Tuesday, November 22, 2016

Aksi 2 Desember dan Eksistensi Agama Lokal

DUNIA HAWA - Jumat besok, 25 November 2016, awalnya akan menjadi saksi bagi Ibu Kota Jakarta dengan pemandangan jutaan pakaian putih mengular di jalan-jalan protokol. Selain pakaian putih, mereka juga akan membawa bendera dan simbol-simbol ormas keagamaan masing-masing.


Mereka ditambah membawa spanduk-spanduk yang berisi pernyataan atau ungkapan berupa; seruan, kecaman, celaan, sumpah serapah hingga laknatan yang ditujukan kepada seseorang yang kini sudah berstatus tersangka, yang diduga telah menistakan agama.

Namun karena ada sesuatu dan lain hal, baik situasi atau kondisi juga urusan teknis, akhirnya aksi pemandangan yang dahsyat tersebut diundur satu minggu ke depan, menjadi tanggal 2 Desember 2016. Rapat konsolidasi telah diselesaikan, agenda telah ditetapkan.

Mereka mengatasnamakan Gerakan Nasional Pembela Fatwa- Majlis Ulama Indonesia (GNPF-MUI), yang diketuai oleh  KH. Bachtiar Nasir. Beliau menegaskan dan menjamin aksi tersebut akan berlangsung “super damai”.

Bachtiar menjelaskan bahwa aksi tersebut dilakukan terkait dengan isu dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahya Purnama (Ahok) saat berdialog dengan masyarat Pulau Seribu beberapa waktu yang lalu. Targetnya adalah agar kepolisian tegas menegakkan hukum yang berlaku dan terus mengawal kasus tersebut, yang kini sudah ditentukan status Ahok sebagai pelaku penista agama, menjadi tersangka.

Perihal aksi mereka ditunggangi kepentingan politik atau penumpang gelap, Bahtiar menampik dugaan tersebut, ia menyatakan, “Kami akan terus membela kebenaran, aksi kami adalah aksi membela hukum, tidak ada unsur politik sama sekali.”

Diperkuat lagi oleh pernyataan Ketua Pembina GNPF-MUI, Habib Rizieq Shihab, ia memberikan garansi bahwa aksi yang akan diikuti oleh jutaan orang tersebut  adalah bukan aksi paksaan pula bukan aksi perusakan, tapi aksi "super damai".

Deskripsi di atas adalah sebuah kondisi faktual yang terjadi di negeri kita tercinta. Jika seseorang dianggap melecehkan atau menodai sebuah kitab suci salahsatu agama, maka siap-siaplah menanggung resikonya. Jika hukum tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka aksi massa yang akan menyelesaikannya.

Ulah seorang Ahok yang tersandung Al-Maidah: 51, menyulut amarah seluruh kaum muslim di Indonesia. Ditambah lagi dengan rivalitas pilkada yang makin memanas. Semua pihak bisa masuk dan memanfaatkan celah terebut untuk meraup suara dan simpati pendukungnya masing-masing.

Agama Lokal


Sangat rumit jika argumentasi yang dipakai dalam kasus “penodaan agama” adalah agama yang secara politik hanya yang diakui oleh negara (politics of recognition). Atau yang dimaksud (juga) hanya agama mayoritas. Bagaimana kalau yang dinodai adalah agama minoritas oleh agama mayoritas? Bagaimana juga jika yang dinodai itu adalah agama yang tidak diakui oleh negara (agama lokal)?

Di sini harus terang dan jelas apa yang menjadi dasar kebijakan pengakuan enam negara tersebut dan bagaimana istilah agama dipahami dalam sistem perundang-undangan di negara kita; apakah pemaknaan tersebut berbeda dengan pemaknaan istilah agama atau keyakinan secara akademis? Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab secara objektif.

Sebagaimana kita ketahui bahwa studi agama sejak abad 19 itu sangat dipengaruhi oleh paradigma agama dunia (Tomoko Masuzawa, 2005, James Cox, 2007) hingga kini. Konsep agama dunia rujukannya adalah agama yang dijadikan prototipe, yaitu agama dominan.

Kalau di Barat berarti agama Kristen karena ia adalah prototipe agama-agama di sana (Catherine Bell, 2006). Kalau di Indonesia, agama Islam yang menjadi prototipe, yang dikategorikan sebagai “agama” karena memiliki ajaran monoteisme, kitab suci, dan juga nabi.

Menariknya, paradigma agama dunia yang awalnya adalah konstruksi para sarjana Eropa pada abad ke-19 tersebut dipakai oleh para sarjana kini ketika mengajarkan agama. Dalam konteks negera kita, pernyataan para sarjana Eropa tersebut sangat relevan dengan kebijakan negara yang hanya membatasi enam agama yang diakui dan dilayaninya.

Di Indonesia, hubungan antaragama dan antaretnik sangat kental sekali politisnya. Kebijakan pembatasan agama yang boleh “hidup” di Indonesia adalah salahsatu contoh konkret bagaimana negara sangat mendominasi dalam kasus ini.

Konsekuensi logis dari kebijakan di atas adalah pengabaian terhadap hak-hak kewarganegaraan “penganut keyakinan” di luar keenam agama yang diakui. Penganut keyakinan tersebut, yang kini kita sebut sebagai pemeluk agama lokal (indigenous people).

Siapa Menodai Agama Lokal?


Agama lokal memiliki sebutan lain, yakni Agama Asli Nusantara, karena lahir dan tumbuh di Nusantara, jauh sebelum adanya agama Hindu, Konghucu, Budha, Kristen, dan Islam masuk ke Nusantara (Indonesia). Kemandirian agama lokal memiliki akar yang sama dalam pemahaman kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Namun, karena banyaknya suku dan bahasa, membuat mereka mempunyai nama yang berbeda-beda. Misalnya; Sunda Wiwitan, Kejawen, Parmalim, Kaharingan, dan lain-lain.

Agama lokal di Indonesia selalu mendapatkan perlakuan diskriminatif baik secara terstruktur maupun sistemik. Selama Undang-Undang PNPS No. 1 Tahun 1965 masih diberlakukan, maka selama itu nasib mereka akan selalu ada di “neraka”. Bukankah ini adalah sebuah “penodaan”?

Eksistensi mereka dianggap tidak ada, hak-hak mereka sebagai warga negara diabaikan, praktik keagamaan mereka selalu didiskreditkan oleh agama-agama dunia sebagai praktik syirik, kafir, dan sejumlah sebutan lain. Atau yang paling ekstrem adalah praktik keagamaan mereka tidak disebut sebagai agama, tapi hanya dikonsepkan sebatas budaya. Budaya dipahami sebagai sesuatu yang profan, sedangkan agama adalah sesuatu yang sakral.

Menurut Ahmad Nurcholish, Ketua Divisi Penidikan Kebhinekaan dan Perdamaian ICRP, ada empat faktor utama yang terlibat dalam praktik dikriminatif terhadap mereka penganut agama lokal. Pertama,  pemerintah atas nama negara melalui produk-produk kebujakan yang dibuat. Biasanya pemerintah membuat aturan atau regulasi keberagaman yang ambigu.

Kedua, kelompok agama dominan. Biasanya mereka mendefenisikan sesuatu berdasarkan kacamata dirinya sembari menegasikan definisi yang lain. Misalnya, mendiskusikan kebenaran agama dan kepercayaan bukan berdasarkan kebenaran apa adanya, melainkan kebenaran melalui “religiuos discourse”, yaitu kebenaran yang diinginkan oleh agama dan kepercayaan dominan.

Ketiga, kalangan akademisi. Biasanya mereka membangun stigma dan kategorisasi akademik terhadap suatu kepercayaan yang disebut “agama”. Misalnya, mereka membuat kategori  agama sebagai keyakinan yang datang ke Nusantara dengan segala hak yang melekat di dalamnya.

Sedangkan keyakinan lokal yang datang dari dalam tidak disebut agama, dengan segala permasalahan yang melekat di dalamnya. Sehingga di Indonesia, sebutan bagi agama lokal adalah keyakinan primitif.

Terakhir, keempat, media-media arus utama (mainstream). Biasanya mereka dalam liputannya menggunakan mindset agama dominan. Misalnya, liputan “primitive runaway” yang mendeskripsikan bahwa penganut keyakinan lokal dipandang sebagai manusia primitif. Ritual mereka dieksploitasi sebagai sesuatu yang mistis. Pelakunya selalu menjadi antagonis, sedangkan agama dominan menjadi pelaku protagonis.

Konsekuensinya adalah opini yang berkembang bahwa agama lokal itu kotor, angker dan julukan-julukan negatif lainnya. Siapa yang peduli dan mau membantu dengan “aksi berjamaah tandingan” terhadap penodaan agama lokal ini?

@lip rifai

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment