menurut saya menjadi tanggung jawab besar pemuka agama.

Kini, biarlah kita menyerahkan kasus ini kepada pihak kepolisian. Biarlah juga masalah keamanan kita serahkan kepada pihak yang berwenang. Perjuangan melawan teroris dan pihak yang ingin mengganggu kemajemukan bangsa serta menggantikan ideologi NKRI bukanlah perjuangan mudah. Ibarat perang, pasti akan memakan korban. Kita harus tetap waspda dan berjaga-jaga serta terus memelihara kerukunan dan toleransi beragama.

Seperti apa yang disampaikan oleh Presiden dalam sebuah kesempatan.

“Di negara kita, kita ingin yang mayoritas melindungi yang minoritas. Tapi juga minoritas harus menghormati yang mayoritas,” ujar Jokowi, di Markas Korps Marinir, Cilandak, Jakarta Selatan, Jumat (11/11/2016).

“Saling melindungi, saling menghargai, saling menghormati. Inilah yang kita harapkan,” lanjut Jokowi.

Salam Perdamaian, Salam NKRI.

[palti hutabarat]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment